Bahaya Platform Digitalisasi, Pembajak Potensi Generasi Pemimpin Pelopor Perubahan




By Hasna Hanan

Tidak bisa kita pungkiri peran pemuda sangat luar biasa dalam perubahan, Ulama memandang pemuda sebagai pilar masa depan umat, kekuatan utama dalam membangun peradaban, agen perubahan, dan penerus agama, yang harus memanfaatkan masa muda untuk ibadah, ilmu, takwa, serta menjauhi maksiat karena semangat dan energi mereka yang besar, bahkan ada ulama seperti Imam Syafi'i yang mengatakan "hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa". Kisah-kisah Al-Qur'an seperti Ashabul Kahfi dan Nabi Ibrahim AS menjadi teladan pemuda beriman yang kuat membela kebenaran dan membawa perubahan.

Disetiap era perubahan disitu pasti ada pemuda, mereka jugalah nantinya yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan umat, baik buruknya umat sangat dipengaruhi oleh kondisi pemudanya. Oleh karenanya potensi pemuda ini bagi orang-orang kafir barat yang memusuhi Islam sebagai sebuah Ideologi menjadi ancaman yang berbahaya jikalau diambil alih oleh pemikiran Islam, sehingga mereka berupaya sekuat tenaga untuk para pemuda ini menjadi pendukung ideologi kapitalisme sekuler, berpihak kepada aqidah mereka dan membajak potensi mereka, menjadi budak-budak penyembah kapitalisme sekuler

Fenomena Digitalisasi Penghancur Keimanan dan Mental Pemuda Muslim

Fakta hari ini sangatlah miris dan mencemaskan kondisi generasi kita darurat penjajahan digital. CNBC Indonesia (29/11/2025), menyebut Indonesia peringkat 1 dunia kecanduan gadget. Korporasi platform digital menghentikan riset internal setelah menemukan bukti dampak buruk platform mereka terhadap kesehatan mental remaja, lalu menutupinya demi kepentingan bisnis (Kumparan, 26/11/2025). Lebih ironis, merebak fenomena “remaja jompo” dan digital dementia—penurunan daya ingat dan kemampuan berpikir akibat candu layar (Kompas, 28/11/2025).

Serangan masih penjajahan dunia digitalisasi ini, telah menjadikan para pemuda pasif dalam menyelesaikan persoalan hidupnya, mereka menjadikan solusi persoalan itu pada pemanfaatan teknologi digitalisasi ini. Dampak pemanfaatan teknologi digitalisasi ini bukan sekadar “anak muda main HP terlalu lama”, tapi sudah menjadi krisis kesehatan mental. Remaja kurang tidur, mudah cemas, sulit fokus, rendah percaya diri, dan kehilangan arah hidup, dipicu oleh platform yang dulu dijanjikan sebagai “penghubung dunia”.

Media digital hari ini bukan lagi sekadar hiburan. Di bawah sistem kapitalisme, ia berubah jadi mesin penghisap mental generasi muda. Anak-anak dan remaja dijejali konten tanpa henti: drama, sensasi, flexing, hingga gaya hidup palsu. Semua itu bikin candu, bikin lupa waktu, bikin otak terus dipaksa siaga. Bukan kebetulan kalau banyak anak muda sekarang gampang cemas, overthinking, merasa tidak cukup, dan kehilangan arah. Sistem ini memang didesain untuk bikin ketagihan, lalu diperas.

Dalam kapitalisme, yang penting bukan kondisi jiwa generasi, tapi untung perusahaan. Platform digital menjual kecanduan sebagai sesuatu yang terlihat normal. Waktu habis berjam-jam di depan layar dianggap wajar, scroll tanpa henti dianggap hiburan, dan keterikatan berlebihan pada gawai dipoles seolah bagian dari gaya hidup modern. Yang sebenarnya merusak kesehatan mental justru dikemas sebagai hal lumrah. Selama iklan jalan dan data pengguna aman dikantongi, jeritan generasi cuma dianggap efek samping.

Indonesia dengan adanya bonus demografinya yg luar biasa jumlahnya, harusnya membaca potensi ini akan tetapi justru hal ini tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang independen dalam kepemimpinan teknologi digital untuk mengatur kinerjanya agar pemanfaatannya memberi dampak positif bagi pemuda sebagai agen perubahan peradaban menuju indonesia emas bukan sebaliknya Indonesia cemas, dan faktanya Indonesia hanya menjadi pasar empuk. Puluhan juta anak muda jadi sasaran empuk platform global. Tapi negara? Lemah. Aturan setengah-setengah, pengawasan seadanya, dan keberanian politik nyaris tak terlihat.

Negara lebih sibuk menjaga citra ramah investor daripada melindungi masa depan bangsanya sendiri. Ini bukan cuma krisis teknologi, tapi krisis sistem. Dan selama negara masih tunduk pada logika untung–rugi ala kapitalisme, generasi akan terus jadi korban.

Khilafah dan Tanggung Jawab Melahirkan Generasi Pemimpin Peradaban

Bersabda Rasulullah saw kepada seorang pemuda yang tertera dalam hadits berikut,

أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ حَلِيمٍ الْمَرْوَزِيُّ، أَنْبَأَ أَبُو الْمُوَجَّهِ، أَنْبَأَ عَبْدَانُ، أَنْبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: " اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ(1) 

Dari Ibnu ‘Abbas ra telah berkata, Rasulullah saw telah berkata kepada seorang pemuda;“Rebut lima perkara sebelum datang lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, Hidupmu sebelum datang kematianmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ»

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: …Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah …”

Dan masih banyak dalil yang berbicara tentang pemuda agar mereka tidak hanya sebagai agent of chance, tetapi juga menjadi generasi pemimpin peradaban dan menjadi tanggung jawab khilafah sebagai sebuah sistem kehidupan yang diterapkan didalamnya hukum aturan syariat Islam, maka dalam konsep khilafah, generasi muda tidak dipandang sebagai beban demografi, tetapi sebagai aset strategis umat. Negara memiliki visi mewujudkan generasi terbaik, tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi kokoh secara iman, akhlak, dan kepribadian.Karena itu, negara dalam khilafah memiliki komitmen penuh dalam menjaga kualitas akidah, moral, dan daya pikir generasi sejak dini.

Upaya ini ditempuh melalui langkah preventif yang terstruktur. Pendidikan tidak diserahkan pada pasar, melainkan dibangun di atas sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah sebagai fondasi. Kurikulum diarahkan untuk membentuk pola pikir dan pola sikap islami, bukan sekadar keterampilan teknis. Negara juga menguatkan peran orang tua sebagai madrasah ula—sekolah pertama bagi anak—dengan pembinaan, panduan, dan dukungan nyata, agar rumah menjadi benteng utama dari pengaruh buruk lingkungan dan media. Di saat yang sama, masyarakat difungsikan sebagai pilar kontrol sosial melalui budaya amar makruf nahi mungkar yang hidup, aktif, dan terinstitusionalisasi.

Negara juga  melakukan langkah-langkah khusus untuk melindungi generasi dari kerusakan yang bersifat sistemik, mengawasi konten media secara ketat, hanya mengizinkan tayangan yang sesuai dengan standar akhlak Islam, serta menjatuhkan sanksi tegas kepada pihak yang menyebarkan konten yang merusak akidah dan moral. Tidak semua platform media sosial dibiarkan beroperasi, melainkan diseleksi berdasarkan dampak ideologis dan sosialnya terhadap umat.

Akses media sosial pun diatur. Yaitu dengan menetapkan batas usia bagi generasi yang boleh mengakses platform tertentu demi melindungi fase tumbuh kembang mereka. Bahkan teknologi kecerdasan buatan (AI) tidak dibiarkan liar. Negara mengaturnya secara ketat agar teknologi menjadi alat maslahat, bukan sumber kerusakan, manipulasi, dan dekadensi moral. Dengan kerangka ini, khilafah tidak sekadar menutup celah kerusakan, tetapi secara aktif membangun peradaban melalui generasi yang terlindungi, berkarakter kuat, dan siap menjadi pemimpin dunia.

Wallahua'lam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak