Oleh : Wahyuni Mu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
Bencana longsor dan banjir bandang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra. Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh mengalami kerusakan hebat. Menurut data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Sumatra telah mencapai setidaknya 604 orang (per 1 Desember 2025). (ANTARA News, 02/12/2025)
Selain itu, banyak warga hilang, ribuan rumah rusak, fasilitas infrastruktur terhancurkan, dan ratusan ribu orang terdampak secara langsung (Sindonews, 01/12/2025). Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa bencana tidak hanya terjadi di satu titik, tetapi meluas ke banyak kabupaten dan provinsi. Skala kerusakan yang sangat besar pun telah terjadi.
Selain curah hujan tinggi yang mencapai puncaknya, tingkat keparahan banjir bandang diperburuk oleh menurunnya daya tampung wilayah. Kawasan resapan air yang hilang, hutan yang habis, serta tata ruang yang kacau menjadikan air tidak bisa tertahan. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kerusakan alam yang telah berlangsung lama berkontribusi langsung pada dahsyatnya bencana kali ini.
Dampak Kejahatan Lingkungan ala Kapitalisme
Bencana yang terjadi tidak bisa dibaca sebagai “faktor alam” atau “ujian semata.” Ini adalah hasil dari kejahatan lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun dan dilegitimasi oleh kebijakan negara seperti pemberian konsesi hutan, ekspansi besar-besaran perkebunan sawit, tambang terbuka, serta regulasi longgar seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang mempermudah eksploitasi.
Dalam sistem demokrasi sekuler kapitalisme, hubungan penguasa dan pengusaha sering kali menjadi simbiosis saling menguntungkan. Atas nama “pembangunan,” negara memberikan izin luas kepada korporasi, sementara rakyat dan alam menjadi pihak yang paling menderita. Penguasa dalam sistem ini lahir dari struktur yang rusak, sehingga kebijakannya pun cenderung zalim, memberi jalan pada penjarahan sumber daya alam.
Banjir dan longsor di Sumatra menunjukkan secara telanjang bahaya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan keberlanjutan ekosistem. Ketika lingkungan rusak, daya tampung air hilang, tanah tidak lagi stabil, dan masyarakat menjadi korban pertama dari kerakusan ekonomi.
Semua ini adalah efek jangka panjang dari negara yang meninggalkan hukum Allah dalam mengelola alam. Pengelolaan sumber daya diserahkan pada mekanisme pasar dan kepentingan ekonomi, sehingga pengusaha dan elite politik menikmati keuntungan, sementara masyarakat harus menanggung derita.
Solusi Menyeluruh bagi Pengelolaan Lingkungan
Islam telah memberikan peringatan tegas bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari keimanan. Merusak alam bukan hanya masalah sosial- ekologis, tetapi tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain (lā dharar wa lā dhirār).” (HR. Ibn Majah). Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, hukum Allah digunakan untuk mengatur seluruh urusan negara, termasuk pengelolaan lingkungan.
Negara berkewajiban menjaga kelestarian hutan, mengatur tata ruang sesuai fungsi alamiahnya, dan menghentikan segala bentuk eksploitasi yang merusak. Islam menetapkan bahwa hutan adalah salah satu kepemilikan umum _(milkiyyah ‘āmmah)_ yang tidak boleh diberikan kepada individu atau perusahaan untuk dikuasai secara privat.
Negara juga wajib mengalokasikan anggaran besar untuk pencegahan bencana, bukan hanya respons setelah bencana terjadi. Para ahli lingkungan dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, sementara negara memastikan bahwa setiap pemanfaatan lahan harus mempertimbangkan daya dukung ekosistem dan keamanan masyarakat.
Hanya dengan penerapan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor. Khalifah sebagai pemimpin akan merancang blueprint tata ruang menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah berdasarkan fungsi alaminya, mana yang menjadi kawasan pemukiman, kawasan lindung, kawasan tambang, industri, dan himmah (zona perlindungan). Semua itu dirancang bukan untuk keuntungan pemilik modal, tetapi demi menjaga keselamatan manusia dan alam dari bahaya (dharar).
Harapan Menuju Tata Kelola Islami
Kekeruhan ekologis dan kehancuran lingkungan yang terlihat di Sumatra bukan semata kerja alam, melainkan akibat sebuah sistem pembangunan dan ekonomi yang keliru, yang mengabaikan amanah manusia terhadap alam. Pandangan dan analisis dari Muslimah News memperkuat: bahwa kita butuh paradigma baru, bukan sekadar mitigasi dan bantuan setelah bencana. Tetapi perubahan mendasar dalam cara kita memandang, mengelola, dan menjaga alam.
Dari perspektif Islam, solusi bukan sekadar regulasi sesaat, tetapi tatanan hidup dan sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum dan moral Ilahi, dengan amanah, tanggung jawab, dan perhatian serius terhadap kelestarian alam dan keselamatan manusia. Semoga bencana ini menjadi pelajaran berharga: bahwa kehancuran alam adalah dosa kolektif, dan pemulihan hanya bisa dibangun dengan kesadaran, keimanan, dan komitmen terhadap keadilan ekologis.
Tags
opini
