Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Masalah Anak dan Generasi)
Aturan baru pemerintah terkait penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar dan remaja bikin heboh. Betapa tidak, aturan itu tertuang dalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang Undang Kesehatan 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam peraturan tersebut diatur tentang pengadaan alat kontrasepsi bagi siswa sekolah dan remaja. Hanya saja, tidak ada penjelasan lebih detail mengenai poin pengaturan soal penyediaan alat kontrasepsi tersebut (Detik.com 6/8/2024).
Sontak saja, aturan itu memunculkan kontroversi di tengah masyarakat. Berbagai tanggapan pun bermunculan bak bola api yang kian memanas. Bahkan, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengkritik keras PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Yang mana, beleid tersebut mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Menurutnya, PP yang ditandatangani pada Jumat, 26 Juli 2024 itu dapat menimbulkan bermacam anggapan. Salah satunya pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
Tak hanya itu, Anggota Komisi VIII DPR Luqman Hakim juga turut menyoroti aturan pengadaan alat kontrasepsi bagi anak siswa sekolah dan remaja. Ia mewanti-wanti jangan sampai aturan itu justru menjadi pintu untuk remaja melakukan seks bebas. Luqman menggarisbawahi tentang makna penyediaan alat kontrasepsi untuk siswa dan remaja yang dapat menciptakan persepsi salah mengenai seksualitas di usia remaja. Dia melihat aturan ini bisa berpotensi mempromosikan hubungan seksual di usia muda.
Jika dicermati, wajar bila aturan diatas menuai polemik di negeri +62. Sebab, hal ini bukanlah yang pertama kalinya pemerintah menuai kritik ihwal kebijakan yang berkenaan dengan pelayanan alat kontrasepsi. Tentu publik masih ingat pada tahun 2012 silam Menteri Kesehatan Nafsiyah Mboi melakukan terobosan baru dalam sosialisasi penggunaan kondom mengingat pengidap HIV mencapai jutaan orang. Meski sang menteri pada saat itu sudah menegaskan jika sosialisasi kondom tak menyasar pelajar, namun gelombang protes tetap terjadi. Sehingga kini masyarakat merasa dejavu dengan keluarnya aturan alat kontrasepsi ini.
Seyogianya, pemerintah menyadari bahwasanya dengan adanya akses langsung ke alat kontrasepsi maka ada risiko remaja akan menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan mekanisme teknis semata, tanpa memperhatikan aspek emosional, moral, dan sosial. Serta konsekuensi jangka panjang. Hendaknya upaya sistem reproduksi sesuai siklus hidup khusus untuk anak usia sekolah atau remaja tidak termasuk dengan penyediaan alat kontrasepsi. Selain dapat menimbulkan kesalahan persepsi tentang hubungan seksual, aturan tersebut jelas tidak sejalan dengan norma-norma agama dan susila di Indonesia.
Perlu diingat bahwa sekadar menyediakan alat kontrasepsi tidak cukup untuk mengatasi tantangan kesehatan reproduksi remaja. Maka, seharusnya adalah pada pendekatan yang holistik dan komprehensif yang mencakup pendidikan seksual yang berkualitas, konseling, dan dukungan emosional. Daripada menyediakan alat kontrasepsi yang seolah-olah melegalkan hubungan seks remaja.
Sungguh miris. Agenda kesehatan reproduksi sudah diaruskan lebih dari dua dekade, tetapi perkara kesehatan reproduksi justru kian mengkhawatirkan. Inilah konsekuensi hidup dibawah asuhan peradaban Kapitalisme Liberal. Dimana, paham kebebasan berperilaku dan industrialisasi kesehatan justru dijadikan spirit upaya kesehatan sistem reproduksi. Akibatnya, makin menguatnya ancaman berbagai penyakit menular seksual, ancaman kepunahan ras, dan meluasnya kerusakan moral di tengah masyarakat.
Peraturan Pemerintah yang baru kian menegaskan pada kita bahwa negara gagal mewujudkan kemaslahatan publik berupa terawatnya kesehatan sistem kesehatan reproduksi generasi, serta terjaminnya masa depan mereka. Pasalnya, negara hadir hanya sebagai penjamin kebebasan individu sesuai arah pandang Kapitalisme. Apabila, pemerintah tulus bermaksud menjadikan generasi ini mulia, sehat sejahtera, dan terjauhkan dari ancaman kepunahan, sudah selayaknya negara segera mencabut PP ini berikut undang-undangnya. Sudah semestinya negara mengakhiri dedikasinya bagi kapitalisme liberal sebagai biang keladi segala persoalan.
Sebaliknya, Islam memandang bahwa mewujudkan kemaslahatan masyarakat dan menjaga agama adalah kewajiban negara yang tidak boleh dilalaikan sedikit pun. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan sejumlah tujuan keberadaan masyarakat Islam yang telah ditetapkan syara. Di antaranya ialah menjaga agama, jiwa, akal, dan keturunan. Artinya, negara harus hadir dengan sejumlah tindakan politik agar potensi berketurunan generasi yang Allah Swt. anugerahkan dapat dirawat dan dioptimalkan untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim. Rasulullah saw. menegaskan, “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Negara juga harus hadir sebagai pelaksana syariat kafah pada individu-individu yang mengadopsi Islam sebagai jalan hidupnya. Berupa sistem kehidupan Islam yang terhimpun di dalamnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, pergaulan, dan sanksi yang semuanya terpancar dari akidah Islam. Sehubungan dengan itu semua, kebijakan pelayanan kesehatan Islam bagi terawatnya kesehatan sistem reproduksi dan potensi berketurunan generasi berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih. Alhasil, upaya promotif, preventif, dan kuratif steril dari unsur fahisyah (perbuatan keji) dan industrialisasi sehingga meniscayakan maksimalnya faedah potensi berketurunan setiap individu. Juga meniscayakan terwujudnya kebahagiaan, kesejahteraan, kemuliaan, ketenangan, dan terhindarnya masyarakat dari kebejatan moral dan kerendahan tingkah laku.
Di antara prinsip sahih tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, Islam berpandangan bahwa Allah Swt. menciptakan naluri seks demi kelestarian ras manusia. Firman-Nya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Kedua, aktivitas kehidupan manusia wajib terikat dengan hukum syarak dengan dorongan meraih rida Allah Swt. sebagai puncak kebahagiaan yang diupayakan secara sungguh-sungguh oleh setiap muslim, termasuk yang terkait dengan kemunculan dan pemenuhan naluri seks.
Ketiga, Islam berpandangan bahwa kesehatan adalah puncak kepentingan dan kenikmatan yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw., “Mohonlah ampunan dan afiat (kesehatan) kepada Allah karena seseorang tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik setelah keimanan dari afiat.” (HR Ibnu Majah).
Keempat, Islam menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik bukan jasa dan komoditas komersial. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Kelima, negara adalah pihak yang berada di garda terdepan, bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan, berikut berbagai pilar sistem kesehatan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabdanya, “Imam/khalifah itu laksana gembala, dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap yang digembalakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sayangnya langkah-langkah diatas tidak akan pernah dapat diwujudkan jika negeri kita masih mengadopsi sistem batil Kapitalisme. Sudah saatnya umat mewujudkan negara yang benar-benar mengurusi rakyat dengan tulus tanpa ada unsur bisnis. Wallahu a'lam.
