NORMALISASI UNTUK MELANGGENGKAN EKSISTENSI



 
                       Ummu Aqeela
 
Kazakhstan akan bergabung dengan Perjanjian Abraham (Abraham Accords) atau perjanjian normalisasi dengan Israel. Pengumuman tersebut menjadi simbolis mengingat hubungan yang telah ada antara Kazakhstan dan Tel Aviv selama lebih dari 33 tahun.
Pengumuman bergabungnya Kazakhstan dengan Perjanjian Abraham diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam Truth Social pada Kamis (6/11/2025), seperti dilansir Reuters.
 
Pemerintah Kazakhstan dalam pernyataannya mengatakan langkah ini merupakan "kelanjutan yang wajar dan logis" dari kebijakan luar negerinya. "Keikutsertaan kami yang akan datang dalam Perjanjian Abraham merupakan kelanjutan yang wajar dan logis dari kebijakan luar negeri Kazakhstan yang didasarkan pada dialog, saling menghormati, dan stabilitas regional," kata pemerintah Kazakhstan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Aljazeera, Jumat (7/11/2025).

Perjanjian Abraham merupakan serangkaian perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dengan sejumlah negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan yang diteken pada pertengahan 2020. Perjanjian ini dianggap sebagai normalisasi Arab-Israel pertama yang terbuka pada abad ke-21.
Para perancangnya menamai Perjanjian Abraham untuk mengekspresikan, menurut pendapat mereka, hubungan antara Yahudi dan Arab karena memiliki nenek moyang yang sama, Nabi Ibrahim AS. Perjanjian Abraham ditandatangani pada 15 September 2020 di Gedung Putih antara Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel dengan mediasi Amerika Serikat.
 
Sejatinya, salah satu kepentingan AS atas negara-negara Arab adalah mempertahankan eksistensi Zion*s dan itu menjadi prioritas pemerintahan AS siapa pun presidennya baik dari Partai Demokrat atau Partai Republik tidak ada bedanya. “Zion*s Yahudi adalah negara periferal yang paling berbeda di kawasan Timur Tengah, sehingga penerimaan Yahudi sebagai bentuk negara di tengah-tengah negeri-negeri muslim sangat penting. Institusi Zion*s Yahudi hadir dengan konspirasi dunia internasional. Mereka berupaya untuk mendapatkan diplomasi tertinggi. Pengakuan ini penting di mata AS agar Zion*s dapat diterima di kawasan Arab yang akan dilanjutkan dengan normalisasi.
 
Ditambah lagi dengan pemimpin negeri-negeri muslim saat ini hanya bisa mengeluarkan kecaman kepada institusi Zion*s Yahudi tanpa menghentikan kebiadaban mereka. Lalu, seberapa banyak lagi korban yang dibutuhkan untuk bisa mengetuk hati para pemimpin dunia Islam? Harus seberapa kejam lagi Zion*s Yahudi sehingga membuat para pemimpin umat Islam, khususnya di kawasan Timur Tengah bisa bergerak membantu saudara-saudaranya di Palestina dengan bantuan yang nyata?
Padahal, bantuan kemanusiaan yang ada adalah bantuan yang bisa mengurangi penderitaan, tetapi tidak bisa menghentikan dan menyelesaikan masalah di Palestina.
 
 
Kita perlu tegaskan, bagi kita Palestina bukan semata persoalan kemanusiaan, tetapi persoalan agama. Sebabnya, berdasarkan syariah Islam, kaum Muslim tidak boleh  membiarkan pembantaian umat Islam dimana pun, termasuk di Palestina. Haram membiarkan pengusiran kaum Muslim dari tanahnya sendiri, membiarkan penghancuran rumah-rumah tempat tinggal masyarakat, termasuk rumah sakit dan sekolah sekolah. Dalam Islam ada kewajiban tegas untuk mempertahankan tanahnya sendiri dan membebaskan saudara-saudaranya yang ditindas.
 
Berdasarkan ajaran Islam, masalah Palestina merupakan masalah agama, karena umat Islam merupakan umat yang satu. Menyakiti satu bagi-an dari tubuh umat ini berarti menyakiti tubuh umat yang lainnya. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Mukmin itu, dalam hal saling mencintai, menyayangi dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Jika ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim).
 
Sesungguhnya akar persoalan Palestina adalah penjajahan yang dilakukan oleh entitas penjajah Yahudi terhadap tanah kaum Muslim. Untuk itu solusi ini hanya bisa diselesaikan dengan mengusir dan melenyapkan entitas penjajah Yahudi ini dari Bumi Palestina. Untuk itu jihad fi sabilillah adalah kewajiban syariah Islam. Namun, perlu juga kita pahami bahwa yang dihadapi oleh umat Islam terkait Palestina ini bukanlah hanya entitas penjajah Yahudi dengan jumlah pendudukan sekitar 7 juta orang, tetapi juga negara-negara imperialis Barat seperti Inggris yang melahirkannya dan Amerika Serikat yang kokoh untuk menjaganya.
 
Ditambah lagi dengan para penguasa Dunia Islam, terutama penguasa Arab. Mereka justru menjaga eksistensi penjajah Yahudi ini dengan normalisasi. Mereka secara politik juga enggan menggerakkan tentara-tentara kaum Muslim. Di sinilah letak penting mengapa kita harus memperjuangkan Kembali Khilafah Islam ‘alaa minhaaj an-nubuwwah. Kekuatan politik Islam global inilah yang akan mampu menghadapi kekuatan global Barat dan mencampakkan para penguasa pengkhianat di negeri Islam. Dan pada akhirnya, Khilafahlah yang akan menggerakan tentara-tentara di negeri-negeri Islam untuk membebaskan tanah Palestina, sehingga penjajah yang selama ini membayangi bisa enyah dari negeri yang diberkahi.
 
Wallahu’alam bish-showab.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak