Ani Hayati,S.hi (pegiat Literasi)
Beberapa hari ini netizen dihebohkan dengan adanya postingan produk beralkohol bahkan dengan merk yang kontroversi terdapat jaminan lebel halal, disinyalir Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10).
Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare (Wartabanjar.com 1/10/ 2024).
Menjelaskan data viral tersebut, BPJPH menjelaskan bahwa persoalan tersebut hanya berkaitan dengan penamaan produk, bukan soal kehalalan produk. Ini dimaksudkan agar masyarakat tidak ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal telah terjamin pula kehalalannya. Produk tersebut diklaim telah melalui proses sertifikasi dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.
Namun demikian pihak MUI membantahnya dengan mengatakan bahwa fatwa MUI tidak pernah memberikan ketetapan halal pada produk tersebut. Lalu MUI pun melakukan investigasi. Sesuai dugaan, produk-produk miras yang disebutkan tadi ternyata memperoleh sertifikat halal itu melalui jalur self declare tanpa audit Lembaga Pemeriksaan Halal serta penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
Yang menjadi pertanyaan mendasar lantas peran MUI selama ini untuk apa? Jikalau kebijakan yang dikeluarkan melalui MUI tak di anggap lagi? Bahkan dengan mudah mendapatkan jaminan halal melalui jalur self declare.
Perlu kita ketahui, self declare adalah sebuah proses saat pelaku usaha dapat menyatakan sendiri atau mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat halal melalui BPJPH di Indonesia. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Kemenag dan mulai berlaku pada 2021. Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan pelaku usaha, terutama UMKM dalam mendapatkan sertifikat halal.
Sejak awal kebijakan ini pun sangat disorot karena berpotensi besar disalahgunakan. Kini terbukti, miras yang jelas-jelas namanya tuak, beer, dan wine itu bisa mendapatkan sertifikat halal. Namun atas dalih mempermudah UMKM untuk mendapatkan sertifikat halal, alih-alih kebijakan tersebut dihapus, pemerintah malah menyediakan satu juta kuota sertifikat halal bagi UMKM melalui skema self declare pada 2023.
Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Mirisnya hal tersebut dianggap aman karena dzatnya halal.
Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tak jadi soal asal dzatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merup;akan persoalan prinsip. Selain itu, Sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi.
Sangat Jelas pemerintah telah gagal fokus terhadap kebutuhan umat. Umat sangat berharap dengan adanya sertifikat halal, mereka akan lebih mudah memilah antara produk-produk yang bisa dikonsumsi dengan yang tidak tersebab keharamannya. Ini sungguh menyedihkan, produk pangan haram yang beredar di pasaran nyatanya semakin banyak. Bukan hanya minol, tetapi juga babi, anjing, serta makanan dan minuman haram lainnya maupun turunannya, yang sangat mudah ditemukan di pasaran. Bahkan baru-baru ini ada seorang kepala daerah yang membolehkan ada pameran pangan nonhalal.
Masyarakat jelas tidak akan pernah bisa berharap kepada negara sekuler kapitalisme untuk mampu memberikan jaminan pangan halal, itu hanya Ilusi. Wajar landasan negara sekuler bukan akidah Islam melainkan kemanfaatan. Selain itu, negara sekuler kapitalisme tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan pangan dan melindunginya dari zat haram.
Sebaliknya, negara Islam (Khilafah) mampu menjamin pangan halal. Khilafah memiliki fungsi sebagai pengatur dan pelindung umat. Khilafah akan menjamin ketersediaan dan keterpenuhan pangan halal hingga level individu per individu. Semua ini karena landasan negaranya adalah akidah Islam bukan kemanfaatan. Akidah Islam menjadikan para pemimpin dalam Khilafah berhukum dengan syariat secara kafah. Dengan begitu, jaminan pangan halal adalah perkara yang wajib dilakukan oleh Khilafah.
Dimana Khilafah berkewajiban untuk menjaga rakyatnya agar terus dalam suasana ketakwaan. Berbagai sarana yang mengantarkan pada kemaksiatan akan dicegah dan dilarang, seperti keberadaan diskotek, bar, maupun pabrik miras. Khilafah bertanggung jawab dalam pengawasan pangan, agar yang beredar di tengah masyarakat hanya produk halal.
Adapun standar halal-haram produk wajib bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, baik dari sisi zatnya, prosesnya, hingga penamaannya tidak boleh melanggar syariat. Sedangkan mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau bentuk lainnya yang akan dikaji mendalam oleh khalifah terkait efektivitas pengawasan pangan halal. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad).
Jadi. Jelas Islam memiliki aturan tentang benda/zat, ada yang halal ada yang haram. Negara islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda/makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.
Jaminan pangan halal dalam Khilafah akan memastikan semua produk pangan yang beredar adalah yang halal saja. Penerapan hal ini didukung oleh tiga pilar, pertama, ketakwaan individu, yang akan menjadi kontrol internal pada setiap individu agar tidak melakukan kemaksiatan termasuk menjual, mengedarkan, dan mengonsumsi produk pangan haram. Kedua, kontrol masyarakat. Dengan adanya adanya kontrol masyarakat, segala jenis kemaksiatan termasuk peredaran produk pangan haram bisa dengan mudah terdeteksi. Ketiga adalah penegakan aturan tegas oleh negara.
Ketiga pilar inilah yang akan mendukung terwujudnya masyarakat yang beriman dan bertakwa. Inilah gambaran umum kebijakan Khilafah dalam mewujudkan sistem jaminan pangan halal. Sedangkan negara sekuler kapitalis tidak akan mampu mewujudkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kelompok politik yang gigih dalam memahamkan umat perihal urgensitas adanya Khilafah agar bukan hanya produk pangan yang terjamin halalnya, tetapi juga seluruh syariat akan dapat diamalkan oleh kaum muslim. Wallahualam bissawab.
