Oleh. Siti Uswatun Khasanah
(Aktivis Dakwah Gen Z)
Tanggal 14 Februari 2024 merupakan hari diselenggarakannya pesta demokrasi di negeri ini, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan wakil presiden serta legislatif. Sebelum diadakannya pemilu para calon-calon presiden dan wakil presiden serta legislatif menyelenggarakan kampanye agar bisa mendapatkan suara dari rakyat.
Biasanya kampanye dilakukan dengan memberikan uang atau barang berupa sembako dan baju bertuliskan partai. Kampanye juga dilakukan dengan memasang baliho dan bendera di pinggir jalan, bahkan demi mengikuti kampanye juga dilakukan di sosial media.
Calon-calon kepala negara dan legislatif ini rela menghabiskan dana hingga miliyaran bahkan triliunan rupiah untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Inilah yang sering kali menjadi penyebab gangguan jiwa bagi sebagian caleg yang gagal dalam pemilihan umum. Untuk mengantisipasi hal ini negara menyiapkan rumah sakit di beberapa daerah untuk menangani caleg yang stres akibat gagal dalam pemilihan umum.
Dikutip dari detiknews (26/01/2024), anggota DPRD DKI meminta dinas kesehatan untuk siap menangani caleg yang stres akibat gagal dalam pemilihan umum.
Seorang Psikiater, Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ menyatakan bahwa caleg tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami stres jika gagal dalam pemilihan umum. (antaranews, 11/12/2024)
Fenomena ini merupakan bukti bahwa pemilu dalam sistem yang diterapkan hari ini rawan mengakibatkan gangguan mental. Sistem hari ini juga telah banyak melahirkan orang-orang yang gila jabatan yang rela mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan semu.
Mereka tidak benar-benar berpihak pada rakyat, hanya menginginkan kursi pemerintahan saja. Jabatan menjadi impian karena dianggap dapat menaikan harga diri dan menjadi jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan fasilitas lainnya.
Inilah fakta rusaknya sistem kepemimpinan demokrasi sekuler kapitalis. Orang yang berkuasa adalah orang yang kaya, dan merekalah yang berkuasa. Maka dalam sistem ini orang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.
Pendidikan sekuler kapitalis juga telah melahirkan calon-calon pemimpin dengan orientasi duniawi semata, tidak benar-benar dididik untuk menjadi pemimpin umat yang sebenar-benarnya berpihak pada masyarakat. Kegagalan pendidikan sekuler kapitalis dalam membentuk individu berkepribadian kuat telah terpampang nyata.
Jabatan yang seharusnya menjadi hal yang dipandang berat dan amanah yang tak mudah justru menjadi hal yang didamba-dambakan bahkan diperebutkan. Inilah bukti nyata kerusakan sistem demokrasi.
Dalam Islam, jabatan dan kekuasaan merupakan amanah yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Jutaan manusia yang dipimpin menjadi tanggung jawab seorang kepala negara. Kekuasaan di dalam Islam bukanlah hal yang seharusnya diperebutkan, orang yang mengerti tentang kekuasaan tentu akan merasa bahwa ini adalah hal yang tidak mudah.
Sebagaimana sahabat Abu Bakar ra yang dipercaya dan dibaiat oleh umat pada masa itu, beliau menerima jabatan atas panggilan keimanan dan rasa tanggung jawabnya terhadap Islam dengan perasaan gugup, cemas dan takut.
Abu Bakar tidak pernah memiliki ambisi sedikit pun atas jabatan ini, dirinya menganggap bahwa jabatan sebagai khalifah adalah hal yang berat dan penuh tanggung jawab.
Dalam Islam pemimpin bukanlah seseorang yang harus dihormati secara berlebihan dan harus mendapatkan fasilitas yang menguntungkan, tapi justru pemimpin adalah pelayan bagi umat yang harus memikirkan cara agar rakyat yang dipimpinnya mendapatkan segala hal yang dibutuhkan.
Pemimpin yang paling baik di dalam Islam adalah pemimpin yang memimpin dengan sistem kepemimpinan Islam, yaitu seorang pemimpin yang menerapkan aturan Islam sesuai dengan apa yang Allah contohkan dan Rasulullah contohkan. Penerapan Islam yang memberikan kedaulatannya pada hukum syara bukan pada manusia, maka ketika seorang pemimpin di dalam Islam menerapkan aturan haruslah sesuai dengan hukum syara.
Pendidikan dalam kepemimpinan Islam juga akan melahirkan dan mencetak generasi-generasi calon pemimpin hebat yang kuat secara iman, pemikiran, kepribadian dan mental, bukan calon pemimpin yang gila harta dan jabatan.
Lahirnya pemimpin tangguh tidak akan mungkin terjadi tanpa diterapkannya sistem kepemimpinan Islam kafah dalam sebuah negara.
Wallahu a’lam bishawab
