Kapitalisme Merampas Hak Rakyat, Islam Menjaganya



Oleh: Endah Fitri Lestari, S.Pd.



Banjir besar yang melanda tiga provinsi di Sumatera pada akhir November 2025 menjadi peristiwa serius yang menimbulkan dampak luas. Ribuan rumah terendam, aktivitas ekonomi lumpuh, lahan pertanian rusak, dan sebagian warga terpaksa mengungsi dalam kondisi darurat. Peristiwa ini tidak dapat dipandang semata sebagai bencana alam, melainkan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang terjadi selama bertahun-tahun. Deforestasi masif, alih fungsi hutan menjadi konsesi bisnis, serta rusaknya daerah resapan air telah menjadikan hujan sebagai ancaman, bukan lagi rahmat. Alam dieksploitasi demi kepentingan ekonomi, sementara keselamatan rakyat dipertaruhkan.
Namun ironisnya, di tengah dampak kerusakan yang begitu dahsyat, respons negara terhadap tragedi ini dinilai lamban dan minim empati. Alih-alih mengakui secara tegas skala bencana yang menghancurkan infrastruktur dan dilaporkan menelan korban jiwa dalam jumlah besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Presiden Prabowo Subianto berulang kali menyatakan bahwa situasi masih “terkendali” dan akan kembali normal dalam dua hingga tiga bulan. Pemerintah juga terkesan enggan menetapkan banjir ini sebagai bencana nasional, meskipun kondisi di lapangan menunjukkan keadaan yang sangat kritis dan membutuhkan penanganan luar biasa.
Kontradiksi terlihat jelas ketika masyarakat masih berjuang menyelamatkan diri dan memulihkan kehidupan pascabanjir, sementara Presiden Prabowo justru mengusulkan perluasan penanaman kelapa sawit di Papua sebagai bagian dari program swasembada energi. Pernyataan ini terasa kurang empatik, mengingat kerusakan hutan dan ekosistem akibat ekspansi industri termasuk sawit, selama ini menjadi salah satu penyebab utama memburuknya bencana ekologis di berbagai daerah. Alih-alih melakukan evaluasi dan pembatasan, negara justru tampak ingin mengulang pola perusakan yang sama.
Sikap kurang peka juga terlihat dari pernyataan pejabat lain. Kepala BNPB sempat menuai kritik setelah mengatakan bahwa kondisi banjir “tidak semencekam seperti yang diberitakan di media sosial”. Ucapan ini memicu kemarahan publik karena dianggap meremehkan penderitaan para korban, hingga akhirnya ia menyampaikan permintaan maaf. Namun, peristiwa tersebut semakin menguatkan kesan bahwa sebagian elite lebih fokus mengelola citra daripada benar-benar memahami kondisi rakyat di lapangan.
Di parlemen, seorang anggota DPR Endipat Wijaya menjadi sorotan setelah menyindir donasi masyarakat untuk korban banjir dengan istilah “si paling”, yang terkesan mengecilkan solidaritas rakyat. Padahal, donasi sekitar Rp10 miliar itu berasal dari empati warga biasa dengan segala keterbatasannya. Pernyataan tersebut terasa semakin tidak pantas jika dibandingkan dengan klaim bantuan pemerintah yang mencapai triliunan rupiah, namun dampaknya di lapangan masih dirasakan belum memadai.
Semua rangkaian peristiwa ini memperlihatkan persoalan yang lebih mendasar: bagaimana sistem kapitalisme telah merampas hak rakyat untuk hidup aman dan sejahtera. Alam dieksploitasi demi keuntungan segelintir pemilik modal dan korporasi, sementara rakyat menanggung akibatnya dalam bentuk banjir, kehilangan rumah, dan rusaknya sumber penghidupan. Yang menjadi korban bukan hanya manusia, tetapi juga berbagai hewan yang kehilangan habitat aslinya. Taman Nasional Tesso Nilo di Riau adalah contoh nyata: kawasan yang seharusnya dilindungi kini semakin gundul dari tahun ke tahun akibat pembukaan lahan dan perkebunan sawit ilegal. Kerusakan ini memicu konflik yang terus meningkat antara manusia dan satwa liar, seperti gajah Sumatera, karena ruang hidup mereka semakin sempit.
Begitulah realitas bobroknya sistem kapitalisme yang tengah menjajah negeri ini. Kekayaan hutan Indonesia yang melimpah dimungkinkan untuk dikuasai oleh para pemilik modal dan korporasi besar, sementara negara justru berperan sebagai pemberi karpet merah melalui kebijakan dan perizinan. Ketika hutan dihancurkan atas nama investasi dan pembangunan, yang dirampas bukan hanya pepohonan, tetapi juga hak rakyat dan satwa untuk hidup layak, aman, dan bermartabat. Selama keuntungan ekonomi terus ditempatkan di atas keselamatan manusia dan kelestarian alam, maka bencana dan konflik ekologis hanya akan terus berulang, dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Rakyat : Beban dalam Kapitalisme, Amanah dalam Islam

Islam dan kapitalisme memiliki cara pandang yang sangat berbeda dalam memaknai kesejahteraan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, rakyat kerap diposisikan sebagai beban dan angka statistik: beban anggaran, beban subsidi, atau bahkan dianggap sebagai penghambat laju investasi. Negara lebih sering hadir sebagai penjaga kepentingan pasar dan pemilik modal, sementara kesejahteraan rakyat diletakkan sebagai urusan sekunder yang bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Selama pasar tumbuh, penderitaan rakyat dianggap akan terselesaikan dengan sendirinya. Sebaliknya, Islam memandang rakyat bukan sebagai beban, melainkan sebagai amanah yang harus dijaga dan dipenuhi hak-haknya. Dalam sistem Islam, penguasa tidak berdiri sebagai pelayan modal, tetapi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, mulai dari keamanan, pangan, hingga lingkungan hidup yang layak. Inilah perbedaan mendasar yang membuat Islam menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pemerintahan, bukan sekadar dampak samping dari pertumbuhan ekonomi.
Pandangan bahwa rakyat adalah amanah bukan sekadar konsep moral, melainkan prinsip yang memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi” yang artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab besar yang kelak akan dihisab. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut untuk mengatur dan membuat kebijakan, tetapi wajib memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi serta tidak ada yang dizalimi. Karena itu, dalam Islam, kesejahteraan rakyat bukan pilihan kebijakan yang bisa dinegosiasikan, melainkan kewajiban syar’i yang melekat pada setiap pemegang kekuasaan.
Prinsip ini tidak berhenti pada tataran ajaran, tetapi benar-benar diwujudkan dalam praktik kepemimpinan Islam sepanjang sejarah. Khalifah Umar bin Khattab menjadi salah satu contoh paling nyata. Ia dikenal rutin berpatroli di malam hari untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan atau terabaikan. Dalam sebuah kisah yang masyhur, ketika Umar mendapati sebuah keluarga yang kelaparan, ia tidak memerintahkan bawahannya, melainkan memanggul sendiri karung gandum dari baitul mal, memasakkan makanan, dan menunggu hingga anak-anak itu benar-benar kenyang. Umar juga pernah menangis karena seekor keledai yang terperosok ke dalam lubang, khawatir kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya karena jalan yang rusak. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas manusia, tetapi juga atas keselamatan makhluk hidup dan kondisi lingkungan di wilayah kekuasaannya. Rakyat tidak dipandang sebagai angka atau beban anggaran, melainkan sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Dari perbedaan cara pandang ini terlihat bahwa masalah kesejahteraan rakyat bukan hanya soal kebijakan teknis, tetapi soal sistem yang digunakan. Sistem kapitalisme sejak awal lebih berpihak pada pengumpulan keuntungan, sehingga rakyat dan alam sering dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, dalam Islam, kekuasaan dipandang sebagai amanah. Tujuan utama pemerintahan adalah menyejahterakan rakyat, dan semua kebijakan akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.
Selama sistem kapitalisme masih dipertahankan, penderitaan rakyat, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan akan terus terjadi meski dengan bentuk yang berbeda. Karena itu, solusi yang dibutuhkan bukan sekadar ganti pemimpin atau kebijakan sementara, melainkan perubahan cara pandang dan sistem yang benar-benar menempatkan rakyat, alam, dan keadilan sebagai pusat kehidupan bernegara.
Jika kapitalisme terus melahirkan kesenjangan, sementara Islam pernah menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, masihkah kita menutup mata terhadap solusi yang Allah turunkan? Allah Subhanallahu wa Ta'ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50). Wallahua‘lam bish-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak