Judol dan Pinjol Merajalela, Pelajar yang Jadi Korbannya



(Sari Isna_Tulungagung)



Fenomena pelajar terjerat judi online makin mengkhawatirkan. Lemahnya pengawasan dan literasi digital menjadikan banyak anak muda korban ekosistem judol. Ada ironi dan aroma kegagalan ketika mendengar fenomena pelajar atau anak-anak terjerat aktivitas judi online alias judol, terus merebak. Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman generasi masa depan bangsa berada dalam genggaman mereka sendiri. Kehadiran negara melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.

Hafizh (19) masih ingat pertama kali diperkenalkan aplikasi judol dari teman sebangkunya di sekolah. Kejadian itu sekitar dua tahun lalu, ketika ia masih duduk di bangku kelas 2 SMK salah satu sekolah di Kabupaten Bogor. Karena kecanduan judol, terpaksa dia menjual barang-barang miliknya dan harus cek-cok dengan keluarganya. Kisah lain dibagikan guru di salah satu SMA swasta di Kota Depok yang mengakui disambati oleh salah satu wali murid yang anaknya kecanduan judol. Judol juga menyasar seorang bocah SMP di Kokap, Yogyakarta. Ini bermula dari informasi yang diberikan Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Ahad, 26 Oktober 2025 lalu. Diberitakan, seorang siswa SMP di Kokap kecanduan bermain judi online hingga terlilit utang pinjaman online (pinjol).

Kejadian-kejadian di atas merupakan potret buram dunia pendidikan dan penegakan hukum kita yang masih ‘tak kuasa’ menghadapi gempuran aktivitas judol. Tahun lalu, PPATK pernah melaporkan, total uang perputaran aktivitas judol mencapai Rp1.200 triliun.November 2024 silam, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap bahwa tercatat sekitar 200 ribu pelajar berusia di bawah 19 tahun memiliki indikasi terpapar aktivitas judi online. Sekitar 80 ribu pelajar itu berada pada jenjang usia di bawah 10 tahun. (tirto.id, 29/10/2025)

Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti menilai munculnya kasus siswa SMP terjerat pinjaman online dan judi online (judol) disebabkan oleh kesalahan pendidikan saat ini. Sekolah hari ini masih sibuk menyiapkan anak untuk ujian, bukan untuk bertahan di dunia digital yang penuh jebakan algoritma dan komersialisasi perilaku, Dia meminta pemerintah memperkuat literasi digital dan pendidikan karakter di sekolah untuk mencegah maraknya kasus anak sekolah yang terjerat judi online (judol) dan utang pinjaman online (pinjol). Menurut Esti, fenomena ini menunjukkan adanya krisis literasi digital serta lemahnya pengawasan sosial terhadap generasi muda di tengah derasnya arus digitalisasi. Oleh karena itu, kata Esti, keterlibatan anak-anak dalam praktik judi online tidak bisa dilihat sebagai kegagalan moral individu semata, tetapi juga sebagai konsekuensi dari sistem pendidikan yang belum adaptif terhadap tantangan digital.(nasional.kompas.com, 29/10/2025)

Dengan berbagai kasus di atas telah menunjukkan bahwa konten judi online telah merambah situs-situs pendidikan dan game online, sehingga siswa rentan terpapar. Judol dan pinjol dapat tumbuh subur karena kemudahan akses digital, lemahnya pengawasan platform, serta rendahnya literasi finansial dan digital di kalangan remaja. Mayoritas pelajar mengenal judi online dari media sosial secara mandiri, paparan informasi teman sebaya, ataupun terpengaruh oleh lingkungan terdekatnya. Banyak kasus bermula dari game online yang kemudian bergeser ke judi online.

Pinjol dan judol sering kali membentuk lingkaran setan. Serupa kisah kecanduan judol lainnya, seseorang bisa terjebak karena sempat meraih satu kemenangan besar. Padahal, bila dikalkulasikan, angka kemenangan dan modal yang sudah ia keluarkan untuk deposit judol, sebetulnya dia sudah merugi. Pelajar yang kehabisan uang karena kalah judi akan mencari pinjaman online. Begitu siklusnya akan memutar secara terus-menerus tanpa bisa dihentikan.

Kasus judol dan pinjol ini menunjukkan ada celah besar dalam pengawasan orang tua dan sekolah terhadap anak juga lemahnya peran negara dalam menutup atau memberantas situs-situs judol. Banyaknya orang tua yang sibuk bekerja menyebabkan kelalaian dalam memberikan pengawasan. Kedekatan yang harusnya terjalin antara anak dan orang tua pun hilang dengan keberadaan gadget di tangan. Akidah sebagai benteng utama juga tidak didapatkan dari keluarga.

Di sekolah sebagai sarana menanamkan pendidikan karakter dan literasi digital nyatanya belum mampu menuntaskan masalah judol dan pinjol. Kurikulum yang berbasis sekuler hanya sebagai transfer pengetahuan demi tujuan kapitalis semata. Aspek akidah, ketaatan pada syariat, adab, dan akhlak tidak menjadi hal utama. Terlebih ketika guru melakukan pendisiplinan anak dalam rangka membentuk karakter dan kepribadian yang baik justru diperkarakan orang tua.

Pemahaman kapitalistik yang ditanamkan inilah yang pada akhirnya juga menjadi salah satu penyebab utama: cara berpikir rusak—ingin cepat kaya tanpa kerja keras—karena kemudahan akses dan modal kecil. Kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama, tanpa mempertimbangkan halal-haram.

Negara sebagai benteng berikutnya setelah keluarga dan sekolah harusnya mampu memberikan perlindungan kepada rakyat, bukan hanya sebagai regulator. Dalam sistem Kapitalisme Negara memiliki regulasi yang melarang judol dan pinjol, tapi faktanya jauh dari harapan. Negara tidak serius dalam menanganinya, terbukti masih marak bertebaran di mana-mana. Ibarat mati satu tumbuh seribu, ketika judol pinjol tidak diberantas sampai ke akar-akarnya.

Di dalam sistem Islam yang berasaskan akidah Islam, keimanan kita akan membentuk sudut pandang terhadap segala sesuatu yang harus terikat dengan syariat. Halal dan haram adalah tolak ukur dalam setiap perbuatan. Dengan tegas Allah telah melarang segala bentuk perjudian, begitu juga dengan pinjol. Karena di dalamnya mengandung riba yang jelas haram hukumnya. Di sinilah pentingnya diterapkan pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam, sehingga pelajar punya arah dalam bertindak, tidak cukup hanya dengan pendidikan karakter.

Dibutuhkan pula peran negara untuk membentuk sistem yang mampu membentuk generasi yang saleh, berkepribadian Islam yaitu dengan mewujudkan sistem pendidikan Islam. Negara wajib menutup akses judi dan memberi sanksi tegas bagi pelaku. Negara akan melakukan langkah hukum yang menjerakan terhadap bandar judol, pemilik usaha pinjol, serta aparat negara serta masyarakat yang terlibat. Dengan demikian judol pinjol bisa dituntaskan, generasi cemerlang pun bisa terwujudkan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak