Deretan Bencana Mendera, Benarkah Akibat Faktor Alam Semata?




Oleh: Rus Ummu Nahla


Berbagai wilayah di Indonesia kembali diterjang bencana akibat cuaca ekstrem. Di Sulawesi Tengah, tiga kabupaten—Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol—mengalami banjir, angin puting beliung, serta abrasi pantai hanya dalam dua hari terakhir. Di Sumatera Barat, lima kecamatan di Kabupaten Agam terdampak banjir bandang, longsor, pohon tumbang, hingga ruas jalan yang amblas setelah hujan deras mengguyur tanpa henti. Kondisi serupa juga terjadi di Padang Pariaman yang mencatat banyak titik banjir dan longsor, membuat warga terisolasi dan aktivitas masyarakat lumpuh. Sementara itu, Aceh pun tak luput dari bencana, menunjukkan bahwa cuaca ekstrem memicu rangkaian kejadian hampir bersamaan di berbagai provinsi.
(CNN Indonesia, 23/11/2025)

Tak lama berselang, banjir bandang dan tanah longsor kembali menghantam sejumlah daerah di Sumatera Utara, mulai dari Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, hingga Kota Sibolga. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sementara jumlah korban jiwa terus bertambah. BNPB mencatat terdapat 2.851 warga yang mengungsi sejak bencana terjadi pada 24 November lalu, dan hingga kini 19 orang dinyatakan meninggal dunia di berbagai titik terdampak. Bencana kali ini diperkuat oleh cuaca ekstrem akibat pengaruh Siklon Tropis KOTO dan bibit siklon 95B di Selat Malaka yang memicu hujan sangat lebat serta angin kencang.
(BNPB)

Namun menurut para pemerhati lingkungan, persoalan banjir tidak bisa dipandang sebagai fenomena alam semata. Kerusakan hutan akibat penebangan liar secara masif dan aktivitas pertambangan emas yang beroperasi di kawasan tersebut turut memperparah keadaan. Hal ini semakin dikuatkan oleh beredarnya video yang memperlihatkan kayu-kayu gelondongan ikut hanyut terseret arus saat banjir bandang terjadi.

Jelaslah bahwa rangkaian bencana ini bukan sekadar akibat cuaca ekstrem. Ada kombinasi tekanan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, dan lemahnya tata kelola lingkungan. Indonesia memang kerap menjadi langganan banjir, dan penyebabnya telah berulang kali dipetakan. Namun kerusakan hutan akibat penebangan dan pertambangan terus berulang, seakan dianggap wajar demi kepentingan pembangunan. Padahal pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan justru menghadirkan kerusakan lebih besar: tanah kehilangan daya serap, hutan tak lagi melindungi daerah aliran sungai, dan alam tidak mendapat waktu untuk memulihkan diri. Akibatnya, hujan yang seharusnya bisa tertangani berubah menjadi banjir dan longsor. 
Hal ini sekaligus mengkonfirmasi kuatnya arus kapitalisme di negeri ini. Negara seolah tak berdaya, menghadapi pengusaha rakus sehingga secara tidak langsung rakyat  menjadi korban. Dengan kata lain, negara dengan sistem kapitalisme menjadi penyebab jatuhnya korban bencana alam tersebut. 
Alhasil biang masalahnya adalah sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara.


Islam Mampu Mengatasi  Bencana

Dalam pandangan Islam, negara adalah râ‘in (pengurus) sekaligus junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Negara wajib menjaga keselamatan manusia sekaligus melindungi kelestarian alam. Keduanya menjadi prioritas utama, bukan malah dikorbankan demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Karena itu, dalam sistem Islam, bencana tidak dipandang sekadar peristiwa alam yang selesai setelah bantuan darurat disalurkan. Dalam Islam, bencana adalah dharar (bahaya) yang wajib dicegah sejak awal. Negara berkewajiban menyusun mitigasi yang sempurna, terencana, dan berkelanjutan agar bencana tidak terus berulang. 
Negara dalam sistem Islam (Khilafah)  akan menerapkan cara-cara sebagai berikut:

Pertama, menjaga ekosistem agar tetap berada dalam batas ketahanan alami (resilient threshold). Negara akan membatasi eksploitasi sumber daya, melarang penebangan liar, memperketat pengelolaan limbah tambang, serta melindungi kawasan penyangga. Infrastruktur pengendali banjir seperti kanal, bendungan, dan sistem drainase dibangun dengan perencanaan matang. Kawasan himâ atau zona lindung ditetapkan untuk mencegah eksploitasi yang merusak.

Kedua, negara menetapkan tata ruang berbasis zonasi ketat. Pemukiman tidak boleh dibangun di wilayah rawan banjir, daerah aliran sungai, atau kawasan hulu. Setiap pembangunan diwajibkan mengikuti regulasi yang menjaga daya serap tanah.

Ketiga, negara mengelola tambang sebagai milik umum (milkiyah ‘ammah). Aktivitas pertambangan diarahkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan investor. Kajian lingkungan dilakukan secara ketat, batas aman ditetapkan, dan wilayah berisiko dihindari. Dengan demikian, pemanfaatan kekayaan alam tidak merusak ekosistem.

Keempat, negara menegakkan sanksi tegas bagi pihak yang merusak lingkungan. Penegakan hukum menjadi pilar penting agar kerusakan tidak berulang dan bencana dapat diminimalkan.

Selain itu, dalam penanganan bencana, negara dengan sistem Islam ( Khilafah)  memiliki lembaga khusus yang selalu siaga untuk memastikan proses evakuasi, pemberian bantuan, hingga pemulihan berjalan cepat dan manusiawi. Seluruh kebutuhan dasar korban dipenuhi tanpa syarat.

Inilah gambaran bagaimana negara Khilafah menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat: menjaga alam, meminimalkan risiko bencana, dan menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama. Dengan pengelolaan yang benar, bencana dapat dicegah, atau setidaknya dampaknya tidak sebesar yang kita saksikan hari ini.

Wallâhu a‘lam bish-shawâb.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak