Ummu Aqeela
Maraknya penggunaan pinjaman online (pinjol) dan perjudian daring (judol) di kalangan generasi Milenial dan Gen Z telah menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan. Fenomena ini menunjukkan tren gaya hidup instan yang berisiko menjerumuskan anak muda pada jeratan utang dan ketergantungan perilaku konsumtif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti tingginya tingkat kredit macet peminjam dana (borrower) di industri pinjaman online (pinjol) yang usianya kurang dari 19 tahun. Berdasarkan statistik OJK, pinjaman perseorangan macet lebih dari 90 hari untuk peminjam usia di bawah 19 tahun melonjak 763% year on year (YoY) pada Juni 2025.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya OJK Agusman lonjakan itu disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan. “Peningkatan kredit macet pada borrower di bawah 19 tahun antara lain disebabkan oleh rendahnya literasi dan kesadaran pengelolaan keuangan di kalangan generasi muda,” ungkapnya dalam lembar jawaban RDK Oktober 2025, dikutip Rabu (26/11/2025).
Saat ini pnjol dan judol sebagai “duet maut” memanfaatkan kerentanan generasi muda melalui akses cepat, bersifat privat, serta bunga tinggi yang mendorong utang tak terkendali. Kombinasi keduanya menciptakan siklus berbahaya yang menjerat anak muda dalam tekanan finansial dan psikologis yang semakin berat. Risiko seperti utang menumpuk, gangguan mental, kecanduan, hingga pelanggaran privasi menjadikan fenomena ini sebagai ancaman sosial dan ekonomi yang serius.
Berbagai masalah yang dialami Gen Z adalah dampak dari sistem demokrasi kapitalisme yang banyak melahirkan aturan rusak. Generasi muda kehilangan identitas diri dan tujuan hidupnya sehingga melahirkan tingkah laku dan pola pikir yang jauh dari islam. Kehidupan kapitalis membuat Gen Z lupa akan tujuan penciptaannya, mereka disibukkan untuk mencari materi dan kesenangan sesaat.
Di sisi lain, sistem ini membuat negara lepas tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan generasi muda. Sedikitnya peluang pekerjaan yang diberikan oleh negara serta biaya pendidikan yang mahal lagi-lagi mengurangi kesempatan generasi dalam mengoptimalkan potensinya. Alhasil, Gen Z malah mengalihkan potensinya pada pekerjaan yang haram seperti judi online.
Maka sudah jelas bahwa sistem ini memandulkan potensi generasi muda sebagai agen perubahan, termasuk membangun sistem kehidupan yang shahih. Demokrasi menjauhkan Gen Z dari perubahan hakiki dengan Islam kaffah, padahal hanya dengan sistem Islam generasi dan umat manusia akan selamat.
Ditambah lagi pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini, semakin memperparah keadaan. Agama hanya diajarkan sebatas teori, tanpa membentuk kesadaran iman dalam diri para generasi. Akibatnya, mereka tidak memiliki arah berpikir yang jelas tentang tujuan hidupnya. Mereka pandai berhitung dan berlogika, namun tidak paham makna halal-haram perbuatannya. Ketika dihadapkan pada pilihan dosa atau kesenangan duniawi, mereka mudah tergoda karena tak memiliki landasan ideologis yang kuat.
Solusi yang selama ini ditawarkan negara, seperti literasi digital dan pendidikan karakter, terbukti tidak menyentuh akar masalah. Literasi digital hanya mengajarkan cara menggunakan internet dengan aman, bukan mengapa sesuatu itu salah menurut pandangan hidup islan. Pendidikan karakter pun gagal membentuk kepribadian, karena tidak bertumpu pada nilai transendental. Dalam sistem sekuler, karakter diukur berdasarkan norma sosial, bukan akidah. Maka nilai bisa berubah sesuai selera zaman dan hawa nafsu mereka.
Oleh karena itu, solusi tuntas terhadap maraknya kasus Gen Z terjerat pinjol dan judol bukanlah sekadar peningkatan literasi atau penegakan hukum yang tambal sulam. Solusinya adalah perubahan sistemik menuju sistem pendidikan dan pemerintahan yang berlandaskan Islam. Pendidikan harus menanamkan nilai akidah sebagai dasar berpikir, sementara negara harus berperan aktif menutup semua akses kemaksiatan serta menegakkan hukum Allah terhadap para pelakunya.
Generasi muda adalah aset bangsa, bukan korban sistem untuk meraih keuntungan. Mereka membutuhkan lingkungan yang membimbing, bukan menjerumuskan. Mereka harus tumbuh dengan keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah melalui jalan halal, bukan dari spekulasi dan dosa. Ketika negara kembali menegakkan hukum Islam secara kaffah, barulah akan lahir generasi yang tidak mudah terjebak pada pinjol dan judol, karena mereka memiliki keteguhan iman dan arah hidup yang jelas.
Hari ini, kasus pelajar yang terjerat pinjol dan judol adalah alarm keras bagi bangsa ini. Ia menunjukkan bahwa sistem pendidikan sekuler dan sistem kapitalistik yang diterapkan telah gagal melindungi generasi masa depan. Sudah saatnya umat kembali pada Islam, bukan sekadar sebagai agama ritual, tetapi sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh solusi semua permasalahan.
Wallahu’alam bishowab.
