Caleg Gagal Rawan Depresi, Masa Iya Sih?






Oleh: Jumiran, S.H. 
(Pegiat Literasi Sabulakoa)

Tinggal menghitung hari, sebentar lagi pemilu serentak akan terlaksana, tepatnya pada Februari 2024. Semangat para Caleg dan tim suksesnya kian membara dalam mencari pendukung. Besarnya biaya yang tak jarang utang yang menjadi pilihan untuk keperluan kampanye. Lalu apa jadinya jika nanti ada para caleg yang sampai terkena depresi akibat kegagalan yang dirasakan? 

Pasalnya, rumah sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, telah menyiapkan ruangan khusus untuk Caleg yang terkena gangguan mental. Tidak hanya itu, pihak rumah sakit telah menyediakan dokter spesialis jiwa bagi para caleg yang stres usai mengikuti pemilu 2024.
Begitupun juga, Pihak rumah Sakit telah menyediakan 10 ruangan VIP bagi para caleg yang mengalami gangguan kejiwaan seperti gelisah, gemetar, susah tidur hingga cemas yang berlebihan. (Jakarta.KompasTV.01/02/2024).

Pemilu Demokrasi Mahal
Fenomena ini semakin membuktikan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bukanlah hal yang murah. Biaya mahal bukanlah hal yang tabuh. Hal ini tidaklah menjadi rahasia jika para calon kandidat membutuhkan biaya yang besar agar bisa maju. Fahri Hamzah menyebutkan bahwa setidaknya butuh dana Rp. 5 miliar untuk menjadi capres. 

Dana tersebut digunakan untuk berbagai macam. Misalnya, biaya akomodasi ke berbagai daerah pemilihan, mulai dari makanan, penginapan, biaya transportasi dan sebagainya. Belum lagi biaya kampanye seperti produksi baliho, spanduk, iklan, baju kaos, umbul-umbul dan lainnya. Bahkan para caleg juga harus membiayai para tim suksesnya, yang telah mengumpulkan massa, bantuan sosial, hingga biaya para saksi. Belum lagi jika caleg menyediakan "serangan fajar", hal ini sudah menjadi rahasia umum. Walaupun aturan negeri ini melarang money politik, sebaliknya justru para pemangku kebijakan yang melanggar hukum itu sendiri. 

Bisa dibayangkan, para kandidat harus menguras harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri. Berhutang dan mencari sponsor tidaklah jarang terjadi pada mereka. Alhasil, jika gagal maka mereka telah kehilangan harta bendanya dan harus mengembalikan semua hutangnya. Wajar jika mereka terkena gangguan mental, karena kegagalan telah menimpah mereka. 

Tidak dimungkiri, beberapah dari para kandidat memang tulus untuk membangun negeri ini, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum islam. Hanya saja, jumlah mereka yang minim sehingga keadaan mereka akan tertindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta. Bagaimana tidak, mayoritas caleg hanya bertujuan untuk mendapatkan materi dan kekuasaan. 

Dikatakan demikian, sebab sistem demokrasi merupakan sistem yang berasaskan sekuler. Sistem yang memberikan kebebasan bagi manusia untuk berbuat semaunya. Para caleg akan melakukan apa saja untuk memenangkan pertarungan, tidak peduli halal-haram. Apalagi mudarat atau maslahat. Olehnya itu, para kandidat yang benar-benar ikhlas akan tersingkirkan.

Sistem kehidupan sekuler melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak tahu hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler tidak memiliki tujuan hidup yang mulia yaitu beribadah kepada Allah Swt. Tujuan hidupnya tiadaain hanyalah pencapaian materi belaka.
Maka wajar saja, jika jabatan adalah impian besar mereka, Harga diri dan martabat mereka akan tinggi dengan adanya jabatan. Jabatan dijadikan sebagai jalan mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan fasilitas hidup. Oleh karena itu, hal yang wajar jika para caleg yang memiliki iman lemah akan mudah depresi saat mengalami kekalahan. 

Kemudian, jika ditelisik lebih mendalam atas segala yang terjadi dalam setiap Pemilu demokrasi, kita akan mendapati bahwa para pemenang tidak sama sekali menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan tidak pernah memihak rakyat. Sebaliknya, rakyat semakin dibuat susah dengan berbagai penetapan kebijakan. Slogan "dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat" hanyalah ilusi semata, yang ada hanyalah "dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi". 

Faktanya, berbagai kebijakan yang di tetapkan hanya berpihak pada oligarki. Lihat saja, berbagai UU yang lahir pro oligarki. Alhasil, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya kesejahteraan dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat.

Sejatinya, pesta demokrasi hanya alat legitimasi semakin mengukuhkan kekuasaan oligarki. Seolah-olah rakyat ikut andil dalam memilih penguasa, padahal mereka sudah mengatur sedemikian rupa agar penguasa terpilih adalah mereka yang tunduk pada penguasa. Oleh karena itu, Pengurangan suara bisa saja terjadi. Jika caleg mengetahui suaranya dikurangi, bukankah bisa membuat depresi?

Islam dan Kekuasaan
Kekuasaan dan islam tidak bisa di pisahkan. Ibarat kancing dan baju. Islam adalah pondasinya sedangkan kekuasaan adalah metode untuk menerapkan hukum islam. Jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Maka, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya, maka ia harus benar-benar yakin untuk menjalankan amanah tersebut sesuai dengan syariat.  Bagi orang beriman, jika melalaikan amanah maka neraka adalah ganjarannya.

"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga baginya".(HR. Muslim).

Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt dan RasulNya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, harus benar-benar memahami agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan dirinya sendiri dan umat seluruhnya.

Walhasil, kandidat dalam kekuasaan islam adalah mereka yang taat syariat Allah. Tujuan jabatannya adalah meraih ridha Allah. Jika ia mengalami kekalahan, tidak akan mengalami depresi, karena ia sadar bahwa itulah yang terbaik bagi dirinya dan umat seluruhnya. 

Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik islam tidak butuh biaya yang tinggi. Para calon tidak perlu berhutang atau mencari sponsor agar dirinya bisa ikut sebagai calon pemimpin. Hal inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Kalah ataupun menang adalah ketetapan Allah yang wajib disyukuri. 

Fenomena Caleg stres hanya ada dalam sistem politik demokrasi. Pemilu dalam demokrasi tak akan menghasilan apa-apa melainkan keburukan. Oleh karena itu, kembali pada sistem islam adalah hal yang urgen, untuk meraih kesejahteraan dan keadilan. Kembali pada islam, agar kehidupan masyarakat bisa meraih takwa dan kemuliaan. Wallahu a'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak