Oleh : Nabila Sinatrya
Belakangan ini, publik dihebohkan dengan adanya efisiensi anggaran di beberapa sektor instansi pemerintahan. Sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 memiliki dampak lebih besar dari yang diperkirakan.
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan dalam pidatonya di acara perayaan ulang tahun ke 17 Partai Gerindra terkait rencana penghematan anggaran yang akan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama sedang berlangsung dengan nilai sebesar Rp 306,69 triliun.
Tahap kedua, rencana penghematan belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang kurang efisien ditargetkan mencapai Rp 308 triliun. Namun, sebesar Rp 58 triliun dari penghematan ini akan dikembalikan kepada K/L, sehingga penghematan bersihnya menjadi Rp 250 triliun. Sedangkan untuk tahap ketiga, penghematan akan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di mana dividen yang ditargetkan mencapai Rp 300 triliun, (kompas.com/16/02/2025).
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyampaikan bahwa pemangkasan anggaran ini telah menimbulkan kekacauan di lapangan, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik. Proyek-proyek infrastruktur vital jadi mangkrak karena pemangkasan anggaran, seperti perbaikan jalan, pembangunan sektor pertanian bahkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai lembaga, seperti Lembaga Penyiaran Publik RRI dan TVRI.
Efisiensi anggaran banyak menyasar alokasi anggaran untuk rakyat, baik melalui program kegiatan maupun subsidi atau bantuan langsung . Efisiensi juga terjadi pada pendidikan tinggi dan dana riset.
Kepala BRIN, Tri Handoko mengungkap bahwa lembaganya harus menghapuskan seluruh anggaran riset dan inovasi riset di 12 organisasi riset akibat pemangkasan signifikan tersebut. Kebijakan pemangkasan anggaran justru dinilai berisiko menghambat kemajuan riset yang menjadi kunci untuk daya saing dan kemajuan teknologi negara di masa depan.
Dalih adanya efisiensi anggaran untuk menutup kebutuhan anggaran beberapa program khususnya makan bergizi gratis (MBG). Alih-alih menyelesaikan masalah, justru realita MBG menimbulkan persoalan baru. Nampaknya memang efisiensi anggaran ini kurang perancangan yang matang, karena faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun malah tidak dipangkas. Misalnya anggaran kemenhan untuk alutsista. Makin nyata yang dibela bukan kepentingan rakyat, namun pihak yang punya kepentingan, bahkan makin menguatkan korporatokrasi.
Sedangkan dalam sistem Islam, penguasa adalah raa'in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok. Konsep kedaulatan ada di tangan syara’. Artinya, penguasa harus taat kepada hukum syara’ bukan kepada pihak yang dirasa bisa mendapat keuntungan.
Pintu anggaran dalam Islam ada tiga, yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. Tidak seperti hari ini yang tergantung pada pajak dan utang. Alokasi anggaran diberikan sesuai pos nya dan dengan perencanaan yang matang, karena jabatan adalah amanah besar yang kelak akan Allah mintai pertanggung jawaban.
Misalnya seperti pos zakat, akan dikeluarkan kepada delapan asnaf yang berkah menerima zakat. Pos kepemilikan umum, berkaitan dengan pengelolaan harta milik umum seperti tambang, hutan, kekayaan laut, dan sebagainya, akan diolah oleh negara dan hasilnya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Seperti alokasi dana pendidikan akan diambilkan dari pos kepemilikan umum, bukan malah dana pendidikan dipangkas.
Itulah cara Islam mengatur, hingga terwujud kesejahteraan dalam masyarakat. Persoalan akan diatasi berdasarkan pengaturan dalam Islam. Wallahu’Alam bishowab
