Oleh: Yayat Rohayati
Hangat menjadi perbincangan publik di media sosial, seorang nenek berusia 85th di desa Kedungjaya, Kec. Cibuaya, Kab. Karawang, mendapat perlakuan asusila dari seorang pemuda berusia 25th. Kejadian tersebut membuat geram publik. Pasalnya, nenek yang menjadi korban pelampiasan nafsu bejat itu adalah seorang nenek yang tak berdaya karena lumpuh (RadarKarawang.id, 5 Desember 2025).
Peristiwa miris tersebut menunjukkan bahwa generasi hari ini sudah sangat jauh dari nilai-nilai akhlak. Bahkan tak beradab. Orang yang lebih tua seharusnya dihormati, dimuliakan, dan dijaga, malah disakiti. Hanya demi melampiaskan nafsunya.
Namun begitulah kondisi masyarakat yang menerima sekularisme atau pemisahan agama dari urusan publik; pendidikan, sosial, bahkan bernegara, sebagai cara pandang dalam kehidupan.
Ide sekularisme yang dianggap sebagai jalan menuju kemajuan baik teknologi maupun budaya, tanpa disadari telah menggerus moral. Akhlak generasi dalam sistem sekularisme pun perlahan hilang, karena agama dijauhkan dari kehidupan. Aturan Allah yang seharusnya berada di tengah-tengah kehidupan malah dikesampingkan. Mereka lebih memilih aturan buatan manusia dalam berkehidupan.
Adapun pendidikan dalam sistem sekularisme adalah pendidikan dengan tujuan materi. Generasi dididik jauh dari nilai-nilai ruhiah. Hal ini dapat dilihat dari mata pelajaran agama yang diberikan hanya dua jam dalam seminggu. Karena pendidikan ini hanya mencetak generasi siap kerja atau siap berkarya demi cuan.
Ahasil, adab terhadap orang tua dan guru semakin pudar, rasa malu semakin tipis, dan standar benar-salah ditentukan oleh opini mayoritas, bukan lagi oleh syara.
Dalam sistem ini sesuatu yang dirasa aman atau memuaskan jasadiyah, dan menghasilkan materi adalah kebenaran. Akhirnya muncul pergaulan bebas, hedonis, budaya pamer, dan lainnya. Hal ini diperparah oleh media sosial yang memberi ruang bagi eksistensi tanpa batas, tanpa nilai.
Jika kita benar-benar ingin memperbaiki masa depan generasi, tidak ada pilihan selain mengembalikan IsIam sebagai solusi.
Pendidikan harus kembali menanamkan nilai akhlak sejak dini, keluarga harus menjadi benteng utama, dan di masyarakat dan negara harus menjadikan aturan Allah sebagai standar kehidupan. Pendidikan berbasis akidah Islamiyah diberikan supaya generasi yang dihasilkan adalah generasi berkepribadian Islam, yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Sehingga, dalam pemenuhan baik hajatul udowiyah (kebutuhan jasmani) maupun ghorizah (naluri), senantiasa menjadikan aturanNya sebagai pedoman.
Kemudian negara akan hadir sebagai junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Sebagai bentuk perlindungan, negara akan memfilter tayangan atau konten yang bisa diakses rakyat termasuk generasi. Sehingga, tak sembarangan tontonan bisa dikonsumsi mereka.
Sanksi tegas akan diberlakukan kepada setiap pelaku pelanggaran syara. Dalam IsIam, pelaku zina akan dihukumi rajam (dilempari batu) bagi yang sudah menikah, dan cambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Sanksi yang diberikan bersifat jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (memberi efek jera) atau mencegah yang lain melakukan hal yang sama.
Peradaban Islam pernah berdiri kokoh bukan karena sekadar kecerdasan intelektual, tetapi karena kekuatan akhlak. Dimana akhlak merupakan buah dari ketaatan syari'at secara kaffah (keseluruhan).
Oleh karena itu, saatnya kita memilih apakah akan meneruskan cara pandang yang melahirkan generasi nir akhlak, atau kembali kepada Islam yang telah terbukti berjaya memimpin 2/3 dunia. Dengan penerapan syariat IsIam secara keseluruhan dalam bingkai Daulah Islamiyah.
Wallahu a'lam.
Tags
opini
