Bagaimana Sikap Dunia, jika Gaza Jatuh ke Tangan AS?



Oleh Siti Aminah aktivis Muslimah Kota Malang



Pernyataan berulang Presiden AS Donald Trump tentang AS mengambil alih Gaza untuk rekonstruksi dan mengusir warga Palestina ke Mesir dan Yordania telah mengejutkan negara-negara Arab.

Usulan yang kurang ajar itu diajukan selama kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Washington minggu lalu ketika dia mengatakan AS dapat mengambil alih Gaza dan membangunnya kembali menjadi "Riviera Timur Tengah", dengan memukimkan kembali warga Palestina di negara-negara regional.

Sejak kunjungan Netanyahu, ia telah menegaskan kembali pernyataannya, pada hari Senin mengatakan bahwa ia berkomitmen untuk "membeli dan memiliki" Gaza dan meningkatkan tekanan pada Yordania dan Mesir, termasuk dengan ancaman sanksi keuangan. Sindonews (16/02/2025)

Donald Trump begitu terobsesi untuk mengambil alih dan mengusir warga Gaza. Isu ini terus memanas di tengah penyerangan masif di seluruh wilayah Tepi Barat oleh militer dan pemukim zionis hingga korban terus berjatuhan, padahal masih dalam fase gencatan senjata.

Dunia tetap bungkam, dan para pemimpin Arab lebih mengamankan posisinya. Semua ini menunjukkan sistem kapitalisme denga segala aturan yang dilahirkannya tidak layak memimpin dunia dan diharapkan mewujudkan kehidupan yang aman damai.

Kemerdekaan, kebebasan Palestina dari penjajah zionis Israel tidak mungkin terwujud karena pendukung penjajah adalah negara adidaya, kekuasaan ada di tangan negara adidaya Palestina tidak akan mampu melawan Israel apalagi negara muslim lainnya yang tunduk dan patuh pada kebijakan negara adidaya.

Dunia butuh kepemimpinan Islam, yang mampu membungkam kepongahan zionis dan negara adidaya pendukungnya.
Untuk itu harus ada kelompok islam Ideologis yang akan membongkar persekongkolan penguasa Arab dan menyadarkan umat tentang urgensi kepemimpinan Islam.

Hanya pemimpin negara Islam yang mempunyai otoritas terhadap negara sendiri tidak diatur dan dikendalikan oleh negara lain yang mampu mengusir penjajah 1sr4el, seperti yang pernah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid pemimpin negara khilafah.

Dalam buku catatan harian penguasa Ottoman atau Utsmaniyah , Sultan Abdul Hamid II , antara lain berisi surat Sultan yang ditujukan kepada pemimpin gerakan Zionisme internasional, Theodore Herzl. Surat itu berisi penolakan keras Sultan atas permintaan Zionis internasional untuk menjual bumi Palestina kepada mereka. Kala itu, Ottoman tengah dilanda krisis keuangan yang parah akibat utang yang menggunung.

Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah" menjelaskan kala itu Palestina adalah bagian dari Utsmaniyah.

Theodore Herzl yang sukses mendapatkan dukungan dari Eropa seperti Jerman , lnggris, dan ltalia terus berjuang menembus penguasa Utsmani agar bisa membeli Palestina.

Ash-Shalabi mencatat Herzl berangkat menuju Konstantinopel pada bulan Juni tahun 1896 M. Pada kunjungannya ini, dia ditemani oleh Neolanski yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Sultan Abdul Hamid. Akibat dari kunjungan ini, Neolanski telah memindahkan pandangan-pandangan Herzl ke istana Yaldaz.

Pada saat itu terjadi dialog antara Sultan dengan Neolanski. Kala itu Sultan berkata padanya, “Apakah mungkin bagi orang-orang Yahudi untuk tinggal di tempat lain selain Palestina?”

Neolanski menjawab, “Palestina dianggap sebagai tanah tumpah darah pertama bagi orang-orang Yahudi, oleh karenanya orang-orang Yahudi sangat merindukan untuk bisa kembali ke tanah itu.”

Sultan menimpali, “Sesungguhnya Palestina tidaklah dianggap sebagai tempat kelahiran pertama bagi orang-orang Yahudi saja, namun juga oleh semua agama yang lain.”

Neolanski menjawab, “Orang-orang Yahudi tidak mungkin untuk mengambil Palestina, maka sesungguhnya mereka akan berusaha pergi dengan cara yang sangat sederhana untuk menuju Argentina."

Maka Sultan Abdul Hamid segera mengirimkan surat pada Herzl melalui perantaraan temannya Neolanski.

Dalam surat itu disebutkan; “Nasihatilah temanmu Herzl agar dia tidak mengambil langkah-langkah baru mengenai masalah ini, sebab saya tidak bisa mundur dari tanah suci ini (Palestina) walaupun hanya sejengkal. Sebab tanah ini bukanlah milik saya. Dia adalah milik bangsa dan rakyat saya. Nenek moyang saya telah berjuang demi mendapatkan tanah ini.”

“Mereka telah menyiraminya dengan ceceran darah. Maka biarkanlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan negeri Palestina, tanpa ada imbalan dan balasan apapun.”

“Namun patut diingat,” lanjut Sultan Abdul Hamid, “Bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun tentunya saya juga tidak akan menerima, raga saya dicabik-cabik sepanjang hayat masih di kandung badan.”

Masalah ini dicatat Sultan Abdul Hamid dalam buku catatan hariannya: “Adalah sangat pantas kita mengolah tanah kosong yang menjadi milik pemerintah. Ini berarti bahwa kita bisa melakukan usaha transmigrasi khusus. Namun kami tidak melihat transmigrasi orang-orang Yahudi itu sebagai sesuatu yang pantas. Sebab tujuan kita adalah menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agama dan tradisi nenek moyang kita hingga mereka (orang-orang Yahudi) menguasai dan menyetir urusan-urusan pemerintahan.”

Zionis menjadikan negara-negara Eropa sebagai penekan terhadap pemerintahan Utsmani. Pada saat itu, pemerintahan Utsmani sedang dilanda krisis keuangan dari hampir segala segi. Ekonomi negeri Utsmani benar-benar berada dalam ambang batas yang sangat memprihatinkan dan berada di ambang kehancuran.

Walaupun Ustmani dalam keadaan krisis tapi tetap mampu mempertahankan Palestina dari zionis Israel, pemimpin seperti inilah yang mampu membebaskan Gaza bukan pemimpin boneka seperti pemimpin negara-negara muslim saat ini tidak punya otoritas pada kebijakan negaranya sendiri.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak