Generasi Z (Gen-Z) adalah generasi yang lahir ditengah digitalisasi. Tumbuh dengan algoritma media social yang menjadiperjumpaan lintas batas sebagai makanan sehari-hari. Tak lepas daribayang-bayang ketidakstabilan politik, polarisasi sosial, kesenjangan ekonomiyang melebar, dan pasar kerja yang rapuh, krisis iklim, dan disrupsi kecerdasanbuatan (AI). Generasi ini berani menampilkan diri sebagai kekuatan globaldengan bahasa dan metode mereka sendiri, penuh kreativitas visual kadang bahkankomikal. Namun, di balik itu ada keseriusan: keresahan atas korupsi, kebijakanyang dianggap menekan, dan ketidakadilan ekonomi yang dirasakan sehari-hari.
Akhir September lalu, Presiden Madagaskar AndryRajoelina mengumumkan pembubaran pemerintahannya usai generasi Z menggelardemonstrasi besar-besaran di negara itu. Pemicu unjuk rasa besar-besaran ituterkait krisis air dan listrik. Peristiwa tersebut, menurut laporanPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100orang lainnya.
Asistenprofesor komunikasi di Brock University, Michelle Chen mengatakan, benang merahdari semua gerakan ini adalah kekecewaan terhadap tata kelola yang buruk,kurangnya kesempatan, dan ketimpangan sosial yang parah, (Alinea.id/Oktober2025). Gerakanpro-Palestina, #MeToo, protes mahasiswadi berbagai negara, dan demo 25 Agustus 2025 di Indonesia menunjukkan bahwa Gen Z membangun kesadaranakan persoalan terutama melalui:TikTok, Instagram, X/Twitter,YouTube, Reddit,Discord, Platform pesan seperti WhatsApp & Telegram.
Isu mengenai generation gap (kesenjangan antargenerasi)semakin sering dibicarakan. Dalam konteks narasi ini, kelompok-kelompok usia diklasifikasikan berdasarkan periode waktu lahir mereka, yang kemudian dikaitkan dengan perbedaan karakter dan perilakunya. Klasifikasi inimemunculkan istilah-istilah yang umum seperti Baby Boomers, Gen X, Milenial,Gen Z, dan Gen Alpha, yang digunakan untuk membedakan karakteristik, sifat,dan pola tingkah laku spesifik di antara kelompok-kelompok generasi tersebut.Dari perspektif ideologis, isu kesenjangan antargenerasiini lebih dari sekadar perbedaan usia atau gaya hidup.
Narasi ini dianggap sebagai manifestasi dari hegemoni nilai kapitalisme yang menyebar secaramasif melalui platform digital. Nilai-nilai inti kapitalisme—seperti konsep "kebebasantanpa batas," "identitas yang didorong oleh konsumsi," danpandangan bahwa "viralitas adalah bentuk validasi"—telahmenjadi standar dan norma sosial yang baru, bahkan diadopsi oleh generasi mudamuslim.
Hegemoni yang terjadi di ruang digital ini pada akhirnya memicu adanya rekayasa(konstruksi buatan) mengenai definisi dan karakteristik generasi. Media massa dan pihak pemasar secara sengaja menciptakan konsepsi yang terlalu disederhanakan mengenai identitas setiap generasi. Konstruksi identitas yang telah dikemas ini kemudian digunakan sebagai alat untuk memasarkan dan menjual berbagai hal, mulai dari produk, layanan, hingga pandangan politiktertentu dan standar hidup ideal.
Rekayasaidentitas generasi ini membawa dampak serius berupa krisis identitas dankerusakan mental. Lebih jauh lagi, hal ini mengakibatkan generasi mudamuslim semakin menjauh dari tsaqafah (peradaban/pemikiran) Islam. Dalam konteks ini, algoritma media sosial bertindak sebagai penyaring utama informasi, yang secara efektif menghambat popularitas nilai-nilai Islam,bahkan membuatnya terkesan ekstrem. Akibatnya, generasi muda muslim menjadi semakin asing terhadap ajaran agama mereka sendiri.
Narasi kesenjangan generasi ini tidak hanya berda
mpak pada individu, tetapi juga memicu stereotip dan potensi konflik sosial, termasuk di lingkungan keluargamuslim dan dakwah. Generasi tua dicap kolot, sementara generasi muda diidealkansebagai progresif dan individualis. Akibatnya, terjadi ketidakselarasankomunikasi antara remaja dan orang tua dalam membahas nilai moral dan agama, dimana influencer lebih dipercaya daripada nasihat ulama. Fenomena ini diperparahdengan munculnya tren seperti self-love dan freedom of expression,yang membuat nilai-nilai Islam dianggap mengekang dan tidak relevan.Platform digital terutama mediasosial telah menjadi pengasuh bagi generasi muslim. Mekanisme ini akan menjadikan ghazwu ats-tsaqafi (invasi budaya) semakin sulit dimenangkan.
Desain sekulerisme melalui platform digital dengan cepat akan menggeser
pemikiran islam di benak generasi muslim; glorifikasi kebebasan ekspresi yangmuncul di layar akan menormalisasikemaksiatan dan mengikis kecenderungan taat pada syariah. Padahal pemikiran islam dan ketundukan pada syariah adalah unsur utama dalam membangun syakhshiyahislamiyah (kepribadian islam).
Dalam konteks deklaratif dan umum secarapasti akan mempengaruhi identitas dan profil generasi muslim. Invasi sekulerisme yang masif melalui semua platform akan membentuk lobang-lobang dalam bentukan kepribadian islam generasi muslim, menjauhkan dari identitas dan profil generasi muslim. Implikasinya,kegagalan dalam menyolusi semua persoalan kehidupan, memunculkan kondisi batinkhawatir akan yang belum terjadi, dan sedih terhadap apa yang sudah terjadi.
Level perasaan ini adalah pra-kondisidepresi yang masuk spektrum isu kesehatan mental. Generasimuslim, sebagai aset penting umat, perlu mendapatkan pembinaan
yang difokuskanpada dua hal utama: akliah islamiah (mengembangkan pola pikir yang didasarkan pada peradaban Islam, bukan pada tren digital) dan nafsiahislamiah (membentuk pola sikap yang sepenuhnya tunduk pada hukum syarak).Upaya pembinaan ini hanya dapat berhasil apabila umat secara keseluruhankembali menjadikan Islam sebagai standar hidup mereka, alih-alihmengikuti nilai-nilai sekuler atau terjebak dalam kendali algoritma mediasosial..
Dalam dakwah,Rasulullah ﷺ melibatkan spektrum usia yang luas, dari generasi mud
a hinggagenerasi tua. Semuanya diberdayakan sesuai potensi dan kapasitas masing-masinguntuk perjuangan mewujudkan peradaban Islam di Madinah. Kunci keberhasilanRasulullah adalah kemampuan beliau meleburkan semua generasi dalam pembinaanjemaah Islam ideologis (hizbullah) dengan pemikiran yang membangkitkan. Sin
