Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Umat)
Penurunan harga barang dan jasa berakibat berkurangnya jumlah uang beredar dalam waktu tertentu. Deflasi, itu yang lima bulan terakhir menimpa negeri ini. Seolah menguntungkan pembeli, tapi bagi produsen jelas sangat rugi, terlebih bagi para petani yang telah bekerja keras berharap nafkah bertambah, justru kerugian yang terjadi. Siapa bertanggung jawab masalah ini?
Dilansir CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi RI dinilai sedang tidak baik-baik saja di tengah ujung masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dinilai dari sejumlah indikator yang justru melemah.
Adapun indikator data tersebut dapat dilihat mulai dari turunnya pendapatan domestic bruto (PDB), PMI manufaktur yang masih terkontraksi, deflasi lima bulan beruntun, hingga peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Deflasi 5 Bulan Beruntun Menimpa Negeri
Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan pada Mei-September 2024. Kondisi ini mirip dengan situasi 1998/1999 di mana deflasi juga terjadi secara beruntun. Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.
Deflasi yang terus terjadi selama 5 bulan berturut-turut tersebut merupakan indikasi pemerintah tidak mampu mengatasi penurunan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada penurunan harga harga barang dan jasa, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan pengurangan produksi dan pada akhirnya akan berujung pada phk massal
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.
Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan. Namun ada potensi terjadinya pelemahan daya beli masyarakat yang juga dapat menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun.
Namun, tidak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.
IHK indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor supply. IHK akan melonjak atau mencatat inflasi tinggi saat terjadinya gangguan pasokan bahan pangan seperti cabai hingga beras. Jika pasokan kembali mencukupi maka harga kembali normal dan inflasi terkendali.
Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh kenaikan permintaan biasanya hanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Lebaran. Bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi karena permintaan menurun drastis. Namun, deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan kembali normal.
Kondisi ini berbeda dengan tahun ini di mana deflasi terus menerus terjadi di tengah laporan tercukupinya pasokan, mulai dari beras hingga telur. Sebagai buktinya, peternak telur sampai demo karena harga jatuh setelah permintaan terus turun.
Fakta tersebut kemudian memicu kekhawatiran jika ada persoalan pelemahan daya beli. Banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor dari melemahnya daya beli yang berujung pada melandanya permintaan barang dan deflasi.
Deflasi berakibat Kwalitas Pendidikan dan Kesehatan Menurun
Selama ini kinerja perekonomian Indonesia ditopang sebagian besar oleh konsumsi rumah tangga. Deflasi mengindikasikan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan daya beli signifikan diakibatkan oleh pendapatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja barang dan jasa, sehingga rumah tangga menahan daya belinya untuk berhemat pemasukan.
Jika daya beli sector rumah tangga terus menurun, maka dampak secara langsung adalah pada kesejahteraan anggota keluarga termasuk ibu dan anak. Mengingat sebagian besar anggaran rumah tangga saat ini diketahui dikelurkan untuk biaya Pendidikan dan Kesehatan.
Perlu diketahui deflasi pada harga bahan pangan strategis seperti cabai, telur, daging ayam dan tomat, jika untuk biaya belanja kebutuhan pokok (sembako) saja keluarga sudah mengurangi konsumsinya, apakah lagi untuk mengeluarkan biaya Pendidikan dan Kesehatan yang lebih mahal. Alih-alih terpenuhi, sangat mungkin akan dikorbankan mengingat rendahnya kemampuan daya beli rumahtangga dan tingginya biaya jasa Pendidikan dan Kesehatan.
Bisa dibayangkan jika kwalitas pendidikan ala kadarnya, mana bisa mendapatkan kwalitas unggul sebagai pemegang estafet kepemimpinan nantinya? Sementara kwalitas pendidikan unggul tak tercapai, akhirnya pemimpin negeri pun kwalitasnya apa kadarnya. Apalagi jika tak mau diterapkan syariat Islam, maka masalah demi masalah akan terus menimpa negeri ini.
Apalagi jika kwalitas kesehatan tak terjangkau juga. Mana bisa meraih pemuda tangguh sehat jasmani ruhani, jika fasilitas yang diberikan apa kadarnya, bahkan sering terjadi penolakan layanan kesehatan memadai. Apa jadinya jika fasilitas kesehatan umat tak terpenuhi? Umat tak sehat, jauh dari nilai sejahtera.
Islam Menjamin Kebutuhan Pokok Warga
Islam memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Semua akan selalu mampu mengakses baik secara tidak langsung maupun secara langsung. Layanan Pendidikan dan Kesehatan dijamin negara untuk setiap individu yang membutuhkan.
Penetapan sistem Islam secara kafah akan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan rakyat individu per individu. Sistem ekonomi Islam menetapkan sumber-sumber pemasukan negara sehingga negara akan mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyat, tanpa menggantungkan pada utang dan pajak sebagaimana negara kapitalisme.
Sumber saya alam yang dikelola maksimal oleh negara, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan umat dalam segala bidang. Kesejahteraan umat sangat diprioritaskan oleh pemimpin Islam. Sejahtera tak cukup terpenuhi kebutuhan pokok semata, melainkan sejahtera di seluruh lini kehidupan.
Perlu perjuangan serius yang harus dikerahkan demi mencapai kesejahteraan seluruh umat manusia di seluruh semesta alam. Ada sinergi kebangkitan pemikiran dan kesadaran politik bahwa pemimpin umat harus memikirkan semua kebutuhan umat di berbagai lini kehidupan.
Sebagai pemimpin Islam harus rela berjuang untuk menggerakkan seluruh aspek kehidupan, tak cukup hanya terpenuhi kebutuhan pokok melainkan harus sejahtera dalam bidang kesehatan, pendidikan, kemanan, komunikasi yang terjaga. Semua dilakukan karena Allah demi sebuah ketaatan dan ketundukan pada Allah dan hukum syara.
Jika pemimpin negara sangat peduli kesejahteraan umat maka masalah deflasi akan sangat mudah teratasi dan tidak terulang kembali. Siapa tak rindu hidup sejahtera dalam naungan kepemimpinan Islam peduli umat?
Wallahualam bissawab
Tags
Opini
