DAYA BELI RAPUH, EKONOMI UMAT MULAI RUNTUH



 
                       Ummu Aqeela
 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III tahun 2025 memang terlihat manis di angka 5,04% (year-on-year). Sebuah capaian yang sekilas memberi kesan bahwa ekonomi kita sedang berada di jalur pemulihan yang kokoh. 
Namun, di balik angka itu, terdapat kisah yang jauh lebih kompleks. Mesin utama penggerak ekonomi nasional, yaitu konsumsi rumah tangga, justru menunjukkan tanda-tanda kehilangan tenaga. Pertumbuhannya hanya 4,89% (year-on-year)—terendah dalam 13 tahun terakhir jika mengesampingkan masa pandemi.
 
Mari tengok ke belakang. Pada periode 2011–2019, sebelum Covid-19 melanda, rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Triwulan III mencapai 5,1%. Artinya, setelah empat tahun pandemi berakhir, daya beli masyarakat Indonesia belum juga kembali ke jalur normalnya. Masyarakat masih menahan belanja, bukan karena tidak mau, tetapi karena memang tidak mampu. 
Daya beli yang menurun ini adalah cermin nyata bahwa pemulihan ekonomi belum benar-benar menyentuh lapisan bawah dan menengah—mereka yang selama ini menjadi tulang punggung permintaan domestik.
 
Rendahnya konsumsi rumah tangga merupakan potret nyata pelemahan kesejahteraan yang dialami jutaan keluarga Indonesia. Inflasi pangan yang belum terkendali sepenuhnya, stagnasi upah riil, hingga sulitnya memperoleh pekerjaan menekan kemampuan masyarakat untuk berbelanja. Pemerintah mungkin puas dengan capaian pertumbuhan makro, tetapi masyarakat di lapangan merasakan sesuatu yang sangat berbeda.
 
Indikator lain yang memperkuat gambaran suram ini adalah masih berlanjutnya peristiwa pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada Juli, Agustus, dan September 2025 saja, terjadi PHK terhadap 3.041 orang. Secara kumulatif sejak Januari, jumlahnya mencapai 45.426 orang. Angka ini menandakan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi, pasar tenaga kerja belum pulih. Ketika lapangan kerja belum sepenuhnya kembali, daya beli masyarakat pun sulit bangkit. (Inilah.com, 12 November 2025)
 
Penurunan daya beli konsumen akan terus terjadi, karena beban secara fiskal dialami masyarakat middle income semakin berat. Tersebab, persaingan yang tidak sehat terus terjadi, produk luar negeri semakin banyak di pasaran dengan harga lebih murah dari produk lokal. Dengan demikian, penurunan daya beli masyarakat, bukan hanya mengancam UMKM saja, namun masyarakat secara umum dan kelompok menengah ke bawah adalah golongan yang rentan terdegradasi, dan kondisi ini sudah terjadi saat ini. Pada akhinya rakyat kecil selalu menjadi korban kedzaliman para penguasa dan pengusaha.
 
Sejatinya, sistem ekonomi kapitalisme menjadi penyebab berbagai krisis di negeri ini. Keserakahan kapitalisme telah melahirkan berbagai macam kezaliman terstruktur dikarenakan kapitalisasi aset publik. Dampaknya pun nyata dapat dirasakan dan dilihat, seperti pengangguran, kemiskinan ekstrem, kebangkrutan, ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, kesulitan hidup dan lainnya.
 
Sehingga jelas, bahwa penurunan daya beli masyarakat bukan karena kalah bersaing antara UMKM dan juga para pelaku IKM, akan tetapi karena penguasa berpihak kepada segelintir orang yang bernama kaum oligarki. Sehingga para pemodal besar asing dan aseng selalu menjadi pemenangnya, sementara para pelaku usaha kecil sebagai pengusaha pribumi harus tersisihkan di negerinya sendiri.
 
Pernahkah Daulah Islam mengalami krisis ekonomi? Yang membuat kehidupan masyarakat menjadi hancur-lebur bahkan membuat kelaparan di mana-mana? Tentu pernah.
Daulah Islam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengalami krisis ekonomi yang hebat. Rakyat Daulah Islam kelaparan massal. Yang sakit pun ribuan. Roda ekonomi berjalan terseok-seok. Bahkan sudah sampai level membahayakan. Di antara masyarakat ada yang berani menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
 
Walhasil, krisis ekonomi ini, sungguh adalah sunnatullah. Bisa dialami oleh sebuah negara. Termasuk Daulah Islam. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana Khalifah peduli dan memikirkan jalan keluar yang tepat dan cepat dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Solusi yang tuntas dan menyeluruh. Bukan solusi tambal-sulam. Apalagi hanya sekadar basi-basi penuh pencitraan.
 
 
Syariah Islam ternyata telah menuntun Khalifah Umar dengan jelas hingga Ia mampu mengatasi krisis ekonomi yang hebat tersebut dengan baik dan cepat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa pada tahun 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat dan kemarau. Kelaparan kian menghebat hingga binatang-binatang buas mendatangi orang. Binatang-binatang ternak mati kelaparan. Tahun itu disebut sebagai tahun kelabu. Angin saat itu menghembuskan debu seperti abu. Kemarau menghebat. Jarang ada makanan. Orang-orang pedalaman pergi ke perkotaan. Mereka mengadu dan meminta solusi dari Amirul Mukminin.
 
Al-Faruq adalah sosok kepala negara yang paling peka perasaannya terhadap musibah itu. Ia amat merasakan beban derita rakyatnya. Ia segera mengambil langkah-langkah penyelesaian yang komprehensif lagi cepat.
Hal pertama adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi ini. Ia mengambil langkah untuk tidak bergaya hidup mewah. Makanan ia seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi. Pada masa-masa krisis ekonomi tersebut, Khalifah Umar diberi hadiah roti dengan campuran mentega. Ia kemudian mengajak seorang badui untuk makan bersama. 
 
Ini adalah sebuah sikap kepedulian yang luar biasa dari seorang kepala negara terhadap penderitaan rakyatnya. Khalifah Umar tahu bahwa tanggung jawab seorang kepala negara sangatlah besar kelak di Hari Kiamat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam melayani urusan rakyatnya.
 
Inilah Al-Faruq. Inilah teladan kepemimpinannya dalam pemerintahan Islam yang sangat peduli dengan penderitaan rakyatnya. Rakyat memakan makanan yang lebih baik dari makanannya. Ia memikul beban pemerintahan dan beban kehidupan yang juga lebih berat dari yang dipikul rakyatnya. Ia lebih menderita dari derita yang menimpa rakyatnya.
 
Adakah saat ini penguasa yang ada di dunia, khususnya Indonesia, bersikap seperti ini ketika ada krisis? Tentu kita sudah tahu jawabannya. Itu semua karena mereka tidak menjalankan syariat Islam secara kaffah, sebagaimana Khalifah Islam saat itu menjalankannya. Hanya Islam sajalah dengan sistemnya yang agung, termasuk sistem ekonomi di dalamnya yang mampu melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan ekonomi masyarakat, hingga mencapai kata adil, makmur, dan sejahtera.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak