Oleh: Linda Maulidia, S.Si
Beragam sebutan "negatif" seakan disematkan bagi Gen-Z. Mulai dari 'Generasi Rebahan', 'Generasi Micin', generasi yang mencari praktis dan tidak menyukai proses dan beban berat kehidupan. Hal ini tidak dipungkiri memang sedang terjadi pada sebagian gen Z. Tentu saja tidak lepas dari era digital yang didominasi oleh konten yang tidak mendidik, berupa video pendek yang hanya berfokus pada sensasi, bukan substansi.
Media sosial ibarat pisau bermata dua. Pada satu sisi, ia mampu memberikan akses informasi dan edukasi. Di sisi lainnya, penggunaan media sosial yang minim kontrol justru memberikan dampak negatif dengan porsi yang lebih besar. Konten-konten dengan paparan nilai negatif seperti pornografi, judol, pinjol, cyberbuliying, traficking, moderasi, dll, justru semakin menjamur. Konten yang merusak akan mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap bahkan cara beragama, hingga lahirlah muslim yang split personaliy, rapuh dan sekuler.
Bahkan Para psikolog menyebutkan paparan konten yang demikian dapat menyebabkan menurunnya daya ingat, kehilangan fokus dan konsentrasi, penurunan kemampuan analisis, tidak berkembangnya kemampuan berpikir kritis dan kompleks, serta ketergantungam pada validasi sosial.(Brain Rot: Fenomena Media Sosial yang Mengancam Kesehatan Mental, artikel.kesehatan, rsmmbogor.com)
Jika dibiarkan, tentu akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan generasi berkualitas. Bagaimana akan terwujud generasi emas jika tidak ada upaya pencegahan dan perlindungan secara serius. Padahal, gen Z memiliki potensi kritis dan mampu menginisiasi perubahan melalui sosmed.
Oleh karena itu, penting untuk menyelamatkan generasi dari pengaruh hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik, sistem yang mendikotomi agama dan kehidupan. Sistem ini mencampakkan aturan Pencipta, lantas menerapkan aturan buatan manusia yang lemah, kurang dan terbatas. Maka tampaklah berbagai kerusakan, karena sistem ini tidak melahirkan aturan yang menjadi solusi atas segala problematika yang ada.
Penyelamatan gen Z dapat dilakukan yakni dengan mengubah paradigma berpikir sekuler menjadi paradigma berpikir Islam. Gen Z perlu dibangun pemahamannya mengenai hakekat kehidupan hingga dapat memahami realita kehidupan dengan tepat, juga menyadari potensi dirinya. Gen Z harus dibangun pemahaman bahwa ia adalah manusia, makhluk yang harusnya tunduk patuh pada Allah semata karena tujuan ia diciptakan adalah beribadah kepada-Nya. Dan Allah bukan sekadar Pencipta tetapi juga Pengatur, maka perlu mengambil semua aturan yang Allah turunkan.
Potensi pergerakan gen Z juga arus diarahkan untuk memberikan solusi sistemis dan ideologis berdasarkan paradigma Islam demikian juga sinergi keluarga, masyarakat dan negara dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi dan mengarahkan pada pergerakan yang sahih.
Aspek media sosial juga harus menjadi perhatian penting negara. Media sosial, dalam pandangan Islam, ditetapkan sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan syiar dakwah Islam. Media sosial juga menjadi alat kontrol dan peran politis strategis, sebagai benteng penjaga umat dan negara. Media sosial juga menjadi sarana edukasi umat untuk mendukung penerapan dan pelaksanaan syariat Islam.
Pengawasan terhadap konten-konten yang tidak mendidik dan melanggar Syariat Islam dilakukan oleh kerja media secara ketat dan memastikan tidak ada konten yang mendatangkan mudarat, menyebarkan pemikiran kufur serta beragam budaya yang menyimpang dari Islam, termasuk sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
Alhasil, urgensi kewajiban seorang penguasa dalam Islam yaitu penerapan Islam secara kaffah di tengah-tengah umat. Baik dari aspek keluarga, masyarakat hingga negara, mencakup juga aspek media sosial tidak diperkenankan menjadi alat politik sehingga akan melanggengkan sistem kafir yang berlandaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata-mata dalam rangka meraih kekuasaan dan materi. Wallahua'lam
Tags
opini