Oleh : Rina Setiawati
(Pemerhati Remaja)
Gejolak kenaikan UKT masih menjadi perdebatan panas akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Sejumlah kampus telah menetapkan besaran UKT untuk mahasiswa ajaran baru dengan nominal yang fantastis. Hal tersebut pun sontak mengundang protes dan aksi demonstrasi mahasiswa dari berbagai kampus di tanah air.
Mereka menuntut agar Kemedikbudristek mencabut Permendikbud Ristek No. 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek. Peraturan Kemendikbudristek menegaskan bahwa peraturan UKT baru hanya berlaku kepada mahasiswa baru dan tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi, ungkap Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam Raker bersama Komisi X DPR RI di Jakarta.
Kabar kenaikan UKT berimbas pada keberlangsungan pendidikan masyarakat terutama masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Siti Aisyah merupakan salah satu dari ribuan orang yang terkena dampaknya. Gadis berusia 18 tahun tersebut akhirnya lebih memilih mengundurkan diri setelah diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Bukan tanpa sebab, Siti Aisyah mengundurkan diri lantaran terpaksa karena tidak sanggup membayar biaya UKT. Siti Aisyah juga sempat meminta keringanan kepada pihak kampus, akan tetapi biayanya masih terbilang cukup mahal baginya. Ayahnya hanya bekerja serabutan sehingga pendapatan tiap hari tidak bisa dipastikan. Walaupun sudah ada donatur yang siap membantu, ia tetap memilih mundur sebab donatur tersebut hanya bersedia membantu di awal dan untuk ke depannya belum pasti.
Kenaikan UKT apabila tidak mendapatkan solusi terbaik akan berakibat fatal pada masa depan negeri ini. Efek jangka panjangnya adalah negara akan kekurangan generasi yang berkualitas dan terdidik sehingga masa depan bangsa menjadi taruhannya. Bangsa dengan kualitas SDM yang rendah akan berpotensi menjadi jajahan oleh bangsa lain baik dari segi pemikiran maupun dari kekayaan. Sejatinya masa depan bangsa sangat ditentukan oleh sistem yang dianut oleh bangsa itu sendiri termasuk bangsa Indonesia.
Apabila ditelisik lebih jauh, masalah di dunia pendidikan mengenai kenaikan UKT yang fantastis berakar dari penerapan sistem kapitalis di negeri ini.
Pendidikan saat ini bukanlah merupakan suatu kebutuhan dasar tetapi dijadikan sebagai barang komoditas yang diperjual belikan. Masyarakat dengan ekonomi menengah keatas akan mudah mengakses pendidikan dengan kualitas pendidikan yang terbaik, sebaliknya untuk masyarakat ekonomi yang rendah jangankan untuk mengakses pendidikan terbaik bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengakses pendidikan biasa pun tidak mampu.
Disadari atau tidak, kenaikan UKT ini merupakan salah satu wujud nyata kapitalisasi pendidikan. Pemerintah semakin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya. Dengan dalih otonomi dan kemandirian pengelolaan kampus, tanpa disadari subsidi pendidikan dicabut sedikit demi sedikit dimana anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti hanya 0,6% dari APBN atau sekitar 8,2 triliun dari 29 triliun atau 2,7% yang dianggarkan untuk seluruh jenjang pendidikan.
Disisi lain, kampus dituntut untuk unggul dan berkelas dunia dengan predikat World Class University (WCU). Hal tersebut tentu membutuhkan dana yang sangat besar sehingga kampus harus menempuh berbagai cara untuk membiayai operasional yang begitu tinggi, salah satu-satunya dengan menaikkan biaya UKT.
Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa mahalnya biaya pendidikan saat ini merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak akibat penerapan sistem kapitalisme.
Negara penganut sistem kapitalisme hanya akan memikirkan untung rugi serta melupakan kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat termasuk dalam menjamin pendidikan setiap individu rakyatnya.
Hal tersebut tentu mustahil terjadi apabila sistem Islam yang diterapkan. Cara pandang Islam sungguh berbeda nyata dengan pandangan kapitalisme dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan.
Islam memandang bahwa pendidikan adalah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara sehingga biayanya akan ditanggung oleh negara. Hal ini berdasar pada sabda Rasulullah saw., "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim" (HR Ibnu Majah) serta hadis, "Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya" (HR Muslim dan Ahmad). Kesempatan pendidikan terbuka lebar dari pendidikan dasar hingga tinggi bagi seluruh rakyat karena tanggung jawab negara terhadap pendidikan adalah sama, baik terhadap fakir miskin, orang kaya, muslim maupun non-muslim.
Selain itu, negara juga memberikan fasilitas terbaik meliputi gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran termasuk tenaga tenaga pengajar yang ahli di bidangnya sekaligus memberikan gaji yang mensejahterakan bagi pengajar. Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di Baitul maal untuk memenuhi anggaran pendidikan yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos milkiyyah ammah (kepemilikan umum).
Pembiayaan ini akan sangat cukup untuk menjamin pendidikan gratis seluruh warga negaranya sehingga siapapun dapat mengakses pendidikan yang berkualitas tanpa harus memikirkan biaya. Sungguh, hanya dengan penerapan sistem Islam pendidikan terbaik akan terwujud dan melahirkan generasi emas sebagai penerus pembangun peradaban mulia. Bahkan para pengajar pun akan terjamin kesejahteraannya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini
