Oleh: Rifdah Reza R., S.Sos., M.I.Kom.
Pada 8 Desember 2025 Pengurus gabungan Wanita (GOW) Kabupaten Purwakarta periode 2025-2030 resmi dilantik. Prosesi pelantikan bertepatan dengan Peringatan hari Ibu Nasional serta rangkaian peringatan HUT GOW ke-73 dan HUT Dharma Wanita Persatuan (DWP) ke-26. Dengan tema “Indung Nunggul Rahayu Anu Nebarkeun Kaheman, Ngamparkeun Kanyaah”, acara ini dikatakan menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali peran perempuan Purwakarta sebagai sumber kasih, kekuatan, dan keteladanan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. (almuhajirin.co.id, 8/12/2025).
Peringatan Hari Ibu Nasional 2025 juga menjadi momen meneruskan semangat perjuangan perempuan dan menerapkan prinsip “Equal Partnership” untuk mencapai Indonesia yang lebih maju. “Perempuan mengisi hampir setengah dari populasi Indonesia, dan kemajuan perempuan akan berpengaruh besar terhadap kemajuan negara.” (mediainvestigasimabes.co.id, 8/12/2025)
Dorongan terhadap keterlibatan perempuan pada sektor pembangunan bukanlah menjadi fenomena di kancah lokal saja, tetapi sudah menjadi narasi global pembangunan modern yang melihat bahwa perempuan sebagai kunci bagi keberhasilan program sosial, ekonomi, hingga stabilitas masyarakat. Perempuan sering diposisikan sebagai agen perubahan sosial yang dianggap lebih adaptif, kolaboratif, serta mempunyai modal sosial yang tinggi. Dengan itu kehadiran perempuan dinilai strategis dalam upaya menopang pembangunan berkelanjutan.
Pemberdayaan Tidak Pernah Netral
Di balik narasi pemberdayaan di atas terdapat paradigma yang sering luput dari kritis masyarakat, yaitu paradigma sekuler kapitalisme yang berjalan dengan halus dalam menciptakan framing peran perempuan itu sendiri. Sistem kapitalisme memandang bahwa manusia termasuk perempuan berdasarkan asas manfaat dan produktivitas semata. Hal ini melahirkan peran perempuan yang diarahkan pada upaya mendukung stabilitas sosial, efisiensi pembangunan, dan keberlanjutan ekonomi. Dalam hal ini, pemberdayaan dilakukan tidak untuk membentuk arah peradaban, tetapi untuk memastikan sistem tetap berjalan dengan dukungan aktor sosial yang efektif.
Alih-alih menghasilkan perubahan hakiki, peran perempuan dalam sistem kapitalisme ini justru berpeluang untuk memperkokoh agenda kapitalisme. Perempuan didorong untuk aktif di ruang publik, sosial, dan ekonomi, namun di sisi lain perempuan di dalamnya justru tidak sedikit mendapatkan eksploitasi kerja dan emosi sosial yang tiada surut.
Hal itu ditopang oleh problematika paling pokok dari pemberdayaan perempuan, yaitu absennya tujuan ideologis yang jelas. Sistem kapitalisme tidak mengenal visi peradaban yang sepenuhnya dan utama. Dengan itu, peran perempuan berhenti pada target pragmatis yang hanya sebatas peningkatan partisipasi, kesejahteraan material, dan stabilitas sosial.
Maka, tak kaget perempuan pun kosong dari arah menuju pembangunan peradaban Islam. Sebab, seluruh agenda dibuat untuk sekadar memenuhi kepentingan kapitalis, jauh dari menciptakan masyarakat yang berlandaskan nilai ilahiyah. Sekularisme dengan pemisahan agama dari kehidupannya membuat perempuan terombang-ambing tanpa landasan kokoh dan akhirnya menjadi mesin yang tinggal menunggu meledak.
Perempuan dalam Konstruksi Islam adalah Subjek Peradaban
Islam memposisikan perempuan secara fundamental berbeda tentunya dengan kapitalisme. hal ini dapat dilihat dengan diposisikannya perempuan sebagai pelaku pembangunan peradaban, jauh dari kebiasaan kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai alat. Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba Allah dan keduanya sama-sama dibebani tanggung jawab syariat.
Perempuan berperan sebagai ummu wa rabbatul bait dalam membangun generasi, sebagai anggota masyarakat yang wajib di dalamnya menuntut ilmu serta berdakwah amar makruf nahi mungkar. Tak hanya itu, perempuan pun mempunyai peran strategis dalam kehidupan sosial dan negara sesuai ketentuan Islam.
Dalam Islam keterlibatan perempuan di ruang publik mulai dari pendidik, tenaga kesehatan, pendakwah, dan lain sebagainya bukan menjadi bentuk kompromi pada tuntutan zaman. Hal itu adalah bagian dari pelaksanaan kewajiban syariat yaitu seluruh peran tersebut dijalankan dalam kerangka ideologi Islam dengan menjaga akidah, menegakkan keadilan, serta membangun masyarakat yang taat pada aturan Allah.
Berbanding terbalik dengan kapitalisme yang terikat oleh kepentingan pasar, perempuan dalam Islam tidak boleh bergeser dari aturan dan tujuan Islam itu sendiri. Maka, aktivitas perempuan baik pada aspek domestik, sosial, hingga negara haruslah selaras dengan syariat. Itulah yang menjadikan kontribusi perempuan tak sebatas berdampak sosial, melainkan pun mengantarkan pada kebermanfaatan umat dan terciptanya peradaban Islam yang kokoh.
Hendaknya kita memahami dan membaca ulang dengan kritis. Pemberdayaan di sistem kapitalis terlihat amat ramah dan tidak bisa dibaca dengan polos sebagai kebaikan netral yang bebas kepentingan. Di sini pemberdayaan justru sering kali menjadi bahasa yang amat halus dan lihai dalam memobilisasi peran perempuan demi menopang keberlangsungan sistem.
Perlu perubahan paradigma ideologis, yaitu pemberdayaan yang menciptakan perempuan aktif tetapi tidak dikurung oleh tujuan kapital. Islam menawarkan jalan yang berbeda, yaitu memuliakan perempuan dengan memposisikannya sebagai subjek ideologis dan penentu arah peradaban.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani bahwa perubahan hakiki tidaklah tercipta dari aktivitas parsial yang bergerak dalam sistem rusak, melainkan dari perubahan mendasar atas akidah yang melahirkan sistem kehidupan. Selama peran perempuan hanya diarahkan pada penguatan bangunan kapitalisme, di titik itu pula tidak akan tercipta pemulihan, melainkan hanyalah mobilisasi.
Lantas, tidakkah kita sadar, ketika pemberdayaan tidak menyentuh akar ideologi, yang bekerja di baliknya bukan perubahan, melainkan kepentingan sistem?
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
opini