Oleh : Ummu Aqeela
Putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah disebut sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun sejumlah partai politik menampik tudingan tersebut, seraya menegaskan putusan ini "memberikan kesempatan" kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik.
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi.
“Selain karena umur, alasan kecurigaan lain adalah kenapa harus direvisi saat ini? Saat proses [pemenuhan persyaratan dukungan calon perseorangan] tengah berlangsung dan kenapa perubahannya lewat jalur-jalur potong kompas?“ kata Aisah saat dihubungi BBC News Indonesia, Jumat (31/05).
MA mengubah ketentuan syarat calon kepala daerah dari yang berusia paling rendah 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten "terhitung sejak penetapan pasangan calon" pada 22 September 2024 menjadi "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih" yang kemungkinan akan berlangsung pada awal tahun 2025.
Selain kecurigaan itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik penalaran hukum dalam putusan MA yang menurutnya tidak wajar dan bahkan “sudah keluar dari tugas konstitusional MA“. (BBC News Indonesia, 2 Juni 2024)
Sungguh bukan hal yang asing pada zaman sekarang, semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Sampai-sampai menabrak semua peraturan bahkan rasa malupun diabaikan. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah “aset”, karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur bahkan presiden merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan/kepemimpinan tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang/tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang, bukan hanya sekedar dia mau namun juga mampu dengan kriteria sesuai syari’at bukan asal menjabat atau asal memilih. Ini akan menjadi derita berkepanjangan jika salah langkah dalam menunjuk pimpinan negara. Yang sangat disayangkan lagi saat ini muncul opini menyesatkan, bahwa memilih pemimpin jangan dilihat dari agama maupun kesholehannya. Tentu saja ini bukan hal yang mengherankan jika sekulerisme dijadikan pijakan dalam setiap tindakan. Sungguh makin kesini umat makin menjauh dari syari’at dan rahmat.
Hakikat kepemimpinan dalam Islam
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt.
Q. S. Al-Baqarah (2): 124,
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”.(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah saw: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu”.(H. R. Bukhari Muslim).
Dari sini dapat dipahami bahwa pemimpin dalam Islam adalah yang mengatur segala keperluan masyarakat berlandaskan syariat Islam dari segala urusan dunia dan akhirat dalam rangka menjaga agama dan segala prinsip-prinsipnya. Adanya syariat Islam menjadi instrumen penting dalam menjalankan pemerintahan. Jadi, jangkauan untuk diangkatnya pemimpin terkait aspek yang mencakup personal, how to get dan how to rule.
Kepemimpinan dalam Islam merupakan perkara penting dalam kehidupan beragama setiap muslim. Ia merupakan unsur yang sangat vital dalam tegaknya agama Islam, sebab syari’at Islam hanya bisa ditegakkan secara sempurna manakala kepemimpinan dalam sebuah negara atau wilayah dikuasai oleh orang yang memiliki perhatian terhadap syariat dan menjalankan syari’ar itu sendiri. Sebaliknya, tatkala kepemimpinan dipegang oleh mereka yang anti terhadap syariat Islam dan tidak suka terhadap aturan-aturan Allah, maka sulit sekali Islam akan tegak di dalamnya.
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits. Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya/memilihnya.
Wallahu’alam bishowab
