By : Ummu Hibban
Tatanan sekuler kapitalistik telah mendominasi kehidupan manusia di era digital. Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga platform digital menjadi ruang utama pembentukan kesadaran terutama generasi muda, generasi yang paling intens hidup di ruang digital. Kondisi ini memunculkan hal-hal yang positif dan negatif pada Gen Z - sebutan untuk anak-anak muda hari ini.
Hal positif, munculnya fenomena Gerakan untuk perubahan yang diinisiasi anak-anak muda. Gen Z yang sejak awal hidupnya berinteraksi melalui media sosial muncul sebagai aktor politik baru yang memelopori gerakan protes dalam waktu cepat. Gerakan sosial di era digital semisal Arab Spring 2011, Black Lives Matter, protes iklim, gerakan pro-Palestina, #MeToo, protes mahasiswa di berbagai negara, dan demo 25 Agustus 2025 di Indonesia menunjukkan bahwa Gen Z membangun kesadaran akan persoalan terutama melalui:TikTok, Instagram, X/Twitter,YouTube, Reddit, Discord, Platform pesan seperti WhatsApp & Telegram.
Di sisi lain kita juga khawatir akan kondisi generasi kita. Headline media dipenuhi berita persoalan yang menimpa gen Z. Resiko interaksi dengan platform digital, terutama medsos telah memunculkan problem serius, mulai dari menjadi korban pinjol, judol, kekerasan seksual, perundungan digital hingga masalah isu kesehatan mental. Data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), mencatat satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Hegemoni Digital
Apa yang menimpa generasi kita harus dipahami sebagai hasil dari tatanan kehidupan sekuler. Semenjak Amerika Serikat (AS) memimpin dunia dengan ideologi kapitalisme, tidak ada yang terjadi di dunia ini kecuali harus dikaitkan dengan tatanan sekuler kapitalisme.
Di abad 21 tatanan kapitalisme nampak menuju kebangkrutannya. Kematian kapitalisme terlihat pada 2020–2021 dengan runtuhnya pasar bebas, sementara negara mengambil alih. Banyak negara mengontrol harga dan distribusi, memberikan bantuan langsung tunai, dan mensubsidi perusahaan besar.
Pandemi juga menghasilkan resesi besar, PHK massal, runtuhnya sistem rantai pasok, kolapsnya sektor perjalanan, energi, dan manufaktur. Slavoj Žižek bahkan menyebut dalam bukunya Pandemic!: COVID-19 Shakes the World (2020), pandemi adalah awal dari akhir kapitalisme neoliberal.
Nyatanya kapitalisme tidak begitu saja mati. Dalam waktu singkat sistem kapitalisme melakukan rebound (pulih), bangkit kembali dengan wajah baru yang lebih kuat. Pemulihan ini terjadi melalui percepatan adopsi teknologi digital. Di sinilah muncul bentuk baru kapitalisme platform. Yaitu adanya beberapa perusahaan teknologi besar (big-tech) beroperasi dengan memonopoli dan mengendalikan infrastruktur digital yang menopang aktivitas ekonomi global.
Kapitalisme platform menjadikan data, algoritma, dan jaringan pengguna sebagai sumber utama keuntungan. Perusahaan-perusahaan seperti Google, Meta, TikTok, Shopee, hingga perusahaan ride-hailing (Gojek, Grab, Maxim, dsb) menguasai infrastruktur digital yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Mereka tidak hanya menjual layanan, tetapi mengatur cara orang bekerja, berbelanja, bersosialisasi, dan bahkan berpikir. Ketergantungan inilah yang membuat platform digital menjadi aktor ekonomi paling kuat setelah pandemi—mereka memimpin rebound kapitalisme global.
Dominasi ini melahirkan hegemoni digital, yaitu keadaan ketika platform bukan lagi sekadar penyedia jasa, tetapi produsen budaya dan pembentuk kesadaran masyarakat. Algoritma menentukan apa yang dianggap penting, apa yang menjadi tren, siapa yang terlihat, dan bagaimana realitas ditafsirkan. Dalam hegemoni digital, kontrol sosial tidak dijalankan melalui paksaan, tetapi melalui penerimaan sukarela: masyarakat mengikuti logika platform karena dianggap normal, praktis, dan tak tergantikan.
Kapitalisme rebound memperkuat kapitalisme platform, dan kapitalisme platform menciptakan hegemoni digital yang menyelimuti kehidupan sehari-hari. Hasilnya adalah struktur kekuasaan baru yang tidak lagi berbasis pabrik dan modal industri, tetapi berbasis data, algoritma, dan perhatian manusia. Dalam tatanan ini, pengguna bukan hanya konsumen—mereka juga komoditas. Sementara itu, negara, budaya, dan generasi muda bergerak mengikuti ritme yang ditentukan oleh perusahaan platform global.
Trio ini—kapitalisme rebound, kapitalisme platform, dan hegemoni digital—membentuk wajah baru kapitalisme abad ke-21: lebih halus, lebih terselubung, tetapi lebih mengikat, dan lebih merusak daripada sebelumnya.
Sekulerisme Menguat
Platform digital raksasa kebanyakan lahir dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, yang menjadikan sekulerisme sebagai fondasi kehidupan sosial dan politik mereka. Implikasinya sebagai berikut:
Pertama, standar moral dan aturan platform mengikuti nilai para kapitalis (pemodal) dan negara asalnya. Misalnya, agama ditempatkan di ruang spriritual belaka dan dilarang masuk ruang publik, sedangkan kampanye individualisme, kebebasan tanpa batas, dan gaya hidup liberal diterima secara normal.
Kedua, platform membawa definisi tentang “konten yang layak” berdasarkan norma Barat.Ini mencakup batasan pembahasan agama dalam ruang publik dan preference pada konten non-agamais sebagai konten “aman” dan “universal”.
Ketiga, teknologi platform diposisikan sebagai “netral”, padahal sarat nilai. Desain algoritma, kebijakan moderasi konten, sampai struktur bisnisnya mencerminkan ideologi pembuatnya.
Dari sinilah penguatan sekulerisme dimulai: melalui nilai-nilai yang ditanamkan secara halus dalam arsitektur teknologi yang kini digunakan oleh miliaran manusia,terutama kaum muda-Gen Z. Platform digital bekerja dengan algoritma yang menentukan apa yang muncul di layar pengguna. Algoritma ini tidak hanya memprioritaskan konten yang disukai pengguna, tetapi juga konten yang menguntungkan secara bisnis, aman secara hukum, dan sesuai nilai perusahaan (baca kapitalis). Dalam praktiknya, algoritma memperkuat sekulerisme melalui berbagai macam cara.
Misi Penyelamatan
Misi penyelamatan generasi adalah kewajiban bagi setiap muslim. Upaya penyelamatan generasi hanya bisa terwujud dalam naungan khilafah Islam. Karena hegemnoni digital di tangan raksasa digital yang sekuler lagi rakus cuan hanya bisa dilawan oleh kedaulatan digital umat Islam yang diwujudkan oleh khilafah. Kenapa Khilafah?
Karena yang dibutuhkan umat hari ini bukan hanya pemblokiran konten-konten negatif atau berbahaya. Meski jutaan konten diblokir atau dihapus, platform digital yang berperan seperti pemilik lapak dengan algoritmanya akan terus menyuplai konten yang mengontrol perilaku umat agar makin sekuler, liberal dan adiksi terhadap gaya hidup kapitalistik. Seandainya ada platform digital baru yang algoritmanya bisa diarahkan sejalan ideologi Islam, maka bisa menjadi alternatif bagi masyarakat dunia, namun ini membutuhkan teknologi tinggi dan investasi besar.
Karena negara sekuler manapun saat ini tidak benar-benar serius menghentikan bahaya kapitalisme digital. Negara seperti Australia, Uni Eropa dan Indonesia hanya membuat peraturan mengurangi dampak negatifnya. Bukan menghentikan bahayanya. Negara saat ini hanya mewajibkan platform menyediakan fitur keamanan, melakukan verifikasi usia, hingga memblokir akses anak terhadap risiko konten berbahaya, seperti kekerasan ekstrem, pornografi, perjudian, hingga eksploitasi data anak. Itu pun dilakukan karena rakyatnya berulang protes dan negara juga kewalahan mengatasi dampaknya. Mengapa? Karena raksasa digital ini justru penyumbang pajak terbesar dan penopang utama kelangsungan kapitalisme.
Karena hanya negara khilafah lah yang mampu berinvestasi besar untuk membangun teknologi tinggi demi maslahat umat, bukan demi keuntingan segelintir kapitalis. Dari itu bisa dihasilkan paltform digital baru jika dibutuhkan yang mampu menandingi raksasa digital hari ini. Kekuatan politik yang dimiliki oleh khilafah saja yang bisa membentengi umat Islam dan manusia dari kerusakan akibat kamujuan teknologi digital.
Adalah tanggung jawab setiap muslim untuk hidup dalam kehidupan islam. Tidak hadirnya kehidupan islam menuntut amal perubahan dengan dakwah. Dalam pandangan Islam, hari ini, setiap muslim punya kewajiban yang sama untuk beraktivitas dakwah mengembalikan kehidupan islam dan mengemban dakwah islam ke seluruh alam dengan berdirinya daulah khilafah. Semua elemen umat harus berkontribusi dalam dakwah, terutama kalangan muda. Mereka punya potensi besar karena mampu memanfaatkan teknologi digital. Hanya saja butuh upaya mengaktivkan generasi muslim agar mampu berkontribusi dalam dakwah.
_“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”_ (QS. Ali Imran ayat 104)
Sifat “muflihun” dalam ayat ini merupakan pujian bagi yang muda dan yang tua, yang bersungguh-sungguh menjalankan peran politik perubahan. Ayat ini juga mengandung tuntutan untuk membentuk partai politik Islam serta tuntutan bergabungnya setiap muslim dalam partai ini untuk menjalankan amar makruf nahi munkar.
Wallahu'alam bishowab.
Tags
opini