PP Tunas dan Perlindungan Anak di Ruang Digital

Oleh Annida K. Ummah 
(Tangerang) 



Satu tahun sejak Kementerian Komunikasi dan Informatika berubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di era pemerintahan Prabowo-Gibran, salah satu regulasi yang diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
Aturan yang diteken pada 28 Maret 2025 dan berlaku mulai 1 April 2025 itu menjadi dasar hukum bagi negara untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan bagi anak-anak serta kelompok rentan.

PP ini mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten berbahaya, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, dan memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. (cnbcindonesia.com, 22/10/25)

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid berharap implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP TUNAS) dapat berlaku penuh pada tahun depan. (Teknologi.bisnis.com, 19/11/25)

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan bahwa data terbaru dari United Nations Children's Fund (UNICEF) menunjukkan sebanyak 48 persen anak-anak di Indonesia pernah mengalami cyberbullying.

Tidak hanya itu, paparan konten pornografi di internet juga menjadi sorotan serius. UNICEF mencatat bahwa anak-anak di Indonesia menggunakan internet rata-rata selama 5,4 jam per hari, dan 50 persen di antaranya pernah terpapar konten dewasa. Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat telah menangani sebanyak 596.457 konten pornografi di ruang digital sepanjang 20 Oktober 2024 hingga 6 Oktober 2025.

Kasus cyberbullying dan paparan konten pornografi menjadi peringatan serius yang tidak boleh dibiarkan.

Menyadari urgensi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komdigi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) sebagai respons atas meningkatnya ancaman digital kepada anak-anak. Meutya menegaskan, PP Tunas adalah bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital.

PP Tunas menjadi langkah nyata bentuk kepedulian pemerintah untuk memastikan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan aman di tengah dunia digital yang semakin kompleks. (Kompas.com, 6/12/25)

Media sosial bukan penyebab utama kerusakan generasi. Media sosial hanya sebagai amplifier yang mempertebal emosi, perasaan, dan dorongan yang sudah ada sebelumnya. Algoritmalah yang bekerja dengan mempelajari klik, tontonan, dan interaksi pengguna. Selanjutnya terus menyodorkan konten untuk memaksimalkan durasi dan keuntungan platform. Algoritma tidak menilai apakah konten yang ada baik atau buruk, ia hanya mengikuti pasar. Karenanya ruang digital hanya memperbesar perilaku buruk yang lahir dari perilaku masyarakat yang telah ada, bukan menciptakan dari nol. 

Akar persoalan sesungguhnya penerapan sistem sekulerisme-kapitalisme yang membentuk anak dan remaja tumbuh tanpa arah dan tujuan. Tanpa penanaman akidah yang benar, penjagaan moral, dan lingkungan yang sehat. 

Pendidikan sekuler mengabaikan pembentukan kepribadian mulia pada generasi. Masyarakat liberal membebaskan segala perilaku. Sementara ekonomi kapitalistik membuat orangtua sibuk bekerja hingga minim pengawasan anak. 

Sistem ini menciptakan lingkungan yang rapuh. Ruang digital hanya mempercepat kerusakan yang sudah ada. Oleh karena itu pembatasan akses media sosial melalui PP Tunas hanyalah solusi pragmatis. Karena yang perlu dibenahi adalah aturan yang dipakai untuk hidup. 

Kerusakan generasi terjadi karena pemakaian aturan hidup sekuler dan kapitalis. Sehingga muncul generasi yang merasa lebih baik dari orang lain hanya karena materi semata. Ketiadaan raga membuat seseorang berani merundung orang lain di dunia maya. Jumlah pengikut di sosial media, materi, dan privilege menjadi standar manusia saat ini untuk berdiri tegak. Hal ini terjadi karena sistem/ gaya kehidupan sekuler kapitalis mendorong demikian.

Pengadaan PP Tunas bukanlah solusi sistemik untuk melindungi generasi di era digital. Perlu adanya revolusi aturan/ gaya hidup masyarakat. Memilih aturan Sang pencipta manusia adalah jawaban. Karena di dalamnya tersedia aturan paket lengkap kehidupan damai, aman, dan sejahtera yang menghasilkan generasi unggul bermental baja. Melindungi generasi di dunia nyata ataupun dunia digital. Wallahu a'lam bi ash showwab[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak