Oleh: Nita Nur Elipah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan sederet bantuan sosial (bansos) sejak akhir tahun kemarin. Mulai dari bantuan pangan beras 10 kilogram (kg), BLT El Nino Rp 200 ribu per bulan, hingga yang terbaru BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan.
Alasan utama pemberian sederet bansos adalah untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.
Namun kebijakan terkait bansos ini dinilai sebagai alat kampanye pendongkrak suara. Karena seperti diketahui bahwa Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri nya tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Meski telah ada imbauan agar kepala negara tidak keluar jalur, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diharapkan bersikap lebih tegas.
Menurut Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia mengatakan bahwa,
"Memang ada indikasi tingkat politisasi bansos yang semakin masif di 2024, walaupun diklaim itu bukan politisasi bansos, tetapi program yang memang sudah dianggarkan dan berjalan,".
Jika kita cermati, peluang adanya politisasi bansos ini memang bisa saja dilakukan oleh penguasa ataupun calon penguasa. Selain untuk mengambil simpati dan dukungan rakyat, kekuasaan menjadi tujuan utama yang akan diperjuangkan dengan segala macam cara. Oleh karena itu setiap peluang akan dimanfaatkan.
Hal semacam itu wajar terjadi dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dianut negara ini. Sistem ini memiliki 4 pilar kebebasan, dan salah satunya adalah kebebasan berperilaku. Apalagi sistem ini asas atau dasarnya adalah sekulerisme, yakni menjauhkan dan mengabaikan aturan agama dalam kehidupan.
Di sisi lain, karena kesadaran politik yang rendah, rendahnya Pendidikan dan kemiskinan yang menimpa, masyarakat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kebanyakan masyarakat berpikir pragmatis, dengan menganggap adanya bansos ini merupakan solusi dari permasalahan kemiskinan yang mereka hadapi.
Seperti yang kita ketahui bahwa kemiskinan telah menjadi problem kronis negara. Padahal, negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan di selesaikan dari akar persoalannya. Bukan hanya sekedar dengan bansos berulang, apalagi meningkat saat menjelang pemilu.
Pemberian bansos untuk menyelesaikan kemiskinan ini sejatinya bukanlah solusi yang hakiki, melainkan hanya solusi sesaat dan pragmatis. Bansos tidak akan mencukupi kebutuhan masyarakat setiap hari nya, karena memang diberikan diwaktu tertentu saja, padahal masyarakat butuh makan setiap hari.
Ini sangat berbeda dengan paradigma didalam Islam. Islam memandang bahwa negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Karena negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok masing-masing individu secara layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara baik.
Islam juga menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.”
[Hr. Bukhari dan Muslim]
Ibarat seorang penggembala, seorang pemimpin atau penguasa itu harus benar-benar memastikan rakyatnya tidak kelaparan. Konsep seperti ini hanya bisa dilakukan oleh seorang pemimpin yang menerapkan syari'at Islam sebagai aturan bernegara.
Islam juga memiliki beberapa konsep dalam mensejahterakan masyarakat, dimana negara akan memastikan para penanggung nafkah seperti ayah dan suami mampu mengakses lapangan pekerjaan dan benar-benar memenuhi tanggung jawab mereka untuk menafkahi keluarganya.
Negara dalam sistem Islam juga akan membangun fasilitas pendidikan terbaik secara murah, bahkan cuma-cuma bagi masyarakat agar kepribadian mereka terbentuk menjadi berkepribadian Islam yang amanah dan jujur. Alhasil, mereka memahami agamanya berikut tata aturan di dalamnya, juga memiliki kemampuan yang diperlukan untuk menjalani kehidupannya.
Negara juga akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi, tidak perlu pencitraan agar disukai rakyat. Sehingga politisasi apapun itu demi kepentingan individu ataupun kelompok tidak akan terjadi.
Semua ini hanya bisa terealisasi apabila negara menjadikan akidah Islam sebagai landasan pemikirannya dan syariat Islam sebagai asas dari seluruh mekanisme yang berjalan dalam negara.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini
