Ummu Aqeela
Banjir bandang yang menerjang Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh telah mengundang ribuan relawan, dari berbagai lembaga atau komunitas, ke kawasan terdampak.
Di sana, ada yang mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan. Ada yang mencari dan mengevakuasi korban, membuat pelayanan kesehatan darurat, dan lainnya.
Fenomena itu memang menunjukkan solidaritas dan empati sosial yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain, fenomena tersebut menandai hal krusial yang perlu kita kritisi: absennya pemerintah sebagai pemimpin dalam upaya tanggap darurat. Otoritas seakan hanya menjadi salah satu dari ratusan pihak yang terjun ke lokasi bencana.
Pemerintah pusat, melalui BNPB, seharusnya berperan memimpin upaya tanggap darurat. Apalagi bencana terjadi di lintas provinsi, sehingga memerlukan lembaga tingkat nasional untuk mengorkestrasi penanggulangan bencana di semua kawasan.
Dalam situasi darurat, kepemimpinan mumpuni dalam merespons bencana sangat dibutuhkan untuk mengoordinasikan pencarian dan penyelamatan para penyintas. Apalagi penyelamatan mereka yang mungkin masih bertahan di sela-sela reruntuhan.
(The Convertation, 12 Desember 2025)
Persoalan mendasar dari lambannya penanganan bencana dan lemahnya keberpihakan pada rakyat sesungguhnya berakar pada cara pandang bernegara dan paradigma kepemimpinan. Banyak pejabat melihat kekuasaan bukan sebagai amanah untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Mereka memandang kekuasaan sebagai posisi strategis yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas jejaring, pengaruh serta keuntungan politik. Ketika pola pikir ini mengakar, negara kehilangan orientasi moralnya dan gagal menjalankan fungsi asasinya sebagai pelindung warganya.
Ada pepatah Belanda, mengatakan: “Leiden is lijden” (Pemimpin itu menderita).
Maknanya adalah kepemimpinan bukanlah tentang kenyamanan dan kekayaan pribadi atau previlese tetapi tentang pengorbanan, empati, dan tanggung jawab besar untuk melayani dan mengedepankan kepentingan rakyat atau kelompok yang dipimpin. Bahkan, sering berarti hidup sederhana dan siap menghadapi kesulitan demi kemaslahatan bersama, seperti teladan.
Dalam Islam seorang pemimpin disebut sebagai waliyyul amri, yaitu orang yang dengan tulus dan senang hati mengurus urusan yang dipimpinnya.
Sadar, ketika ia menjadi pemimpin maka ia bukan hanya milik keluarga dan kelompoknya, tetapi ia adalah milik umat. Bahkan ia pun bukan milik dirinya.
Menjadi pemimpin itu berat. Rasulullah Saw mewanti-wanti:
“Tidaklah seorang pemimpin yang menutup pintunya tanpa (memperdulikan) orang-orang yang membutuhkan, orang-orang yang fakir, dan orang-orang yang miskin, melainkan Allah akan menutup pintu-pintu langit dari (terkabulnya) kebutuhan, kefakiran, dan kemiskinannya (pemimpin itu).” (HR Tirmidzi)
Hadis di atas menegaskan pentingnya aksesibilitas dan responsivitas pemimpin terhadap kondisi darurat rakyatnya. Dalam Islam, peran pemimpin lebih condong sebagai pelayan bagi umatnya seperti pepatah: sayyidul qaum khadimuhum.
Pada tahun 17 H, di Madinah dan sekitarnya terjadi paceklik dan kemarau panjang yang dikenal dengan “Amar Ramadah” (tahun abu), yang menyebabkan rakyat menderita kelaparan.
Umar bin Khattab sebagai Khalifah atau kepala negara, bekerja sangat keras mengatasi bencana ini. Hingga matanya cekung, kantung matanya menghitam dan kulitnya kering. Karena kurang tidur, kurang makan dan kurang gizi.
Ketika disodorkan makanan yang lebih baik (seperti roti dengan lemak atau samin) kepadanya, beliau menolak dengan tegas, seraya berkata, “Bagaimana aku bisa makan enak sementara rakyatku menahan lapar..?”.
Bahkan melihat penderitaan rakyatnya, Umar bin Khattab, sebagai Amirul Mukminin, bersumpah untuk tidak makan makanan enak (daging, samin, atau minyak zaitun) sampai rakyatnya bisa makan dengan layak.
Ini bukan pencitraan! Ini empati asli bukan palsu, sebagaimana ia juga pernah memanggul karung dimalam hari untuk seorang ibu janda dengan beberapa orang anak yang kelaparan sedang memasak batu. Pemimpin memang harus hadir, ketika terjadi masalah atau musibah yang menimpa rakyat diwilayahnya. Tidak boleh menutup mata apalagi pergi meninggalkan lokasi musibah.
Maka, seorang pemimpin sepatutnya berpihak dan mencintai umat yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin dapat dijadikan keteladanan dan dirujuk serta mencintai yang dipimpin, maka pemimpin tersebut tidak saja memiliki legalitas formal tetapi juga memiliki legitimasi moral dan sosial.
Rasulullah saw. bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتَدْعُونَ لَهُمْ وَيَدْعُونَ لَكُمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
Pemimpin terbaik kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; juga yang kalian doakan dan mereka pun mendoakan kalian. Pemimpin terburuk kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; juga yang kalian laknat dan mereka pun melaknat kalian. (HR Muslim).
Karena itu umat membutuhkan sistem kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan konsisten. Inilah yang pernah diterapkan selama berabad-abad sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam dulu. Khilafah Islam bukan sekadar struktur politik, tetapi wujud konkret dari kewajiban menegakkan hukum Allah SWT secara kâffah dalam mengatur urusan manusia.
Dalam konteks bencana, Khilafah akan menggerakkan seluruh potensi negara, baik anggaran, personil, logistik dan solidaritas masyarakat. Semua itu demi menjaga nyawa dan kehormatan rakyat.
Nabi ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
Kaum Muslim itu bersaudara. Ia tidak menzalimi saudaranya dan tidak membiarkan saudaranya itu (dalam kesusahan).
(HR al-Bukhari).
Wallahu’alam bishowab.