Oleh ; Ummu Fahmi
Perundungan anak kian biadab, seorang remaja di Garut ditemukan tewas, diduga usai dibully teman sekelas karena melaporkan aksi ngevape. Tragisnya, korban sempat ditangani psikolog dari pemkab Garut, namun nyawanya tak terselamatkan. Sistem sekuler telah ambruk, menciptakan generasi tanpa moral, tanpa empati. (detik.com, 17-07-2025).
Islam, dengan nilai akhlak mulia menawarkan revolusi moral untuk menyelamatkan masa depan generasi penerus.
Perundungan anak bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan fenomena gunung es yang mencerminkan krisis sosial dan moral yang lebih mendalam. Jumlah kasus melonjak setiap tahun, dengan tindakan yang kian bar-bar dari kenakalan biasa hingga tindakan kriminal yang mematikan.
Fenomena ini menyikap kebobrokan regulasi dan rapuhnya sistem sanksi. Hukuman pidana, seperti penjara atau denda, gagal menciptakan efek jera, sebagaimana terbukti dari maraknya pelanggaran. Lebih ironis lagi, undang-undang yang melindungi pelaku di bawah 18 tahun dan belum menikah justru memungkinkan mereka mengelak dari tanggung jawab hukum, memicu epidemi perundungan.
Lebih jauh lagi, fenomena perundungan anak mengungkap kegagalan sistem pendidikan yang abai menanamkan akidah dan akhlak mulia.
Kurangnya pendidikan karakter yang berbasis akhlak mulia. Sistem pendidikan seharusnya mencetak generasi yang beriman, beradab dan berilmu. Namun nyatanya hari ini justru generasi yang hadir dari sistem ini menjadi pelaku kriminal. Anak-anak mudah, dan tanpa merasa berdosa melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya bahkan menghilangkan nyawa. Pembentukan perilaku bullying memang benar bahwa berpengaruh besar dari keluarga dan lingkungan. Namun perlu diperhatikan ini hanyalah dampak dari penerapan sistem kehidupan yang tidak sesuai fitrah manusia.
Hal ini merupakan buah busuk dari penerapan sistem kehidupan yang sekuler-kapitalistik.
Sekularisme memisahkan setiap lini kehidupan dari ajaran agama. Ketidak hadiran nilai-nilai Islam yang terintegrasi menyebabkan degradasi moral yang tak terelakkan. Dengan sistem ini umat termasuk para remaja, tanpa rasa takut melakukan kekerasan yang mematikan dan mengabaikan pertanggungjawaban akhirat. Definisi “anak” dalam hukum, tidak selaras dengan tanggung jawab individu, hanya memperburuk masalah. Perubahan sebatas regulasi atan sanksi berat tidak cukup, sebab kasus terus berulang. Dibutuhkan paradigma kehidupan yang mendasar, berpijak pada sistem Islam yang sahih.
Dalam Islam perundungan fisik, verbal, maupun melalui barang diharamkan. Rasulullah saw bersabda :“ Sesama muslimah adalah bersaudara tidak boleh saling mendzolimi, mencibir atau merendahkan. Ketaqwaan itu sesungguhnya di sini,” sambil menunjuk dada dan diucapkan tida kali. (Rasul melanjutkan) : “ seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara Muslim.
Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya dan kehormatannya" (HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad). Islam mengajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Islam menjadikan baligh sebagai titik awal pertanggungjawaban seorang manusia dari Ali bin abi thalib r.a bahwa Nabi SAW bersabda, “Diangkat pena (taklif syariah) dari tiga golongan: dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil dia mimpi basah (ihtilaam), dari orang gila hingga dia sehat akalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Islam memiliki mekanisme untuk menanamkan konsep ini dalam pikiran generasi, menghasilkan perbuatan sesuai nilai-nilai Islam.
Wallahu a'lam bisshawab
Tags
opini
