Refleksi Hari Guru: Posisi Guru dalam Kacamata Islam

Oleh : Rima Septiani, S.Pd ( Pendidik)


Terpujilah

Wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup

Dalam sanubariku


Penggalan lagu Hymne Guru tersebut cukup familiar di telinga masyarakat. Hymne guru merupakan lagu yang selalu dinyanyikan ketika memperingati Hari Guru tiap 25 November.  Lagu ini memberikan kesan penghormatan derajat terhadap profesi guru. 

Berbicara guru, mereka adalah sosok yang memiliki peranan penting dalam pendidikan. Tugasnya bukan hanya sekedar mengajar, melainkan tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi sejatinya berada pada pundak guru. Guru merupakan pemeran utama dalam kemajuan bangsa ini. Gurulah yang diharapkan  dapat membentuk kepribadian, karakter, moralitas serta intelektual generasi bangsa ini. 

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan : Ing ngarsa sung tulada yang artinya guru berada di depan memberi tauladan, ing madya mangun karsa, berarti guru berada di tengah  menciptakan peluang untuk  berprakarsa, dan tut wuri handayani, berarti guru dari belakang memberikan dorongan dan arahan. 

Tapi kenyataan yang terjadi dalam sistem pendidikan  hari ini sungguh ironi.  Pasalnya hari ini ada banyak persoalan terjadi pada guru, mulai dari gaji yang tidak layak, guru hanya dianggap sebagai pekerja hingga maraknya kriminalisasi guru yang menunjukan guru tidak memiliki jaminan  perlindungan.

Ada banyak pula guru yang melakukan  perbuatan kontraprodukif terhadap profesinya, seperti melakukan bullying, kekerasan fisik dan seksual hingga terlibat pinjol ilegal.

Survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan bahwa sebagian besar guru di Indonesia terlilit pinjol. Salah satu penyebabnya adalah perilaku konsumtif. Berdasarkan data dari OJK, persentase guru di Indonseia yang menjadi korban pinjaman online ilegal mencapai 47 persen. (beritasatu.com)

Hanya di Indonesia jasa  guru belum dihargai sebagaimana mestinya. Sebut saja guru honorer  yang dalam sistem pendidikan hari ini mendapat ketidaksetaraan dalam pemberian upah. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara guru honorer dan guru pegawai negeri. Tidak sedikit kita saksikan guru honor yang harus bertarung nasib di luar sana  demi memenuhi kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang begitu keras saat ini, menuntut mereka terpaksa mencari pekerjaan tambahan. Jelas, kondisi ini akan berpengaruh pada pelaksanaan tugas dalam mendidik generasi. 

Berbagai persoalan tersebut sejatinya menunjukan bahwa guru hari ini menjadi korban dari sistem kehidupan sekularisme  yang rusak, sistem kehidupan yang saat ini justru memisahkan peran penting agama dalam bidang pendidikan. Kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Selama sistem sekularisme masih diterapkan, selama itulah kesejahteraan, penghormatan dan perlindungan  terhadap profesi guru  tidak akan pernah tercapai.

Jauh panggang dari api, ketika sistem pendidikan ini masih berlandas sekularisme maka persoalan guru tidak akan   terselesaikan . Sebab standar pendidikan sekuler sangat jauh dari nilai-nilai agama. Pengenalan konsep pahala, ridha Allah dan juga  aturan moral dalam menimba ilmu bukan menjadi hal yang diutamakan.

Sangat  berbeda dengan Islam dalam memposisikan   guru.  Islam memiliki aturan tertentu terkait  guru.  Islam menghormati ilmu dan pembawanya. Maka seorang guru akan mendapat  jaminan perlindungan serta peningkatan kualitas ilmunya. Hal tersebut sebagai wujud kebijakan negara  yang menghormati profesi guru.

Negara akan membuat kebijakan yang mengatur peningkatan  kualitas ilmu para guru. Seperti pemberian secara gratis berbagai fasilitas  pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku dan sarana prasarana penunjang lainnya  sehingga kualitas guru bisa dipertanggungjawabkan.

Terkait kualifikasi seorang guru, negara dalam Islam menetapkan kriteria  yg tinggi bagi seorang guru. Para guru haruslah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni, disiplin, profesional dan memiliki kemampuan mendidik. Kualifikasi tersebut akan  menjadi  seleksi untuk men-screening para calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.

Rasulullah saw. bersabda tentang profil guru. 

“Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sediki-sedikit yang lama-lama menjadi banyak”.(HR Bukhari)

Dengan demikian, kebijakan-kebijakan negara terkait penghormatan profesi guru akan memastikan  bahwa para guru adalah orang-orang yang layak untuk menjadi pendidik bukan orang-orang yang  menyandang status guru namun perbuatannya mencederai profesinya yang mulia seperti melakukan bullying hingga terlibat pinjol.

Tak hanya kebijakan tersebut, demi terwujudnya peran guru yang mencerdaskan generasi secara optimal, negara memiliki mekanisme tertib dan teratur dalam memperlakukan guru diantaranya memberikan gaji  yang besar. Dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani menyebutkan bahwa pada masa  pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik  umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadits dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar.

Apabila gaji dikonversi uang rupiah kurang lebih  gaji guru saat itu mencapai Rp. 12,75 miliar per tahun.  Sementara pengajar hadits dan fikih mencapai  Rp. 25,5 miliar per tahun  dengan asumsi harga 1 gram  emas murni sekitar Rp.1.500.000. Bahkan Az-Zahrani juga  menyebutkan  bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, gajinya makin besar.

Imam Al Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an  dan hadits paling popular pada masanya mendapatkan gaji tahunan  mencapai 40.000 dinar atau setara Rp. 255 miliar. Jumlah gaji sangat fantastis dan sangat cukup  untuk menjamin kesejahteraan guru. Jika guru sejahtera, guru akan bisa fokus dan optimal mengajar. Mereka tidak harus sampai kekurangan gaji hingga mencari pekerjaan sampingan  demi menutupi kebutuhan.

Negara juga akan memenuhi kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan  dan keamanan disediakan gratis serta berkualitas. Maka gaji para guru  bisa dikatakan lebih dari cukup  jika hanya sekedar  memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga.

Semua ini akan terwujud manakala umat menerapakn Islam secara totalitas dalam kehidupan baik dalam sistem pendidikan, sosial, dan kehidupan bermasyarakat lainnya. Wallahu alam bi ash shawwab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak