Jurnalistik Investigasi Diawasi, Diktator Makin Unjuk Gigi

Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)


Rancangan Undang-Undang Penyiaran masih terus hangat mengguncang opini publik. Pasalnya draft RUU penyiaran yang tersebar luas, memantik kritikan tajam dari berbagai kalangan. Berbagai aksi dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia.

Salah satunya di Surabaya. Para jurnalis, mahasiswa, akademisi dan aktivis hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) Tolak RUU Penyiaran Surabaya menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (28/5/2024). Sorotan utamanya yaitu terdapat pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (cnnindonesia.com, 28/5/2024). Seperti yang termuat di dalam RUU Penyiaran pasal 50, B ayat 2(c), menyatakan bahwa negara melarang tayangan jurnalistik investigasi.


Sistem Anti Kritik

Poin dari pasal tersebut dikhawatirkan akan membungkam kritik sosial di tengah semakin terpuruknya keadaan saat ini. Kebijakan ini pun dirasa aneh, karena publik dilarang mengetahui kebenaran yang tengah terjadi di tubuh pemerintahan. Padahal nyatanya, laporan penyiaran jurnalistik investigasi mampu dijadikan alat untuk mengukur kinerja pemerintah dalam segala hal kebijakan yang ditetapkan. Dan dengannya pula, masyarakat mampu mengetahui dan mengubah segala hal yang tidak sesuai dengan prosedur.

Misalnya saja investigasi tentang kasus korupsi atau kasus kriminalitas yang menyangkut nama baik lembaga negara. Dengan adanya laporan investigasi, tentu akan menjadi alat bagi pemerintah untuk terus memperbaiki kinerja sistem. Karena konsep dari laporan investigasi adalah pencarian fakta mendalam, cermat dan teliti. Sehingga mampu dihasilkan rumusan solusi sistematik yang mampu memperbaiki keadaan.

Laporan jurnalistik investigasi sebetulnya berfungsi sebagai sarana untuk mengendus pelanggaran yang merusak kepentingan publik, seperti korupsi, penyalahgunaan anggaran negara, dan kasus sejenisnya. Mestinya negara mampu menjadi institusi yang senantiasa menerima kritik untuk memperbaiki kinerja. Terlebih tugas jurnalistik juga seharusnya dilindungi negara, bukan malah dibungkam. Sebagaimana pengaturan penjagaan pers yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Kebebasan Pers. Pers tidak boleh dikekang oleh kekuatan negara, sekalipun dengan alasan penegakan hukum. Pers mestinya senantiasa dilindungi, karena dengan adanya liputan investigasi mendalam, publik menjadi mengetahui segala bentuk kebenaran dan kekeliruan yang terjadi.

Sayangnya, dalam tata aturan sistem rusak, aktivitas kritikan dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Bahkan konsepnya dikategorikan sebagai bentuk radikalisme. Padahal, mengkoreksi penguasa adalah salah satu tugas mulia. Untuk mengembalikan kebenaran di sisi umat.

Terkait penetapan RUU Penyiaran, setiap skandal mampu dihilangkan jejaknya. Alhasil, kerusakan makin merajalela dan rakyat selalu dalam posisi terpuruk. Inilah ciri negara sekularisme diktator yang otoriter. Konsep ini meniscayakan suburnya keberadaan penguasa berwatak diktator. Tak ayal, negeri kita akan dikuasai para diktator yang enggan dikritik.

Dalam sistem sekularisme, negara hanya berfungsi sebagai lembaga yang tidak mampu melindungi kepentingan publik. Karena cara pandang sekularisme menempatkan rakyat sebagai beban, bukan amanah yang harus dijaga. Dan konsep ini berkembalikan secara diametral dengan konsep agama. Dan perlu diketahui bahwa dalam sistem sekularisme, nilai dan aturan agama senantiasa dijauhkan dalam pengaturan urusan publik. Alhasil, diktator makin liar dan makin mudah beraksi melakukan kezaliman yang masif dan sistematis.


Kritik, Mekanisme Muhasabah

Syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan. Termasuk pengaturan penyelenggaraan negara. Agar pelaksanaannya sesuai hukum syara'.
Syariah Islam pun mensyariatkan perlu adanya kritik sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rakyat memiliki kewajiban mengingatkan penguasa, jika melanggar syariat dan berkhianat terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda,
Sebaik-baik jihad adalah kalimat keadilan (mengungkapkan kebenaran) di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim.” (HR. Ibnu Majah).
"Jihad yang paling besar pahalanya itu sungguh perkataan yang haq yang mengena untuk pemimpin yang zalim". (HR At-Tirmidzi).

Mengkoreksi penguasa adalah mekanisme publik untuk mengingatkan dan mengembalikan kebenaran dalam kehidupan.

Kritik sosial hanya mampu optimal terlaksana apabila diterapkan dalam sistem yang shahih, yakni sistem Islam, satu-satunya sistem yang memposisikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Sistem sempurna ini hanya mampu diterapkan dalam institusi khas, yakni khilafah, sebagaimana Rasulullah SAW. menerapkannya dalam menegakkan hukum syariah secara utuh dan menyeluruh.

Penguasa dan umat adalah sepasang elemen pembangun sistem yang wajib saling melengkapi dan mengingatkan sebagai bentuk ketundukan terhadap hukum syara'. Dengan konsep ini, sistem dan institusi mampu optimal berfungsi menjaga umat. Sebagai tanda taat kepada Dzat Maha Pengatur, Allah Azza wa Jalla.

Wallahu a'lam bisshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak