Ketika Nyawa Kalah oleh Angka: Potret Buram Kesehatan dalam Cengkeraman Kapitalisme


Oleh : Kiasatina Izzati Pertiwi
 (Mahasiswa Karawang)



Wanita bernama Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya meninggal dunia setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura, Papua. Gubernur Papua, Matius D Fakhiri, meminta maaf dan menyebut hal itu terjadi karena kesalahan jajaran pemerintah di Papua. (detiknews.com Minggu, 23 Nov 2025)

Layanan Kesehatan yang seharusnya menjadi hak setiap rakyat, kini menjadi alasan seseorang kehilangan nyawanya akibat layanan yang sangat dipersulit. Kasus ini sering kali berulang dan korban bukan hanya satu atau dua, tapi hamper seluruh rakyat terutama kelas bawah merasakannya. Dan berita yang akhir akhir ini muncul adalah tentang seorang ibu yang kehilangan nyawa serta bayi yang ada didalam kandungannya, akibat ditolak oleh rumah sakit setempat.

Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri menyampaikan permohonan maaf mendalam kepada keluarga Irene Sokoy, ibu hamil yang meninggal bersama bayi yang dikandungnya setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura.

Kematian Irene Sokoy  seorang ibu hamil beserta bayi yang dikandungnya  setelah ditolak empat rumah sakit di Jayapura, bukan sekadar “insiden tragis”. Ia adalah potret telanjang dari rapuhnya sistem layanan kesehatan kita. Permintaan maaf gubernur tentu penting secara moral, tetapi tidak cukup untuk menutup fakta bahwa sebuah nyawa hilang bukan karena takdir semata, melainkan karena sistem yang seharusnya melindungi justru membiarkan.

Kasus seperti ini selalu diikuti kalimat pembenaran: “ruang penuh”, “fasilitas terbatas”, atau “tidak sesuai SOP”. Namun di balik alasan-alasan teknis itu, ada satu kebenaran yang lebih pahit : “kita hidup dalam sistem kesehatan yang belum menempatkan manusia sebagai pusat prioritasnya.”. Empat rumah sakit menolak pasien kritis bukanlah kebetulan; itu adalah gejala struktural. Ia mencerminkan minimnya koordinasi antar-fasilitas, lemahnya penegakan regulasi, serta absennya mekanisme darurat yang seharusnya memastikan pasien tetap mendapat layanan meski dalam kondisi overload. Yang lebih menyedihkan, seolah-olah penolakan itu adalah hal biasa  sesuatu yang seakan bisa dimaklumi.

Di negara yang bangga dengan jargon “pelayanan kesehatan untuk semua”, bagaimana mungkin seorang ibu hamil harus berpindah-pindah fasilitas seperti sedang mencari tempat parkir? Ini bukan hanya soal teknis medis ini soal keadilan. Soal martabat manusia. Soal apakah negara benar-benar hadir pada momen ketika warganya paling membutuhkan perlindungan.
Permintaan maaf adalah langkah awal, tetapi tidak boleh menjadi langkah akhir. Yang dibutuhkan adalah reformasi sistemik audit menyeluruh terhadap SOP rujukan, peningkatan kapasitas layanan, sistem koordinasi real-time antar rumah sakit, dan yang paling penting, budaya pelayanan yang menempatkan nyawa sebagai prioritas mutlak. Sebab jika tidak, maka Irene Sokoy hanya akan menjadi satu nama dalam daftar panjang tragedi yang berulang.

Yang membuat tragedi Irene Sokoy semakin menyesakkan adalah kenyataan bahwa kasus semacam ini bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita berkali-kali menyaksikan berita serupa: pasien darurat yang ditolak karena alasan kapasitas, ibu hamil yang dipindah-pindahkan, bayi yang tak terselamatkan karena sistem rujukan yang macet. Setiap kali muncul kasus baru, publik terkejut, pejabat meminta maaf, lalu semua perlahan menghilang dari ingatan hingga tragedi berikutnya datang lagi.

Pola ini berulang terlalu sering untuk disebut sebagai kebetulan. Ia seperti membentuk rantai panjang yang menghubungkan satu tragedi ke tragedi lainnya. Kasus Irene hanyalah simpul terbaru dalam rantai itu. Dan selama masalah ini hanya ditanggapi secara seremonial, tanpa pembenahan serius, maka rantai tersebut akan terus bertambah panjang.

Setiap insiden seharusnya menjadi alarm keras bahwa ada sesuatu yang salah di akar sistem, bukan hanya di permukaannya. Jika setelah begitu banyak kasus tetap tidak ada perubahan signifikan, maka kita harus bertanya: apakah sistem kesehatan kita benar-benar dirancang untuk melayani, atau hanya untuk terlihat melayani? Tragedi seperti ini tidak boleh dianggap sebagai kasus tunggal. Ia adalah potret dari sejarah pendek kegagalan yang terus berulang. Dan semakin sering kita melihatnya, semakin jelas bahwa reformasi bukan lagi kebutuhan tetapi urgensi moral.

Jika kita melihat lebih jauh dari rangkaian kasus yang terus berulang, kita akan menemukan akar persoalan yang jauh lebih dalam: sistem kesehatan yang beroperasi dalam kerangka kapitalisme, di mana layanan publik sering kali bergerak di bawah logika biaya, efisiensi, dan keuntungan bukan kemanusiaan.

Dalam sistem kapitalis, rumah sakit, klinik, dan fasilitas medis secara perlahan dipaksa berada dalam kompetisi: siapa yang lebih efisien, siapa yang lebih untung, siapa yang lebih “layak operasional”. Dampaknya, prioritas utama bukan lagi keselamatan pasien, tetapi stabilitas anggaran dan standar operasional yang sangat birokratis. Maka tidak heran jika banyak fasilitas kesehatan begitu cepat berkata, “ruang penuh,” “tidak tersedia alat,” atau “tidak sesuai prosedur.” Kalimat-kalimat itu menjadi tameng untuk menghindari beban biaya dan risiko medis.

Kasus Irene Sokoy memperlihatkan hal itu dengan gamblang. Empat rumah sakit yang menolak bukan hanya menunjukkan kegagalan koordinasi, tetapi juga bagaimana logika sistem membuat nyawa manusia bisa terpinggirkan oleh perhitungan administratif. Dalam kerangka kapitalis, pelayanan kesehatan sering berubah menjadi komoditas sesuatu yang diberikan bila memungkinkan, bukan sesuatu yang harus dipenuhi tanpa syarat.

Ketika keselamatan nyawa tunduk pada kalkulasi anggaran, ketika pelayanan publik dipaksa beroperasi layaknya perusahaan, maka tragedi seperti Irene bukan hanya kemungkinan ia adalah konsekuensi.

Inilah cacat mendasar dari sistem kapitalis dalam sektor kesehatan: ia tidak dirancang untuk menjamin layanan universal; ia hanya berupaya mempertahankan layanan sejauh tidak mengganggu kepentingan finansial.

Selama sistem ini tidak dibenahi, reformasi teknis saja tidak akan cukup. Kita bisa menambah ruangan, memperbaiki SOP, meningkatkan koordinasi  tetapi jika fondasinya masih menempatkan kesehatan sebagai komoditas, bukan hak, maka tragedi akan terus berulang. Pada akhirnya, yang kita perlukan bukan hanya perbaikan prosedural, tetapi pergeseran paradigma: dari logika keuntungan menuju logika kemanusiaan.

Tragedi yang menimpa Irene Sokoy memperlihatkan betapa rapuhnya pelayanan kesehatan kita: koordinasi lemah, birokrasi kaku, dan orientasi layanan yang sering kali lebih dekat pada logika administrasi daripada keselamatan manusia. Dari sudut pandang nilai-nilai Islam, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang terjadi di lapangan.

Islam bukan sekadar agama ritual; ia membawa seperangkat prinsip yang sangat detail mengenai tanggung jawab negara, pengelolaan pelayanan publik, dan perlindungan nyawa. Tragedi ini menjadi cermin bahwa nilai-nilai tersebut belum dipegang kuat.

Berikut cara Islam melihat persoalan seperti ini dan bagaimana prinsipnya menawarkan solusi yang layak direnungkan untuk kehidupan bernegara.

1. Nyawa Manusia Lebih Tinggi dari Administrasi & Keuntungan.

Dalam Islam, nyawa manusia adalah prioritas tertinggi:

"Barangsiapa menyelamatkan satu jiwa, maka seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia."
(QS. Al-Maidah: 32)

Artinya, tidak ada alasan birokrasi, kapasitas ruangan, atau aturan internal yang boleh menjadi penghalang saat seseorang sedang darurat.
Solusi nilai Islam:

• Tidak ada rumah sakit yang boleh menolak pasien gawat darurat dalam kondisi apa pun.
• Semua peraturan harus tunduk pada prinsip penyelamatan jiwa.
• Administrasi menyusul setelah nyawa aman.

Sistem apa pun jika masih mengizinkan penolakan pasien seperti Irene berarti masih jauh dari nilai ini.

2. Kesehatan adalah Hak Dasar, Bukan Komoditas.

Salah satu akar masalah hari ini adalah logika sistem yang membuat pelayanan publik tunduk pada efisiensi anggaran dan orientasi keuntungan. Islam sejak awal menempatkan jasa kesehatan sebagai kewajiban negara, bukan komoditas ekonomi.

Nabi ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari)

Dalam tradisi pemerintahan Islam klasik, rumah sakit (bimaristan) menyediakan layanan gratis, dibiayai negara, dan tidak membedakan status sosial.
Solusi nilai Islam:

• Negara wajib hadir secara penuh dalam pembiayaan dan penyediaan layanan kesehatan.
• Rumah sakit tidak boleh berjalan dengan prinsip “untung-rugi”.
• Beban biaya tidak boleh menjadi alasan penolakan layanan.
Ketika kesehatan diletakkan dalam mekanisme pasar, rakyat kecil selalu menjadi korban.

3. Sistem yang Terpusat dan Anti-Pingpong.

Islam mengenal prinsip tasharruf al-imam 'ala ra'iyyatihi manutun bil maslahah kebijakan penguasa harus selalu terkait dengan kemaslahatan rakyat.
Jika empat rumah sakit bisa menolak pasien secara beruntun, itu menunjukkan absennya koordinasi.

Solusi nilai Islam:
• Satu komando pelayanan kesehatan: koordinasi lintas rumah sakit terpusat, real-time, dan wajib.
• Tidak boleh ada istilah “bingung rujukan”, “ruangan tidak jelas”, atau “cari rumah sakit lain”.
• Dalam kondisi darurat, rumah sakit tidak boleh menolak apa pun until stabil.

Sebuah negara yang menerapkan nilai ini tidak akan membiarkan ambulance berputar-putar mencari pintu yang terbuka.

4. Pemimpin Harus Tahu, Bukan Hanya Minta Maaf.

Islam tidak menempatkan pemimpin sebagai figur simbolis, tetapi penanggung jawab utama segala urusan rakyat.
Kata Umar bin Khattab:

“Jika seekor keledai mati di Irak karena kelaparan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku.”

Jika seekor hewan saja dipikirkan, bagaimana dengan manusia yang ditolak empat rumah sakit?

Solusi nilai Islam:
• Pemimpin tidak cukup meminta maaf; ia wajib memastikan perbaikan struktural.
• Audit total terhadap koordinasi layanan.
• Tanggung jawab langsung, bukan dilempar ke bawahan.
Nilai ini bukan soal label negara, tetapi tentang mentalitas kepemimpinan yang bertanggung jawab secara moral dan spiritual.

5. Mengapa Prinsip Islam Relevan untuk Kita Renungkan?

Tragedi Irene menunjukkan bahwa:
• Sistem yang berbasis administrasi kaku → gagal.
• Sistem yang tunduk pada logika keuntungan → menelantarkan rakyat.
• Sistem yang membiarkan fasilitas publik berjalan seperti bisnis → menciptakan korban.

Islam menawarkan pendekatan yang menempatkan nyawa di atas sistem, bukan sistem di atas nyawa.
Bukan berarti negara harus berubah bentuk, tetapi nilai-nilai ini seharusnya menjadi fondasi dalam pembuatan kebijakan. Jika negara mengadopsi prinsip dasar Islam seperti:
• keselamatan sebagai prioritas tertinggi,
• kesehatan sebagai hak rakyat,
• pemimpin bertanggung jawab penuh,
• pelayanan publik non-komersial,
maka tragedi-tragedi seperti ini tidak akan lagi berulang.

Solusi Islam mengajak kita merenungkan:
Bagaimana mungkin sebuah sistem dianggap baik jika ia membiarkan warganya meninggal karena “ruangan penuh”?

Nilai Islam menempatkan kemanusiaan sebagai dasar kebijakan. Ia bukan hanya sistem ibadah; ia sistem nilai yang bisa mencegah tragedi.

Dan ketika tragedi terus terjadi, kita wajar bertanya: Apakah sistem yang kita pakai hari ini benar-benar berpihak pada rakyat?
Atau kita butuh kembali melihat prinsip-prinsip Islam yang lebih manusiawi sebagai inspirasi untuk pembenahan?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak