Antisipasi Depresi ala Demokrasi

 



Oleh. Irohima


Kegagalan dalam meraih sesuatu merupakan sebuah hal yang lumrah adanya, karena gagal merupakan sebuah bagian dari fase hidup yang pasti dialami hampir semua orang. Banyak orang yang mampu menyikapi sebuah kegagalan dengan bijak hingga ia menjelma menjadi orang yang kuat, tapi tak sedikit orang yang tak kuasa menerima sebuah kegagalan, akibatnya berujung pada stres dan depresi yang berkepanjangan hingga bisa menimbulkan gangguan kejiwaan.


Sebentar lagi kita akan melaksanakan pemilihan umum yang diramaikan oleh banyaknya peserta, tentu dalam ajang ini akan ada yang meraih keberhasilan dan yang mengalami kegagalan.  Belajar dari pemilu-pemilu yang lalu, banyak kasus gangguan jiwa yang terjadi akibat stres karena kegagalan Seperti yang dikatakan oleh Abdul Aziz, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta bahwa kecenderungan orang stres biasanya meningkat pasca pemilu, maka dari itu beliau meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk mengantisipasinya dengan menyiapkan layanan konseling dan fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg pemilu 2024 yang gagal terpilih (detiknews, 26/1/2024). 

 

Senada dengan Abdul Aziz, sejumlah rumah sakit di berbagai daerah juga melakukan langkah antisipasi yang sama dengan menyiapkan ruangan khusus bagi calon legistatif  yang mengalami stres atau kesehatan mental yang terganggu akibat kalah dalam pemilihan legistatif (Pileg). Tak hanya dokter spesialis jiwa, pihak rumah sakit pun akan menyediakan psikolog dan psikiater.


Fenomena caleg depresi akibat gagal terpilih telah membuktikan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengakibatkan gangguan mental. Padahal kekuatan mental seseorang akan berpengaruh besar dalam menentukan sikap terhadap sebuah kemenangan ataupun kekalahan. Butuh seseorang yang bermental kuat, bersikap tenang dan legowo dalam menghadapi apapun hasil dari pemilu ini, karena jika tidak, marah, kecewa hingga stress akut akan membuat kesehatan mental seseorang terganggu. Apalagi bila kita telah berkorban tenaga, waktu dan harta sedemikian rupa, tetapi tujuan untuk duduk di parlemen tak tercapai. 


Seperti kita ketahui bahwa pemilu saat ini berbiaya sangat tinggi, siapapun yang ingin menang butuh perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara yang tak hanya menguras tenaga tapi juga dana, hingga tak sedikit orang yang mengorbankan segala yang dimiliki demi mendapatkan tahta. Selain itu, memiliki jabatan adalah sebuah impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri juga sebagai akses mendapat keuntungan materi dan berbagai kemudahan. Maka tak heran jika orang begitu tertarik ikut dalam kontestasi politik ini.


Orang-orang yang memiliki mental kuat biasanya memiliki kesiapan dalam menghadapi masalah dan tantangan, mampu menangani masalah secara efektif dan efisien serta mampu bertahan di tengah tekanan, karena inilah yang bisa mengurangi tingkat stres secara keseluruhan.


 Selain itu, pendidikan menjadi salah satu faktor yang penting dalam membangun karakter dan mental seseorang. Tingkat pendidikan dan kesehatan mental dikatakan memiliki hubungan yang sangat erat, orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi umumnya memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena mempunyai lebih banyak pilihan dan  kendali serta keamanan yang lebih baik atas hidup mereka. Sebaliknya, orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah memiliki rasa kontrol dan keamanan yang kurang hingga rawan terkena depresi.


Begitu pentingnya pendidikan dalam membentuk kekuatan mental seseorang, namun sayangnya pendidikan hari ini gagal membentuk individu yang berkepribadian kuat, ini terbukti dengan meningkatnya kasus gangguan mental di masyarakat, khususnya pasca pemilu. 


Visi pendidikan saat ini hanya berorientasi pada materi, ditambah dengan sistem sekularisasi dan gempuran budaya yang rusak mengakibatkan generasi yang tercipta cenderung lemah, tak terbiasa bekerja keras, rapuh, dan mudah menyerah serta tak mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Fasilitas teknologi yang serba instan saat ini juga membuat mereka  manja dan menginginkan sesuatu pun secara instan.


Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Mengingat besarnya tanggung jawab yang akan dipikul seorang penguasa, maka dari itu, Islam menetapkan syarat tertentu untuk bisa menjadi pemegang amanah. Orang itu tak hanya memiliki kapasitas sebagai penguasa namun juga harus memiliki kekuatan mental yang luar biasa, dan orang-orang seperti ini hanya bisa dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam.


Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah sebagai dasar pemikirannya. Tujuan pendidikan dalam Islam juga tidak hanya membuat generasi menguasai ilmu kehidupan seperti sains, matematika dan teknologi, namun juga membangun generasi yang berkepribadian Islam dan bermental baja.


 Negara akan memberlakukan seluruh kebijakan terkait pendidikan sesuai dengan syara. Negara juga akan mengawasi dengan ketat berbagai ilmu dan tsaqafah yang nantinya akan diberikan pada generasi. Dengan menggunakan sistem pendidikan Islam, maka output yang dihasilkan merupakan generasi yang kokoh keimanannya, serta memiliki pemikiran yang cemerlang. Di samping itu generasi juga akan memiliki keterikatan dengan syara dan bisa berdampak pada terciptanya masyarakat yang beriman dan bertakwa.


Pendidikan berdasarkan sistem Islam telah terbukti mampu menghasilkan generasi sejati pengukir peradaban yang memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan peradaban dunia. Sistem pendidikan juga mampu menghadirkan individu yang kuat dan tangguh. Sebut saja Imam Syafi’i, seorang teolog Muslim, penulis dan cendekiawan. 


Imam Syafi’i adalah salah satu Imam besar yang warisannya dalam masalah yuridis dan pengajarannya mengarah pada pembentukan mazhab Syafi’i. Namun siapa sangka jika dahulu ia tumbuh dalam kemiskinan, bahkan ibu beliau dikatakan tak mampu membeli kertas dan inilah yang membuat Imam Syafi’i muda menuliskan hasil pelajarannya pada tulang. 


Kemiskinan dan keterbatasan tak mampu menghentikan langkah Imam Syafi’i. Berkat kegigihan, keuletan dan sikap pantang menyerahnya, beliau mampu menghafal Al-Quran di usia tujuh tahun, beliau juga mampu menghafal Muwatta’ karya Malik bin Anas di usia 10 tahun, bahkan beliau diberi wewenang mengeluarkan fatwa di usia 15 tahun. Subhanallah, begitu luar biasa output yang dihasilkan dari sistem pendidikan Islam, Cerdas, bertakwa, pintar dan tangguh. Tak pernah terdengar individu yang mengalami gangguan mental akut selama masa kejayaan Islam.


Sistem pendidikan Islam mengantarkan individu menjadi orang yang memahami kekuasaan adalah amanah dan beriman kepada qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah hingga selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapi sebuah keberhasilan ataupun kegagalan. Oleh sebab itu saatnya kita beralih kepada sistem Islam, sebaik-baik aturan kehidupan.


Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak