Riza Maries Rachmawati
World Teacher Day atau Hari Guru Sedunia pertama kali diperingati pada tanggal 5 Oktober 1994. Secara histori Hari Guru Sedunia ini dimulai pada tahun 1966 yaitu ketika UNESCI dan ILO (Organisasi Perburuhan Internasional mengadakan konferensi khusus yang menghasilkan rekomendasi tentang status guru. (www.kompas.com, 05-10-2024)
Dalam dokumen rekomendasi tersebut ditetapkan standar internasional terkait hak dan tanggung jawab guru, mencakup aspek-aspek seperti hak guru dalam proses pengajaran, kondisi kerja dan pengembangan profesional. Tujuan lain dari rekomendasi ini juga untuk memastikan bahwa profesi guru diakui sebagai elemen penting membangun masyarakat yang berpengetahuan dan adil dengan dengan pemberian hak-hak guru. Sejak saat itulah, momentum ini dari tahun ke tahun terus diperingati.
(gurudikdas.kemedikbud.go.id)
Di tahun 2024 ini, tepatnya pada tanggal 5 Oktober lalu dunia memperingati Hari Guru Sedunia dengan mengangkat tema ‘Valuing teacher voices: towards a new social contract for education (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan). Tema ini diangkat untuk menyoroti pentingnya ‘suara’ seorang guru. Pasalnya, suara para guru sangat diperlukan agar mereka dapat memberikan binaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya. (www.kompas.com, 05-10-2024)
Melalui tema ini pula, tercermin pentingnya mendengarkan dan menghargai pespektif guru dalam proses pendidikan. Karena ketika guru merasa didengar dan dihargai guru cenderung lebih mampu berkomitmen dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik sekaligus pencetak generasi berkualitas.
Dalam momen peringatan hari Guru sedunia ini, sepatutnya merefleksikan kembali peran dan kondisi guru khususnya di negeri ini. Fakta hari ini nasib guru sangat memprihatinkan, masih banyak guru yang tidak sejahtera apalagi dibedakannya antara guru PNS dan guru honorer.
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa melakukan survey kesejahteraan guru di Indonesia pada pecan pertama bulan Mei 2024 dalam rangka Hari Pendidikan Nasional. Hasilnya 74 persen guru honorer/kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan bahkan 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan Rp 500 ribu.
Aspek pemberdayaan guru yang menjadi poin yang disoroti di hari guru sedunia ini juga harusnya menjadi perhatian. Pasalnya saat ini beban kerja guru cukup tinggi. Rata-rata seorang guru mengajar 24 jam pelajaran per minggu, tetapi sering kali mereka juga harus mengurus tugas administratif dan kegiatan ekstrakulikuler.
Disaat yang sama akses guru terhadap pelatihan dan pengembangan profesional masih terbatas. Berdasarkan laporan dari World Bank (2021), hanya 30 persen guru yang mengikuti pelatihan dalam satu tahun terakhir. Hal ini menyebabkan banyak guru merasa tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mengajar dengan efektif, yang berujung pada kualitas pengajaran yang menurun.
Kondisi memperihatinkan guru ditanah air diperparah lagi dengan lingkunga kerja yang tidak kondusif. Karena faktanya masih banyak sekolah khusunya di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai, seperti ruang kelas yang layak, akses internet, atau bahan ajar yang cukup. Data Kemendikbud menunjukan bahwa sekitar 27% sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang sangat terbatas, sehingga mempengaruhi kinerja guru dan kualitas pendidikan.
Kondisi ini menunjukan bahwa tidak ada perhatian serius di negeri ini terhadap pendidikan yang akan mencetak generasi berkualitas. Negara yang menerapkan sistem pendidikan sekuler sungguh telah abai terhadap nasib guru dan generasi. Tidak ada penghargaan yang berarti pada guru, bahkan bisa dikatakan bahwa negara sedang mengabaikan kesejahteraan guru dan membiarkan guru bekerja di bawah tekanan hidup yang tinggi.
Sejati sikap negara yang abai terhadap nasib guru ini akibat dari diterapkannya ideologi kapitalisme yang berasas sekularisme. Sekularisme sendiri merupakan paham yang memisahakan agama dari kehidupan. Kebijakan bernegara mutlak dibuat oleh akal manusia yang lemah dan cenderung mengikuti hawa nafsu. Sehingga lahirlah kebijakan kapitalistik yang hanya menguntungkan para pemilik modal dan elit oligarki. Kurikulum pendidikan disusun untuk mendukung berjalannya bisnis korporat. Sementara guru hanya dipandang sebagai faktor produksi yang akan mempercepat tercetaknya peserta didik yang siap terjun ke dunia kerja untuk memacu laju bisnis para korporat.
Alih-alih menempatkan guru sebagai pencetak generasi pembangunan peradaban, negara dengan kepemimpinan sekuler telah merusak jati diri guru. Carut-marutnya dunia pendidikan sekuler menjadikan guru lupa pada peran utamanya. Maka tak heran bila saat ini banyak kita jumpai ada guru yang justru melakukan tindakan buruk pada siswanya baik kekerasan verbal, fisik maupun seksual, bahkan hingga mengakibatkan kematian.
Permasalahan komplek yang menimpa guru hari ini bersifat sistemis, bukan sekedar masalah individual saja. Maka harus ada solusi yang sistemis agar secara tuntas mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru. Dibawah kepemimpinan Islam, sistem pendidikannya akan mampu menghasilkan guru yang berkualitas bersyakhsiyah Islam. Islam memandang guru sebagai profesi mulia sehingga layak mendapat apresiasi tinggi atas pengabdiannya.
Islam sangat memuliakan dan menghormati guru, dimulai dari bagaimana seorang murid diperintahkan untuk takzim kepada guru sampai negara wajib memuliakan guru dengan menghargai jasa-jasanya dengan memberikan gaji yang tinggi. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab para guru diupah sebanyak 15 diinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Gaji guru yang besar ini dibagikan oleh negara tanpa memandang status pegawai negeri atau bukan diperkotaan atau perdesaan.
Pengkondisian guru agar bisa fokus dan optimal pada tugasnya mendidik murid akan selalu di upayakan oleh negara. Dengan jalan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk guru. Guru tidak lagi dipusingkan dengan sulitnya memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sebab dengan sistem ekonomi Islam yang di terapkan baik sandang, pangan, maupun papan akan mudah didapatkan dengan harga yang tentunya terjangkau. Kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan pun akan bisa diakses dengan cuma-Cuma.
Islam mengharuskan calon guru berkriteria tinggi karena tugasnya berat yaitu menjadi pembentuk syakhsiyah Islamiyah pada diri anak didik. Melalui penerapan sistem pendidikan dengan kurikulum Islam akan tercetak guru-guru pendidik yang berkualitas yang takut kepada Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda tentang profil guru, “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak.” (HR Bukhari).
Sistem ekonomi Islam yang kuat dan unggul juga memampukan negara membangun fasilitas sekolah yang memadai dan berkualitas. Alhasil guru dapat merasakan suasana aman dan nyaman saat mengajar. Untuk meningkatkan kualitasnya sebagai pendidik dan pengajar guru akan dengan mudah mendapatkan berbagai fasilitas pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku, dan sebagainya. Namun perlu dipahami bahwa semua ini hanya akan terealisasi dalam negara yang menerapkan Islam Kaffah.
Wallahu’alam bishshawab
Tags
Opini
