Sumatera Menangis : Ribuan Korban Meninggal Belum Dianggap Bencana Nasional



Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Umat)

Hilangnya satu nyawa lebih besar nilainya dibanding dunia seisinya. Itu menurut Islam. Bencana alam di Sumatera tercatat lebih 1000 jiwa melayang tanpa pesan, akankah dianggap bencana biasa? Harus menunggu musibah seperti apalagi untuk menyadarkan para pemimpin.untuk mengakui bahwa itu termasuk kategori bencana nasional? Apakah menunggu Sumatera habis baru menyatakan bencana nasional?

Dilansir dari Idntimes.com - Sudah tiga pekan banjir merendam tiga provinsi di Sumatra di penghujung 2025. Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (14/12/2025), jumlah korban meninggal dunia telah menembus angka 1.016 jiwa dan jutaan warga kehilangan tempat tinggal.

Banjir bandang dan tanah longsor ini sempat diremehkan oleh para pemangku kepentingan. Terbukti Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto menyebut situasi mencekam hanya terlihat dari media sosial. Realita di lapangan tidak demikian. Beberapa hari kemudian, Suharyanto meminta maaf karena ia mendapat informasi yang tidak akurat soal kondisi di Sumatra.

Permintaan maaf akhirnya juga disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto di kunjungan ketiganya meninjau lokasi bencana di Aceh. Prabowo bahkan menyebut tak punya tongkat Nabi Musa untuk mempercepat pemulihan bencana.

Meski begitu, Prabowo tak juga menetapkan banjir dan tanah longsor di Sumatra sebagai bencana nasional. Warga di lokasi bencana pun tak habis pikir dengan kebijakan itu. (25/12/2025)

Bila dilihat bahwa pernyataan-pernyataan dari pemerintah, baik itu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kementerian Kehutanan maupun instansi lain penyampaian informasinya peristiwa yang terjadi sejak akhir November 2025 diakibatkan oleh hidrometeorologi dan cuaca ekstrem. Perlu diakui memang ada Siklon Senyar yang datang di Selat Malaka.

Tetapi, penyebab banjir bandang ini bukan semata-mata karena ada Siklon Senyar. Ada pula kontribusi manusia yang membuka besar-besaran hutan. Seandainya hutannya tetap terjaga, tentu meskipun curah hujan itu masif, besar. Tetapi masih ada yang akan mengikat air hujan itu, sehingga tidak akan terjadi banjir yang sebegini besarnya

Mengapa Belum Masuk Bencana Nasional?

Terkait budget sebenarnya. Karena kalau sudah berstatus bencana nasional bisa jadi pemulihan itu turut menjadi kewajiban dari pemerintah. Mulai dari pemulihan lingkungan, mengganti kerusakan kalau ada kelompok masyarakat yang menuntut. Jadi, memang ada konsekuensi dari segi budget.

Tapi, seharusnya dibandingkan budget yang besar untuk MBG (Makan Bergizi Gratis) yang kita tahu prosesnya seperti apa, sebaiknya untuk menyelamatkan masyarakat yang terkena musibah.

Jumlah korban dan kerusakan yang begitu besar seharusnya menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk menetapkan status bencana nasional, terlebih situasi sosial-ekonomi masyarakat telah lumpuh akibat banjir bandang tersebut. Namun, status itu belum juga ditetapkan oleh Presiden sebagai pihak yang berwenang.

Musibah tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga diperparah oleh deforestasi liar di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Menurut data resmi pemerintah yang menunjukkan bahwa kerusakan tutupan hutan dalam beberapa tahun terakhir cukup signifikan. Misalnya, Aceh mengalami perubahan tutupan lahan seluas 21.476 hektare, sementara Sumatera Utara kehilangan lahan hutan hingga 9.424 hektare, dan Sumatera Barat tercatat berubah seluas 1.821 hektare dalam periode 2019–2024.

Di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) terdampak, puluhan ribu hektare telah dinyatakan sebagai lahan kritis, yang memperbesar risiko banjir. Presiden dinilai belum mengambil langkah penting dengan menetapkan status bencana nasional. (Marinews.com, 9/12)

Menteri Kehutanan dianggap melakukan pembiaran deforestasi sehingga memperburuk banjir.
Menteri Keuangan dinilai tidak memberikan dukungan pendanaan maksimal bagi masyarakat terdampak, sementara Kepala BNPB dianggap tidak melakukan koordinasi memadai dengan Presiden untuk mendorong penetapan status darurat bencana secara nasional.

Kelalaian kolektif ini berpotensi menyebabkan semakin banyak korban jiwa dan kerugian material.
Seluruh indikator penetapan bencana nasional seperti jumlah korban, kerusakan prasarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial-ekonomi sudah terpenuhi, sehingga tidak lagi ada alasan bagi pemerintah untuk menunda status tersebut. Hal ini merupakan bentuk peringatan dan desakan kepada pemerintah agar bertindak cepat dan sigap ketika nyawa ratusan ribu rakyat berada dalam ancaman. 

Peran Pemerintah Islam dalam Menangani Banjir

Akibat kerakusan manusia yang tidak mempedulikan dampak perbuatannya. Walhasil, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan, sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai bencana termasuk banjir yang melanda saat musim hujan tiba. Jadi, bencana alam seperti banjir yang terjadi bukan semata-mata ketetapan Allah Swt., terjadi banjir tidak lepas dari faktor sistemik.

Sistem kapitalisme sekuler melahirkan manusia-manusia yang serakah, tidak takut dengan azab Allah Swt. Negara tidak berperan sebagai pelindung rakyat, tapi justru memberi jalan bagi para investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam seperti hutan yang notabenenya sebagai paru-paru dunia. Lahan hijau berkurang, sehingga wajar jika kemudian menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam seperti gempa dan banjir.

Itulah bukti bahwa dalam sistem Kapitalisme, solusi yang ditawarkan hanyalah solusi yang pragmatis. Solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan sehingga wajar jika masalah banjir tidak bisa tersolusikan dengan baik. Karena pada dasarnya, sistem buatan manusia yakni Kapitalisme selamanya tidak akan mampu memberi solusi yang hakiki bagi manusia itu sendiri. Karena tidak mungkin manusia yang lemah dan terbatas bisa membuat aturan untuk mengatur kehidupan manusia. Padahal, manusia hanyalah makhluk yang diciptakan.

Berbeda halnya jika dibandingkan dengan Islam. Islam adalah aturan kehidupan yang datang dari Allah Swt. Seorang pemimpin dalam Islam selalu berpijak pada aturan Allah Swt. sebagai satu-satunya tolok ukur dan pijakan dalam menyelesaikan semua persoalan.

Ajaran Islam menempatkan manusia sebagai khalifah, pengelola bumi, bukan pemilik mutlak yang boleh mengeksploitasi tanpa batas. Seruan Al-Qur’an agar tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya sejalan dengan konsep mizan, yaitu keseimbangan yang menopang keteraturan alam: hujan, aliran sungai, hutan, tanah, dan kehidupan manusia saling terhubung dalam satu sistem yang halus.

Ketika hutan dibuka besar-besaran untuk perkebunan dan tambang tanpa memikirkan daya dukung, ketika sungai menyempit oleh sedimentasi dan bangunan, dan ketika kawasan rawan bencana tetap diizinkan menjadi permukiman, sesungguhnya manusia sedang merusak keseimbangan itu sendiri.

Banjir bandang lalu menjadi “jawaban alam” ketika air yang turun deras sudah tidak lagi punya ruang resapan dan jalur alir yang sehat, sehingga ia menerobos apa pun yang menghalanginya.

Dalam fikih, menjaga kelestarian lingkungan dipahami sebagai bagian dari ibadah, karena melindungi makhluk dan menjaga keberlangsungan kehidupan adalah bentuk ketaatan kepada Allah.

Menanam pohon, menghidupkan lahan yang terlantar, mengurangi jejak kerusakan, dan memperjuangkan kebijakan yang adil bagi alam dan masyarakat dapat menjadi amal jariah yang pahalanya terus mengalir, sekaligus ikhtiar agar bumi tempat kita bersujud tetap layak dihuni generasi yang datang setelah kita.

Penanganan Korban dengan Sigap

Dalam segi penanganan korban, Khalifah akan cepat tanggap, melibatkan warga yang tidak terdampak untuk bersama-sama membantu menyediakan logistik seperti obat-obatan, tenda, pakaian, makanan, dan minuman. Hukum Islam yang tegas dan memberi efek jera akan meminimalisir terjadinya berbagai tindak kesewenang-wenangan, seperti penggundulan hutan, menebang pohon sembarangan, dan lain-lain.

Itulah beberapa solusi Islam dalam menangani bencana banjir dengan didasarkan pada syariat Islam. Pemimpin/Khalifah sadar semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. sehingga tidak semena-mena dalam membuat aturan. Memimpin adalah sebuah amanah dari Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat.

Dengan kembali pada aturan yang shahih yaitu penerapan Islam yang menyeluruh adalah solusi tuntas dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan manusia termasuk dalam mengatasi banjir. Ada aturan yang harus diperhatikan agar seluruh manusia dan alam semesta tetap dalam keadaan sejahtera, aman, dan penuh keberkahan. 

Sudah tidak ada pilihan lain kecuali kembali diterapkan Islam kaffah di seluruh lini kehidupan.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak