Solusi Kenakalan Remaja di Era Digital Kapitalis


Oleh : Epi Lisnawati
 

Dunia remaja kian memprihatinkan. Kasus kenakalan remaja semakin marak dan mengerikan. Di era digital saat ini bentuknya jauh lebih berbahaya seperti akses ke dark web, konsumsi konten kekerasan ekstrim hingga imitasi aksi teror dan pembunuhan. 

Hal ini tampak pada kasus SMA Negeri 72 Jakarta di mana siswa pelaku pembakaran aktif mengakses dark web, menonton kekerasan ekstrem, dan mengidolakan pelaku penembakan massal. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar, menemukan riwayat pelaku yang kerap mengunjungi komunitas daring yang menampilkan konten kekerasan ekstrem di situs gelap atau dark web. (detik.com. 13 November 2025)

Dunia digital yang tanpa batas ini menjadi dunia baru bagi remaja yang hidup sebagai digital natives. Remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu menjadi titik lemah yang menjadikannya mudah dieksploitasi di ruang virtual. 

Pertanyaannya, mengapa anak-anak dan remaja bisa terjerumus sedalam itu? Jawabannya terletak pada sistem kapitalisme sekuler yang melingkupi kehidupan generasi saat ini sehingga mereka tidak punya arah hidup yang benar. Cengkraman digital kapitalisme sebagai bagian dari sistem kapitalisme yang menjadi ruang informasi bagi generasi sangat mempengaruhi cara berpikir mereka.
 
Dalam sistem kapitalisme, remaja diperlakukan sebagai komoditas paling empuk bagi algoritma. Platform media sosial dirancang bukan untuk melindungi pengguna, tetapi memanen perhatian dan data. Begitu seorang remaja membuka satu video kekerasan, algoritma akan membanjiri lebih banyak konten serupa mendorong mereka masuk dalam echo chamber (ruang gema) yang menormalisasi kekerasan dampak dari berulang-ulangnya nonton konten kekerasan tersebut.  

Remaja yang sedang mencari identitas jati dirinya merasa mudah diterima dalam komunitas digital yang salah. Apalagi jika kondisinya tidak stabil, tak sedikit dari mereka yang mengalami penolakan, isolasi sosial atau kurangnya dukungan keluarga di dunia nyata. Maka dunia digital menjadi pelariannya.Hal ini diperparah oleh isu generation gap yang sengaja diaruskan oleh Barat untuk semakin mengendalikan cara berpikir dan berperilaku remaja.

Lebih ironis lagi, Dark Web yang penuh perdagangan senjata, narkoba dan kekerasan ini, tidak dihentikan oleh negara-negara kapitalis. Padahal para penguasa tahu betul ruang gelap ini telah memicu banyak tragedi nyata termasuk kasus SMA Negeri 72 Jakarta. Namun selama kondisi ini menguntungkan, keberadaannya dianggap bagian dari kebebasan digital. 

Pada saat yang sama, konten dakwah Islam yang mendidik generasi justru dibatasi dengan shadow band, pembatasan jangkauan hingga pemblokiran. Platform yang membiarkan kekerasan ekstrim bisa berkembang dengan cepat menghapus konten tentang syariah kaffah, dakwah ideologis, ataupun pembicaraan mengenai khilafah. 

Ini menunjukkan bahwa solusi sejati untuk mencegah lahirnya kekerasan remaja akibat paparan media sosial ekstrem harus berangkat dari cara pandang Islam terhadap manusia dan generasi. Islam memandang generasi adalah aset peradaban sehingga negara sebagai pengurus umat wajib memberikan perlindungan jiwa. tidak hanya dilakukan secara kuratif, tetapi dimulai jauh sebelum masalah terjadi, yaitu dengan membentuk kepribadian Islam yang matang. 

Proses ini diwujudkan melalui sinergi antara orang tua, masyarakat, dan sistem pendidikan negara yang semuanya berjalan di atas landasan akidah Islam. Dengan demikian, remaja tumbuh dengan pola pikir dan pola sikap islami yang membuat mereka kokoh dan tidak mudah terjerat konten ekstrem, manipulasi algoritma atau jebakan komunitas gelap di internet. 

Negara dalam sistem Islam juga memastikan bahwa lingkungan digital menjadi ruang yang aman dan bersih dari ideologi merusak. Negara tidak membiarkan adanya dark web, situs kriminal, jaringan ekstrem, atau platform yang mengatur algoritma untuk mengejar keuntungan kapitalis tanpa memperdulikan keselamatan jiwa anak-anak muda. 

Dunia digital berada di bawah kontrol negara, bukan korporasi asing. Platform yang beroperasi harus tunduk pada nilai Islam. Tidak boleh mengiklankan kekerasan, pornografi, ekstremisme, atau budaya hedonistik. Regulasi digital ini bukan sekedar memblokir konten, tetapi membangun arsitektur digital islami yang memproteksi pikiran dan perasaan masyarakat sejak awal. 

Dalam sistem Islam, sanksi juga ditegakkan secara tegas dan proporsional. Pelaku kekerasan, pembunuhan, dan tindakan ekstrim lainnya diberi sanksi sesuai syariat untuk menjaga keamanan publik dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. 

Penegakan hukum ini bukan semata-mata represif, tetapi juga menjadi mekanisme perlindungan sosial bagi seluruh warga negara. Hasil dari semua itu adalah terbentuknya generasi muda dengan kepribadian Islam yang matang dan visioner, bukan korban algoritma atau objek industri digital. 

Remaja Islam tumbuh dengan identitas Islam yang kokoh, mampu menyaring informasi kuat secara mental, dan terbiasa berpikir mendalam. Maka para pemuda muslim seharusnya tampil sebagai pelopor perubahan demi mewujudkan kembali lahirnya perisai umat Islam, yakni sistem Islam. Sistem Islamlah satu-satunya yang mampu melindungi generasi dan membangun peradaban gemilang, bermartabat, dan penuh keberkahan.
Wallahu’alam Bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak