Hancurnya Mentalitas Generasi, Siapa yang Bertanggung Jawab?




Oleh : Ummu Aimar



Berdasarkan Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2024, tercatat bahwa 34,9 persen atau sekitar 15,5 juta remaja mengalami gangguan kesehatan mental.

Fenomena ini semakin menjadi perhatian nasional yang mendesak untuk segera ditangani.

Isu ini juga disoroti oleh Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN), Isyana Bagoes Oka, dalam pembukaan Simposium dan Konsolidasi Nasional Pemimpin Muda Hindu di Tangerang Selatan, pada Jumat, 14 Februari 2025.
(https://disway.id)

Kesehatan mental generasi muda Indonesia kini sedang tidak baik baik saja dan sangat memprihatinkan. Banyak nya kasus yang menimpa anak remaja seharusnya jadi perhatian khusus pemerintah saat ini. 

Selain kesehatan mental, juga terjadi turunnya angka pernikahan karena banyak generasi muda yang takut menikah. Tren memilih untuk tidak memiliki anak juga makin meningkat. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 8,2% atau 72.000 perempuan memutuskan untuk menjalani hidup tanpa anak atau yang disebut childfree. 

Banyaknya remaja yang terkena penyakit mental menunjukkan kegagalan negara mewujudkan support system bagi terwujudnya generasi yang sehat secara mental. Jika kondisi ini terus dibiarkan, mimpi Indonesia emas 2045 makin kabur, bahkan nyaris mustahil terwujud. Justru yang terjadi adalah Indonesia cemas karena kondisi mental generasi muda yang bermasalah.

Penyebab maraknya gangguan kesehatan mental pada generasi muda bersifat sistemis. Menurut WHO, selain faktor genetika (keturunan), gangguan kesehatan mental dan kejiwaan disebabkan oleh faktor ekonomi (masalah ekonomi), faktor fisik (trauma karena pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual), dan faktor sosial (lingkungan sosial yang buruk, termasuk media sosial).

Selain Penyebab diatas, gangguan kesehatan mental pada remaja juga karna pola asuh orang tua, krisis identitas atau kesulitan menemukan jati diri, mendapatkan persepsi keliru dari media sosial, tekanan dari lingkungan sekitar, kondisi keluarga yang tidak harmonis, memiliki hubungan yang buruk dengan teman sebaya, menghadapi masalah ekonomi dan sosial yang buruk, dan mengalami masalah perundungan atau kekerasan seksual. 

Pada saat yang sama, negara membiarkan media massa dan media sosial mempromosikan gaya hidup hedonistik ala Barat. Para remaja yang minim filter akhirnya terbawa arus bersikap konsumtif. Ketakmampuan memenuhi tuntutan gaya hidup berdampak pada tekanan mental.

Penerapan sistem kehidupan kapitalisme juga berdampak pada lahirnya generasi yang menuhankan materi. Definisi kebahagiaan bagi mereka adalah teraihnya capaian materi seperti prestasi, cuan, kecantikan, fesyen, dan popularitas. 

Hal ini diperparah dengan makin kecilnya porsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan yang sekuler. Penyampaian materi agama Islam tidak dalam bentuk yang menggugah akal dan hati sehingga tidak mampu membentuk benteng iman dan takwa yang akan melindungi generasi dari penyakit mental.

Benteng yang lain, yaitu pendidikan orang tua dan dukungan masyarakat juga tidak terwujud karena penerapan sistem kapitalisme telah menghasilkan disfungsi orang tua dan sikap individualistis di tengah masyarakat.

Dalam kondisi sudah banyak remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental, negara masih juga lamban menyolusi. Ketika masalah kesehatan mental remaja tidak tertangani dengan baik, mereka berisiko besar untuk mencari pelarian pada hal-hal yang merusak, seperti narkoba, menyakiti diri sendiri, maupun bunuh diri.  Data terbaru menunjukkan bahwa banyak remaja terjerumus pada tiga hal tersebut. 

Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa 2,2 juta anak Indonesia menjadi pengguna narkoba pada 2024. Data 2023 menunjukkan bahwa 20,21% remaja Indonesia pernah melakukan perilaku menyakiti diri sendiri. Sementara itu, dalam kurun 2012—2023, terdapat 985 kasus bunuh diri yang dilakukan remaja, setara dengan 46,63% dari total kasus.

Dengan demikian, bahaya gangguan kesehatan mental pada remaja tidak hanya dirasakan generasi saat ini, tetapi juga generasi masa depan. Kelangsungan bangsa juga akan terancam. Masalah depopulasi di negara-negara Barat bisa terjadi juga di negeri-negeri muslim. Umat Islam akan kehilangan generasi penerus.

Untuk mewujudkan generasi terbaik (khairu ummah), negara akan menerapkan syariat Islam kafah, tidak hanya pada aspek pendidikan, tetapi seluruh aspek kehidupan. 

Pendidikan Islam tidak hanya meninggikan pemikiran (akliah), tetapi juga menenteramkan jiwa (nafsiah/mental). Generasi yang memiliki nafsiah islami ini akan menjadi pribadi tangguh yang mampu menghadapi masalah kehidupan dan menyelesaikannya berbasis ilmu dan tsaqafah yang ia miliki. Demi mencetak generasi penerus sehingga Islam dan kaum muslim makin kuat. Semangat ini muncul dari kesiapan bekal ilmu dan skill. Generasi muda muslim juga akan siap meneruskan estafet peradaban Islam sehingga mampu mewujudkan kegemilangan Islam. 

Pembinaan terhadap orang tua dan masyarakat dilakukan melalui berbagai media, termasuk diadakannya berbagai majelis ilmu di masjid-masjid yang bebas diakses siapa saja secara gratis. Negara juga memenuhi ruang media massa dan media sosial dengan konten dakwah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak