By : Ummu Al Faruq
Kasus penculikan anak BR yang tengah ramai dibicarakan karena perpindahan dari Makassar hingga ke pedalaman Jambi menunjukkan kelompok rentan, seperti anak hingga masyarakat adat, selalu rawan menjadi korban eksploitasi. Situasi mereka yang rentan acap kali dimanfaatkan, kata para ahli.
Di sisi lain, penelusuran pada pelaku utama dalam perkara semacam ini kerap mandek.
Sementara itu, perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan, seperti masyarakat adat dan anak, sangat minim sehingga membuka peluang menjadi korban berulang.
Begendang, salah-seorang anggota Orang Rimba di pedalaman Jambi, menjadi tempat terakhir dari BR setelah tiga kali berpindah tangan dari Makassar hingga Jambi.
"Dari pada dibawa ke mana-mana lebih baik kami yang ganti rugi supaya kami rawat seperti anak sendiri. Itu pikiran kami, tidak ada yang lain. Untuk menyelamatkan jiwa anak itu, dari pada dilempar keluar," kata Tumenggung Sikar, ayah Begendang, kepada M Sobar Alfahri untuk BBC Indonesia, Kamis (13/11/2025).
Polisi sempat menyebut proses negosiasi sangat alot, bahkan menuding masyarakat adat enggan melepas hingga disepakati penukaran dengan sebuah mobil oleh pelaku. Media sosial pun riuh dan berujung stigma pada masyarakat adat.
Padahal menurut pengakuan Begendang, Orang Rimba yang bersama BR, ia didatangi orang dan diminta bantuan untuk mengurus BR karena keluarga tidak mampu mengurusnya lagi.
Istri Begendang jatuh sayang sehingga bersedia merawatnya.
Tumenggung Sikar juga menegaskan tidak ada penukaran, berbeda dengan yang dinarasikan polisi.
Masyarakat adat, termasuk Orang Rimba ini telah kehilangan hutan yang menjadi sumber kehidupan.
Ruang hidupnya berubah menjadi perkebunan dan konsesi sehingga mereka kehilangan akses terhadap pangan, air, dan sumber penghidupan, katanya.
"Dalam kondisi semacam itu, Orang Rimba sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan tertentu," ujar Robert.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah juga merasa janggal dan mengharuskan penyidikan yang hati-hati karena kecenderungan masyarakat adat yang hidup sederhana dan mengandalkan alam ini justru dimanfaatkan oleh pelaku utama.
Ada kekhawatiran juga keberadaan masyarakat adat di pedalaman, kata Ai, sengaja dipilih pelaku sebagai tempat transit karena tidak terduga. Sementara itu, masyarakat adat tak mengetahui hal ini.
Selain itu, menurutnya, ruang ramah anak yang selalu disebut pemerintah nyatanya hanya berpegang pada pembangunan infrastruktur tanpa sistem keamanan yang memadai.
Media sosial yang menjadi pintu masuk kejahatan perdagangan anak, bahkan yang melalui penculikan ini, juga patut dibongkar agar kelompok rentan tidak terus menjadi korban, tambah Ai.
Hilangnya Ketaqwaan
Banyak faktor penyebab maraknya tindakan kriminal, termasuk penculikan. Faktor utamanya adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah Swt.
Dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.
Namun, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka, sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sedari kecil mereka tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam, seperti bahwa nyawa manusia lebih mulia dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara halal, wajibnya seorang ayah menafkahi anak dan istrinya, dan sebagainya.
Kehidupan sekuler sungguh telah melahirkan berbagai tindak kriminal. Ini karena kebebasan tingkah laku menjadi konsekuensi logis dari paham ini. Masyarakat merasa bebas berbuat untuk kepentingan mereka sendiri, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak.
Negara seharusnya menyelesaikan masalah, tetapi ini memicu terjadinya tindak kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung. Penetapan kebijakan yang ternyata kontradiktif terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak. Lemahnya hukum di Indonesia dalam menghentikan tidak penculikan dan perdagangan anak.
Adanya kebijakan terkait perlindungan anak. Payung hukum memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun, serta ancaman pidana berupa denda.
Syariat Islam sebagai Solusi
Sejatinya, peran negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan di tengah rakyat, termasuk kasus penculikan. Ini karena tatkala syariat Islam ditegakkan, fungsi negara bukan sekadar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus) rakyat.
Menurut Islam, negara harus berada di garis terdepan untuk melindungi rakyatnya, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan.
Negara akan melindungi mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan dididik dengan pemahaman akidah Islam, baik di sekolah maupun rumah. Mereka pun akan dijauhkan dari pemahaman kufur, seperti budaya liberal.
Negara juga akan memberikan sanksi yang menjerakan, termasuk pada pelaku penculikan. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya, yang ditetapkan oleh khilafah.
Penerapan sistem Islam meniscayakan sanksi tegas terhadap segala bentuk pelanggaran hukum syara. Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman sentosa.
Tindak kriminal pun akan minim, bahkan hilang sama sekali. Daulah bertanggung jawab dalam membentuk masyarakat yang bertakwa dan sejahtera.[]
Wallahu'alam bishshawwab.
Tags
opini
