Oleh Haura (Pegiat Literasi)
Gen Z dan Dunia Digital
Dunia Digital mulai berkembang sejak abad ke-20 dengan kemunculan komputer, namun perkembangannya semakin pesat melalui digital modern dengan hadirnya internet dan ponsel, yang kemudian meluas di era 2010-an dengan smartphone, media sosial, komputasi awan, dan kecerdasan buatan (AI) yang mengubah kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya secara fundamental terlebih selama dan pasca PANDEMI COVID 19.
Platform digital menjadi ruang dan tumpuan masyarakat modern dalam melakukan aktivitas terutama pada kalangan Gen Z, generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Sisi positif dan negatif pun hadir sebagai konsekuensi aktivisme digital saat ini.
Disadari atau tidak, platform digital menjadi bagian dalam proses pembentukan kesadaran kolektif termasuk kesadaran Gen Z. Munculnya fenomena gerakan perubahan yang dipelopori Gen Z berbasis digital seperti gerakan kemanusiaan pro Palestina, gerakan keadilan, hak asasi manusia atau pun protes iklim melalui Tik Tok, Facebook, Instagram, X/Twitter, YouTube, platform pesan seperti WhatsApp dan Telegram menjadi pemantik gerakan kolektif di dunia nyata. Demonstrasi besar-besaran di berbagai negara termasuk Indonesia pada Agustus 2025 menuntut solusi konkret demi sebuah perubahan menjadi hal positif.
Namun di sisi lain perubahan kehidupan akibat digital menyisakan banyak persoalan serius di kalangan Gen Z. Media seringkali menyuguhkan berita-berita yang menimpa gen Z, mulai korban perundungan, kekerasan seksual, judol, pinjol, pembunuhan, menderita kecemasan, depresi dan masalah kesehatan mental lainnya. Tentu, ini menjadi kekhawatiran bagi kita semua.
Sejak tahun 2016 hingga 2023, masalah kesehatan mental di kalangan remaja semakin meningkat. Sebuah survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menunjukkan sebanyak 15.5 juta atau sekitar 34.9% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Sebuah laporan hasil survei di 26 negara termasuk Indonesia Penggunaan media sosial membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Fakta dan data di atas membuktikan bahwa media digital berperan signifikan dalam memperburuk kesehatan mental generasi muda. Ini, tidak dapat dibiarkan, perlu untuk dikaji lebih mendalam dan disikapi sebab generasi muda merupakan harapan untuk sebuah perubahan dunia menuju kehidupan yang lebih mulia dengan paradigma Islam.
Hegemoni Digital
Kondisi di atas sebagai hasil dari konstelasi Sekuler Kapitalistik. Melemahnya tatanan kehidupan sekuler kapitalistik di era PANDEMI COVID 19 akibat resesi dan PHK masal tidak lantas membuat Kapitalisme mati. Pasca PANDEMI COVID 19 Kapitalisme kembali bangkit dengan tampilan baru yang lebih menawan bahkan berkembang pesat mengadopsi teknologi digital. Inilah kapitalisme platform yang melahirkan e-commerce, ride hilling, digital entertainment, social networking, yang dikuasai perusahan-perusahan besar, dengan monopoli, mengendalikan infrastruktur digital yang menyokong aktivitas ekonomi global.
Dengan kecanggihan teknologi, perusahaan-perusahaan besar berbasis pasar digital seperti Shopee, TikTok, Tokopedia, berbasis layanan transportasi dan jasa seperti grab, gojek, uber, maxim, berbasis hiburan seperti youtube, netflix, roblox, mobile legend atau berbasis jejaring sosial seperti Meta, Google, menjadikan data, algoritma dan jaringan pengguna sebagai kekuatan dalam meraup keuntungan.
Platform digital menjadi aktor ekonomi paling kuat sebab menguasai infrastruktur digital yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, tidak sekedar menjual layanan dan jasa, tetapi juga mengatur cara orang bersosialisasi, berbelanja, bekerja dan bahkan berpikir. Platform digital mendominasi kehidupan masyarakat. Dominasi inilah melahirkan hegemoni digital.
Algoritma digital menjadi gawang tersembunyi untuk menciptakan standarisasi. Algoritma menentukan arah, minat, gaya, perhatian dan pembicaraan yang dianggap viral dan tren sehingga mampu menghipnotis manusia, hadirnya tren menciptakan ketakutan ketika ketinggalan tren atau dikenal dengan istilah FOMO. Akibatnya manusia menjadi haus validasi terlebih Gen Z, di mana identitas diri menjadi penting bagi mereka.
Algoritma memproses data pengguna platform, menyesuaikan preferensinya sehingga memperkuat pandangan dan nilai-nilai yang sudah ada. Jika pandangan yang dominan adalah konsumerisme, pengguna akan terus melihat konten yang mendukungnya, seperti iklan-iklan produk dan merek yang diperjualbelikan untuk memperkuat hegemoni digital tersebut.
Kapitalisme neo liberalis menguasai dunia tidak saja berbasis pabrik dan modal industri, tetapi juga berbasis data, algoritma, minat dan atensi manusia. Digital kapitalisme mengerahkan segala bentuk potensi manusia demi profit dan penguasaan ekonomi global.
Cengkeraman Sekularisme semakin Kuat
Sekularisme sebagai dasar pijakan kapitalisasi plaform menjadikan masyarakat betah berjam-jam di hadapan platform digital berselancar menyaksikan konten-konten yang dituntun algoritma.
Algoritma dengan mudah mengalihkan pandangan manusia secara halus kepada standarisasi yang dibuat oleh para kapitalis dengan nilai-nilai liberalis, hedonis serta konsumtif yang berasal dari Barat -penjajah-. Standar nilai inilah yang kemudian diadopsi masyarakat dalam kehidupan tanpa mempertimbangkan aspek agama.
Tidak hanya itu, sebagai upaya penguatan nilai sekuler, algoritma juga membentuk pengguna dengan kepribadian individualistik, narsistik, materialistik, platform digital khususnya medsos sangat memungkinkan pengguna menilai kelayakan versi dirinya sendri meski itu tidak sesuai dengan dunia nyata dan semua itu diukur dari materi sebagai pendukungnya.
Itulah yang dikehendaki pengemban sekulerisme kapitalis bahwa standar kehidupan berdasar pada konten-konten platform digital yang disediakan para kapital dan disukai pengguna terutama kalangan Gen Z, yang jelas menguntungkan secara bisnis.
Untuk mengokohkan tatanan sekuler kapitalistiknya, algoritma mampu membaca data yang memuat kata atau narasi yang kurang menguntungkan mereka, seperti mengkatagorikan konten yang berkaitan dengan Islam politik sebagai konten yang tidak layak sehingga harus dibatasi atau ditakedown. Algoritma dengan sistem shadowban mampu mendeteksi konten-konten politik Islam dan melabelinya dengan sebutan ekstrimis. Tidak sedikit opini atau tulisan-tulisan ilmiah yang berkaitan dengan politik Islam sulit ditemukan meskipun dalam headlinenya masih bisa terbaca.
Platform digital kapitalisme dengan suport data dan algoritma berhasil menjadi pemandu bahkan pengasuh generasi muslim. Mekanisme ini dapat mempercepat bergesernya pemikiran Islam di benak generasi muslim.
Hegemoni digital telah mengeksploitasi segala bentuk potensi generasi muslim sehingga menjauhkan generasi muslim dari kepribadian Islam karena pola pikir dan pola sikapnya terkungkung dalam pusaran pemikiran sekuler kapitalistik. Berdasarkan data BPS per Agustus 2023 ada sekitar 9,9 juta Gen Z usia 15 - 24 tahun yang tidak bekerja dan sekolah, mereka menghabiskan 60℅ waktunya di hadapan digital untuk bermain video game, medsos dan streaming video.
Tentu ini menjadi tantangan. Namun sebagai kaum muslim kita harus optimis, dibalik tantangan ada kemudahan. Melihat fenomena aktivisme Gen Z beberapa waku lalu menunjukan bahwa Gen Z mempunyai kepedulian terhadap persoalan kemanusian, keadilan, moral, politik, sosial yang menuntut perubahan.
Aktivisme Platform digital mampu mengantarkan Gen Z pada sebuah kesadaran atas ketidakadilan ketimpangan, ketidakmanusiaan, kerakusan serta nilai-nilai negatif lainnya. Ini menjadi energi positif bagi sebuah misi perubahan hakiki, lalu bagaimana mengembalikan identitas diri generasi muslim dan menuntun aktivisme mereka pada jalan perubahan yang sahih?
Harus Diselamatkan
Memang benar, saat ini kaum muslim belum memiliki kekuatan teknologi digital, secara global kekuatan tersebut dimiliki pengemban ideologi sekuler kapitalis, karenanya kebutuhan terhadap sistem yang mampu menandingi kekuatan teknologi digital kapitalisme adalah kemestian.
Sebuah sistem yang dapat berperan terhadap pembanguan teknologi canggih untuk kemaslahatan umat bukan semata meraih keuntungan demi kepentingan pribadi dan sekelompok orang. Sistem itu adalah khilafah.
Khilafah dengan desain algoritma digital tidak sekedar mampu memblokir situs atau konten yang syarat nilai sekuler kapitalis namun juga berkewajiban menyediakan platform digital Islam sebagai supporting system dalam membina generasi muslim dengan paradigma Islam dan menyebar luaskan dakwah Islam.
Karena itu, menyelamatkan generasi muslim, Gen Z yang terpapar raksasa digital kapitalisme adalah tugas kita bersama sebab kaum Muslim memiliki kewajiban yang sama untuk mengemban dakwah.
Dengan berpedoman pada metode dakwah Rasulullah SAW, beliau membina umat dengan qiyadah fikriyah Islam dan penerapan hukum syara’. Dakwah Rasulullah tidak hanya diterima kalangan dewasa tetapi juga mudah diterima kalangan muda seperti Ali bin Abi thalib, Zubairbin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Arqom bin Abi Arqim, Sa'ad bin Abi Waqos, Ja'far bin Abi Thalib menjadi bagian Assabiqunal Awwalun padahal usianya masih dibawah 17 tahun.
Hal pokok yang menjadi pencapaian dakwah Rasulullah SAW di tengah kehidupan jahiliyah adalah menggabungkan para pemuda kepada kutlah jamaah. Para sahabat muda dibina dan dididik dengan pemahaman Islam, membentuk pola pikir dan pola sikap dengan kepribadian takwa, berkarakter kuat dalam amar makruf nahi munkar. Dalam waktu singkat para sahabat muda menjadi bagian dalam proses perubahan dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan Islam.
Metode dakwah Rasulullah haruslah menjadi strategi dalam menuntun generasi muda, mengajak, membina dan menyatukan dua hati generasi, tua dan muda. Dengan dukungan teknologi digital, kontinuitas dan stabilitas dakwah tidak ada yang mustahil, Gen Z mampu melebur dalam kutlah jamaah dan menjadi aktor gerakan perubahan.
Wallahu a'lam.
Tags
opini