Derasnya Arus Liberalisasi Mengorbankan Penduduk Negeri



Oleh: Ummu Syafalee
 (Aktivis Muslimah) 



Ku.. lihat ibu Pertiwi.. sedang bersusah hati.. lagu tersebut sangat relate mewakili kondisi negeri kita saat ini. Musibah banjir bandang dan longsor di Indonesia terus menerus mewarnai layar kaca, mengalir begitu deras seperti air mata kesedihan yang tidak bisa dibendung olehnya. Musibah ini tidak hanya terjadi di Aceh dan Sumatera namun juga terjadi di beberapa kota di antaranya Kabupaten Subang dan Karawang.

Bencana banjir, angin puting beliung, hingga tanah longsor melanda sejumlah daerah di sekitar Kabupaten Subang, Jawa Barat pada Kamis hingga Jumat. Kondisi itu terjadi akibat cuaca ekstrem. Hujan deras yang disertai angin kencang sampai Sungai Cikandai di Desa Mayang meluap. Luapan air sungai itu membawa material tanah hingga menerjang sejumlah fasilitas publik dan permukiman warga. 

Sementara itu, Bupati Purwakarta Saipul Bahri Binzein menyebut bencana longsor dan banjir bandang di tiga provinsi di Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi pengingat betapa pentingnya kesadaran dan taubat lingkungan bagi pemerintah maupun masyarakat  (Jabarantaranews.com, 3 /12/ 2025).

Bencana alam tidak mungkin terjadi begitu saja, tetapi dapat muncul akibat kelalaian kita sendiri. Banjir, longsor, dan kerusakan ekologis lainnya sering kali dipicu oleh tindakan manusia yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Misalnya pembangunan infrastruktur, baik jalan, gedung, maupun fasilitas publik, berpotensi bencana apabila tidak didukung dengan pengelolaan lingkungan yang baik. Selain itu, perilaku manusia di daerah pegunungan kerap melakukan penebangan pohon tanpa diikuti kegiatan penanaman kembali (reboisasi).

Sementara di kawasan perkotaan, pembangunan sering kali tidak diimbangi dengan penyediaan drainase yang memadai. Tidak hanya itu, ada hal yang lebih berbahaya dari kelalaian dalam pengelolaan lingkungan yakni alih fungsi lahan dan hutan yang idealnya sebagai tempat-tempat resapan air, justru diregulasi oleh pemerintah dengan memberi kebebasan kepada para pemilik modal.

Persoalan lingkungan bukan semata-mata karena kurangnya edukasi melainkan buruknya kebijakan regulasi. Terbukti saat bencana terjadi, bukan sekedar debit air yang meninggi melainkan gelondongan kayu menjadi saksi bahwa penebangan hutan telah terjadi. Lalu siapa yang bisa memungkiri jika sudah seperti ini?

Bencana yang banyak terjadi di Indonesia sejatinya adalah bentuk teguran agar umat dan negeri ini menerapkan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Al Qur'an yang telah diturunkan oleh Allah SWT sejak lebih dari 14 abad yang lalu telah menginformasikan bahwa "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia" yakni dengan mencampakkan aturan Allah dalam segala aspek kehidupan atau yang kita kenal dengan istilah sekularisme.

Islam telah mengatur terkait 3 kepemilikan yaitu : kepemilikan negara, kepemilikan umum dan kepemilikan individu agar bisa berjalan sesuai dengan sunnatullah. Ketiganya tidak boleh bercampur agar tercipta harmonisasi. Contoh paling mudah seperti peristiwa yang terjadi saat ini. Hutan merupakan kepemilikan umum sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : air, api dan padang gembala. 

Hutan termasuk kategori Padang gembala yang mana kepemilikannya adalah untuk umum. Pengelolaannya pun tidak boleh diserahkan kepada individu atau sekelompok tertentu melainkan harus diatur oleh negara agar dikembalikan hasilnya untuk kemaslahatan masyarakat. Misal, hutan tetep dipelihara keasliannya oleh negara sebagai resapan air. Lalu dengan itu negara membuat kanal-kanal atau irigasi dan dialirkan ke tanah-tanah penduduk.

Selain itu, Negara harus mengeluarkan regulasi tegas terkait larangan penebangan hutan di kawasan rawan longsor dan konservasi, sementara pemanfaatan hutan hanya boleh dilakukan di wilayah yang dinilai aman tetapi tetap harus menjaga keseimbangannya. Sebab, persoalan banjir dan longsor yang setiap tahun tidak dapat dihindari di berbagai wilayah indonesia ini bukanlah semata-mata karena datangnya musim penghujan. Namun karena kacaunya tata kelola khususnya dalam hal pembangunan dan penjagaan lingkungan dalam sistem kapitalisme.

Bahasa sederhananya, manusia banyak menebang pohon tetapi lupa menanam, banyak membuat jalan untuk manusia tetapi lupa membuat jalan untuk air. Ini yang menyebabkan air mencari tempatnya sendiri dan justru menimbulkan bencana yang menimpa tidak hanya tangan-tangan rakus saja melainkan juga manusia yang tidak tahu apa-apa pun terkena dampaknya.

Dengan demikian, bencana seperti banjir bukan hanya persoalan fenomena alam akan tetapi merupakan pengingat sekaligus pelajaran penting bagi semua pihak untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dan merupakan suatu bentuk teguran dari Allah agar manusia  kembali pada aturan-Nya. Oleh karena itu, penyikapan dan pengambilan solusi tidak bisa hanya bersifat parsial, tambal sulam dan berparadigma batil sekularisme, seperti halnya hanya dengan revolusi lingkungan. Melainkan, negeri ini lebih membutuhkan solusi revolusi sistemik dari hulu hingga hilir dengan menerapkan sistem yang berlandaskan syariat Islam. 

Kami berharap momentum ini dapat memperkuat komitmen bersama terhadap pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan mitigasi bencana harus dimulai dari kesadaran individu, masyarakat serta negara. Disamping pemerintah menyiapkan regulasi yang sesuai dengan syariat Islam agar tercipta Rahmat bagi seluruh alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak