Bencana Sumatra, Akibat Deforestasi Penerapan Sistem Kapitalisme




By: Hasna Hanan

Jakarta - BNPB kembali memperbarui jumlah korban tewas akibat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Ahad (14/12/2025) pagi, jumlah korban meninggal dunia mencapai 1.006 orang, sementara 212 orang lainnya masih dinyatakan hilang.

Selain korban jiwa, BNPB mencatat sebanyak 5.400 orang mengalami luka-luka, baik luka berat maupun ringan akibat dampak langsung bencana tersebut.

BNPB juga mencatat terkait infrastruktur ada 405 jembatan yang rusak, 270 fasilitas kesehatan rusak, 509 fasilitas pendidikan rusak, serta 1.100 fasilitas umum rusak akibat banjir.

Banjir yang kembali melanda Sumatra bukan sekadar bencana alam. Ia adalah potret paling telanjang dari kegagalan tata kelola negeri ini dalam menjaga tanah, hutan, dan keselamatan rakyatnya. Kali ini, Sumatra kembali berduka. Air bah menyapu pemukiman, jembatan rubuh, rumah-rumah hanyut, dan korban jiwa kembali berjatuhan. Di balik deru air yang datang tiba-tiba, tersimpan tragedi panjang yang telah diperingatkan berkali-kali. Ketika alam dirusak, ia akan menagih balas, dan rakyat (bukan penguasa atau korporasi) yang selalu menjadi tumbalnya.

Akibat Keserakahan Dari Rusaknya Sistem Kapitalisme

Hujan sebenarnya merupakan fenomena alam yang normal, tanah yang rusaklah yang menyebabkan bencana. Karena alam memiliki buffer alami, sehingga jika seandainya hutannya masih utuh, bukit masih punya akar pepohonan, dan tanah punya daya serap yang baik, hujan sederas apapun tidak akan langsung menyebabkan banjir atau tanah longsor.

Hujan deras dan banjir bandang memang datang dari langit. Tetapi gelondongan kayu tidak pernah jatuh dari awan. Hujan deras pasti membawa air, tapi tidak mungkin membawa batang kayu sebesar tiang listrik jika tak ada yang memotongnya.

Bencana alam yang terjadi terus-menerus dan berulang merupakan dampak kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan oleh penguasa. Dan ini merupakan hasil dari akumulasi kebijakan-kebijakan buruk dan keputusan politik yang seringkali berpihak pada kepentingan para pemilik modal dibandingkan kepentingan rakyat.

Jangan salahkan hujannya, tata kelola lingkungan yang buruklah yang mengakibatkan alam kehilangan buffer alaminya. Sehingga, tanah tidak mampu menahan aliran air. Ditambah dengan keserakahan para korporat yang menginginkan materi melalui sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan dinegara ini, maka jika negara lalai mengatur ruang hidup rakyat, dan mengutamakan kepentingan pemilik modal dengan memberikan izin pembukaan lahan secara besar-besaran (deforestasi), maka bencana adalah konsekuensinya.

Secara tidak langsung, deforestasi akan mengubah fungsi hutan yang awalnya sebagai wadah pelestarian lingkungan dan ekosistemnya, menjadi wadah kepentingan manusia. Pastinya tujuan manusia dalam kapitalisme ini adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal, dampak buruk dari deforestasi ini lebih banyak kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya.

Inilah sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan landasan berfikirnya adalah keuntungan materi tanpa melibatkan keberadaan sang Kholiq yang telah memberikan kekayaan Alam yang berlimpah ruah, sebagai bentuk kasih sayangnya, tetapi hawa nafsu keserakahan yang menjadi perusak ekosistem dunia, sehingga tidak terbendung bencana alam akibat ulah tangan-tangan manusia yng mengabaikan ayat-ayat Al-Quran sebagai Huda dan peringatan bagi mereka:
Ar-Rum (30) Ayat 41:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Muhasabah Kembali Kepada Sistem Islam Solusinya 

Bencana dalam pandangan Islam berada dalam dua dimensi, pertama dimensi ruhiyah dn kedua dimensi siyasiyah, sebagai agama yang  Syamil dan Kamil Islam telah menempatkan semua persoalan kehidupan manusia itu harus berada dalam ketundukan dan kepatuhan  kepada syari'at Nya bukan pada yang lainnya maka dimensi ruhiyah menekankan bahwa bencana merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah sekaligus
sarana pengingat bagi manusia agar kembali kepada-Nya. Alam semesta berjalan sesuai kehendak Allah, sehingga ketika terjadi bencana, umat diperintahkan untuk mengambil pelajaran bahwa kehidupan dunia bersifat fana dan manusia hendaknya terus memperbaiki kualitas iman serta amalnya.

Pada dimensi siyasiyah ini terkait erat dengan dengan peran negara dalam mengatur tata kelola ruang dan mengelola lingkungan. Disini Islam menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi banyak diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Oleh sebab itu, edukasi ruhiyah kepada masyarakat harus dilengkapi dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang mengingatkan larangan merusak alam serta dampak dosa yang dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan manusia. Konsistensi menjaga alam merupakan bagian dari amanah sebagai khalifah fi al-ardh. Dan Allah SWT melarang dengan tegas merusak bumi ketika telah menyempurnakan kembali, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat: Al-A'raf (7) Ayat 56:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik."

Dalam kerangka siyasiyah, negara memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan upaya mitigasi bencana secara serius, sistematis, dan komprehensif. Pengelolaan wilayah harus dirancang sesuai kaidah keselamatan, meminimalisasi risiko kerusakan, serta memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan keseimbangan alam. Tanggung jawab ini merupakan bagian dari penjagaan terhadap jiwa rakyat (hifzh al-nafs) yang menjadi salah satu tujuan utama syariat Islam.

Ketika bencana terjadi, Islam mewajibkan pemerintah untuk hadir secara nyata memberikan perlindungan, bantuan, dan pendampingan kepada para penyintas. Dukungan tersebut tidak hanya bersifat darurat, tetapi juga berkelanjutan hingga masyarakat mampu pulih dan menjalani kehidupan normal kembali pasca bencana. Dengan demikian, paradigma Islam mengenai bencana mencakup perpaduan iman, etika menjaga lingkungan, serta kebijakan negara yang berpihak pada keselamatan dan kemaslahatan rakyat.
Dan semua itu hanya bisa terwujud dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, di bawah naungan institusi khilafah. Wallahu'alam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak