Food Estate untuk Kepentingan Siapa?




Oleh: Nursaroh Hidayanti



Food estate, suatu program yang digadang mampu mengatasi krisis pangan ternyata dinilai gagal total oleh para ahli. Proyek yang dikoordinatori oleh Mentri Pertahanan RI, Prabowo Subiyanto ini dijalankan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Kegagalan Food State

Bagaimana kondisi food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah hari ini? Ratusan hektar hutan di tebang demi menjalankan program food estate tersebut. Bukan hanya hutan, kebun-kebun yang biasa menjadi mata pencaharian warga turut digusur dengan adanya proyek tersebut. Akhirnya ditanamlah pohon singkong di area lahan seluas 600 hektar hasil penebangan hutan dan penggusuran lahan yang biasa ditempati warga. Tapi mirisnya, singkong tersebut tidak tumbuh sesuai harapan, batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter, padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi bagang satu hingga empat meter. Daunnya kecil-kecil dan sedikit, ketika dicabut satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dengan singkong pada umumnya.

Maka jelaslah kegagalan menanam singkong tersebut tak dapat disembunyikan. Akhirnya lahan seluas 600 hektar kebun singkong tersebut berakhir mangkrak terabaikan. Setelah kegagalan tersebut, terbitlah penanaman jagung di polybag sebanyak 1.300 tanaman di lahan seluas tiga hektare dengan anggaran 54 miliar. Walhi Kalteng menganggap proyek kali ini tak lebih dari justifikasi atau pembenaran pemerintah bahwa lahan mangkrak tersebut masih bisa dikelola. Aktivis lingkungan menyebut komoditas jagung yang ditanam di lahan food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dipaksakan "demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak di tangan Kementerian Pertahanan".

Food State Merusak Alam

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo mengungkapkan "Kalau kayak gini, tanam singkong mandek apa jadinya? Hutan habis, singkong enggak jadi. Siapa yang rugi? Masyarakat yang kena dampaknya." Pasalnya, sejak hutan dibuka, banjir di wilayah tersebut semakin parah. Ketika hujan turun, air sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap. Kalau sebelumnya hanya 50cm, sekarang bisa sampai 1.5 meter lebih. Hal ini disebabkan ratusan hektar hutan yang telah ditebang tersebut letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.

Miris memang, segala kebijakan dilakukan dengan sepihak oleh pemerintah, tanpa adanya diskusi dengan pihak desa ataupun masyarakat. Tidak ada keuntungan sama sekali yang didapatkan oleh masyarakat setempat. Seluruh pekerja yang menjalankan proyek tersebut tidak ada satupun dari masyarakat setempat. Bahkan ketika pihak desa meminta hasil tebangan kayu hutan ratusan hektar untuk kepentingan desa pun tidak diizinkan, lantas kemana kayu-kayu hasil tebangan hutan ratusan hektar tersebut? Masih menjadi tanda tanya hingga hari ini.

Food State untuk Siapa?

Kegagalan yang sudah jelas terpampang nyata diakui oleh segala pihak, disisi lain pihak Kementan masih sangat yakin bahwa proyek yang dijalankan akan berhasil. Padahal, sudah miliyaran uang negara melayang tak dapatkan hasil yang nyata, belum lagi masyarakat yang dirugikan dalam segala aspeknya. Lantas, sebenarnya siapa yang mendapatkan keuntungan darinya? Apakah benar proyek ini untuk masyarakat? Atau ada sesuatu dibaliknya?

Menurut greenpeace.id, salah satu komunitas lingkungan mengungkapkan bahwa food estate ini sarat dugaan konflik kepentingan. Salah satu perusahaan yang terlibat dengan proyek food estate adalah PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Saham dari PT Agrinas ini dimiliki oleh Yayasan Sumber Daya Pertahanan yang terhubung dengan Pak Prabowo Subiyanto dan sejumlah politikus Gerindra. Bukankah semakin jelas, siapa yang diuntungkan dari proyek ini?

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, kasus seperti food estate tidak akan terjadi, karena Islam menempatkan sesuatu sesuai fungsinya. Kawasan hutan yang berfungsi sebagai resapan air, tempat hidup berbagai binatang, dan kaya akan flora fauna akan dibiarkan sesuai habitatnya dan fungsinya. Mengubah fungsi lahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini sudah nampak nyata di kawasan Food estate Kalimantan Tengah ini, mulai dari banjir yang melanda warga karena resapan airnya hilang, orangutan yang mulai kehilangan habitatnya, petani yang kehilangan mata pencahariannya, dan berbagai kerusakan lainnya.

Islam juga tidak akan membiarkan kekayaan alam dikuasai swasta, termasuk pertanian. Sehingga berbagai program yang dijalankan oleh negara benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan oligarki ataupun swasta. Lahan subur akan dimanfaatkan untuk pertanian sebagaimana fungsinya. Sedangkan pembangunan akan ditempatkan pada lahan yang tidak subur. Hutan akan dikelola sebagaimana fungsinya, bukan digunduli dan dialihkan demi meraup keuntungan semata. Berbagai pabrik dan pengusaha akan diatur agar tidak menempati lahan yang tidak sesuai fungsinya, dan akan ada sanksi bagi pelanggarnya.

Allah telah menegaskan dalam QS Ar-Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). 

Dalam QS Al-Maidah ayat 50, "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"

Maka, sungguh jelas bahwa satu satunya hukum yang dapat menyejahterakan kehidupan manusia hanyalah Hukum Allah, bukan hukum buatan manusia, seperti demokrasi contohnya. Wallahu’alam bish-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak