Disabilitas Jadi Korban: Bukti Gagalnya Jaminan Keamanan Kapitalis-Sekuler



Oleh Butsainah, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Dakwah)



Seorang anak tunagrahita berusia 15 tahun di Karawang mengalami nasib tragis, yang kembali menunjukkan betapa lemahnya jaminan keamanan di sistem saat ini. Bocah yang mengalami disabilitas mental itu dikeroyok oleh massa hingga kondisinya memburuk setelah dikira masuk ke rumah warga pada dini hari hari Rabu (6/10/2025). Sebaliknya dari perlindungan yang seharusnya diberikan, ia justru menjadi korban dari kepanikan dan kemarahan warga yang bertindak tanpa mengetahui kebenaran situasi (Kompas.com, 07/11/2025).

Kasus ini bukan hanya tindakan kriminal semata. Ia menunjukkan bagaimana nalar sosial masyarakat yang tinggal dalam sistem sekuler mulai hancur. Sistem ini gagal dalam membentuk manusia yang berkepribadian mulia dan gagal menciptakan lingkungan sosial yang aman, peduli, serta berkeadilan. Di dalam sistem sekuler-kapitalis, masyarakat dibentuk dengan pola pikir yang individualistik, cepat bereaksi, dan dipengaruhi emosi. Kebencian dan kemarahan sering kali lebih cepat muncul dibandingkan akal beralasankan pemikiran jernih. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi lemah karena kehidupan dibangun bukan di atas keyakinan agama, melainkan berdasarkan naluri untuk mempertahankan diri dan budaya yang saling curiga.

Tindakan seperti menjadi hakim sendiri yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas menunjukkan bahwa masyarakat sudah kehilangan mekanisme sosial yang sehat. Tidak ada kesabaran, tidak ada kehati-hatian, apalagi rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang lemah. Padahal, Islam jelas mengharamkan penganiayaan terhadap siapa pun tanpa hak: “Seorang muslim tidak halal darah dan kehormatannya kecuali dengan alasan yang benar.” Kejahatan penganiayaan sangat dilarang, terlebih kepada mereka yang termasuk mustadh‘afin (yang lemah), seperti penyandang disabilitas mental.

Namun, mengapa masyarakat sering kali mudah bersikap kasar? Karena sistem sekuler-kapitalis tidak membentuk manusia dengan dasar keimanan, tidak mengajarkan masyarakat untuk mencari tahu dan memahami, serta tidak menanamkan sikap beradab yang didasari keyakinan. Sistem ini hanya mengatur kehidupan berdasarkan keuntungan, bukan berdasarkan benar-salah menurut syariat. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki pedoman moral yang kuat untuk mengendalikan kemarahan dan ego mereka.

Di sisi lain, negara yang menerapkan sistem sekuler-kapitalis gagal sepenuhnya memberikan jaminan keamanan, terutama bagi kelompok yang rentan seperti penyandang disabilitas. Hukum sekuler cenderung reaktif, hanya bergerak setelah terjadi tindak kejahatan. Hukum ini tidak memiliki sistem pencegahan sosial, tidak membangun masyarakat yang berlandaskan ketakwaan, dan tidak menerapkan sanksi yang bisa membuat pelaku merasa takut lagi. Karena ketidaktegasan hukum ini, praktik main hakim sendiri masih terus terjadi.

Bandingkan dengan Islam. Dalam sistem Islam, masyarakat dibangun dengan nilai tabayyun—mencari kebenaran sebelum bertindak. Allah memerintahkan: “Jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, periksalah terlebih dahulu…” (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini adalah prinsip emas yang akan mencegah tindakan gegabah semacam pengeroyokan yang menimpa bocah tunagrahita tersebut.

Selain itu, dalam sistem Islam, keamanan merupakan tanggung jawab negara secara langsung. Negara tidak membiarkan masyarakat mengurus sendiri proses hukum. Orang yang menganiaya orang lain akan dikenai sanksi qishas sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi. Jika korban mengalami cedera berat, pelaku akan menerima hukuman yang sesuai. Jika korban meninggal, pelaku bisa dihukum qishas, termasuk hukuman mati. Penerapan hukum ini membuat orang takut melakukan kejahatan sekaligus melindungi orang yang lemah.

Sistem Islam juga membentuk masyarakat yang penuh kasih sayang dan tidak mudah marah. Nabi Muhammad SAW memandang orang dengan disabilitas sebagai bagian yang penting dalam masyarakat. Mereka dihormati, dilindungi, dan diberi kesetaraan dalam berinteraksi sosial. Bahkan, Umar bin Khaththab pernah menetapkan bantuan pemerintah bagi orang-orang yang tidak bisa bekerja karena disabilitas.

Semua ini menunjukkan bahwa mengatasi kekerasan sosial tidak cukup hanya dengan memperbaiki aturan keamanan atau memberi edukasi kepada masyarakat, tetapi memerlukan perubahan besar terhadap nilai-nilai yang membentuk kehidupan masyarakat. Selama sistem kapitalis-sekuler masih menjadi dasar kehidupan, tragedi seperti kasus bocah tunagrahita di Karawang akan terus terjadi. Sistem ini tidak mampu menciptakan manusia yang beriman, tidak berhasil membentuk masyarakat yang paham kebenaran, dan juga tidak mampu menjamin rasa aman bagi warga.

Maka, pentingnya menerapkan sistem Islam bukan hanya sekadar pembicaraan, tetapi kebutuhan mendesak dalam menciptakan keadilan, menghapus kekerasan, dan melindungi kelompok yang rentan. Hanya dengan Islam—yang mengajarkan akidah sebagai dasar berpikir dan membawa sistem hukum yang tegas sekaligus penuh kasih—kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar aman dan bermartabat.


Wallahu'alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak