Fenomena Fatherless Bikin Ngenes




Oleh : Ummu Zeyn 



Fenomena fatherless kini tengah menjadi fenomena yang cukup serius untuk dibahas, dimana Indonesia dikatakan sebagai negara dengan tingkat fatherless yang cukup tinggi. Fatherless sendiri adalah suatu kondisi dimana tidak hadirnya peran dan sosok seorang ayah dalam proses pembelajaran dan tumbuh kembang  anaknya.

Data hasil survei menunjukkan 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa adanya peran ayah dalam kehidupannya. Dari 15,9 juta itu, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari. Padahal, peran ayah dalam keluarga merupakan hal penting dalam membentuk kepercayaan diri, nilai moral, hingga kecerdasan emosi seorang anak.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Dr. Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., mengatakan bahwa fenomena ketidakhadiran peran ayah tidak hanya dimaknai secara fisik, namun juga secara emosional. Ketidakhadiran figur ayah dalam keluarga berdampak pada perkembangan anak meliputi aspek psikologis hingga aspek sosial. Ia menilai ketiadaan figur ayah mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri, hingga kesulitan dalam membentuk identitas diri.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya fenomena fatherless ini, namun faktor perceraian menjadi penyebab utama seorang anak mengalami fatherless.
Tingginya angka perceraian ini terkait erat dengan sulitnya perekonomian Indonesia. Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terbesar perceraian. Kondisi ekonomi yang sulit membuat para ayah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, meski sudah bekerja keras.

Selain menyebabkan perceraian, kesulitan ekonomi juga berdampak langsung pada terciptanya kondisi fatherless. Sempitnya lapangan kerja lokal (di dalam kota), sedangkan tuntutan kebutuhan hidup makin berat, menjadikan ayah harus meninggalkan keluarga dan merantau ke tempat kerja yang jauh, bahkan hingga ke luar negeri menjadi pekerja migran. Hal ini berdampak pada minimnya komunikasi dengan anak.

Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan menjadikan sebagian orang tua lebih mementingkan mengejar capaian materi (harta dan jabatan) daripada meluangkan waktu untuk pengasuhan dan pendidikan anak. Gempuran teknologi digital melalui gadget juga menjauhkan ayah dari anak, meski fisiknya berdekatan. Ayah sibuk dengan gadget dan mengabaikan sang anak.

Hal ini tidak lepas dari faktor pemahaman agama (Islam). Seiring dengan sekularisasi kehidupan, umat Islam makin jauh dari pemahaman agama yang mencukupi. Tidak banyak orang tua yang memahami peran penting ayah sebagai pemimpin (qawwam) dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Pengasuhan dan pendidikan anak diserahkan pada ibu semata. Krisis teladan kepemimpinan (qiwamah) akhirnya terjadi.

Seorang suami atau ayah adalah pemimpin keluarga. Ia yang paling bertanggung jawab menjaga dan mengurus keluarga. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. “ (HR  Bukhari).

Meski seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, seorang suami atau ayahlah penanggung jawab atas pendidikan istri dan anaknya. Bukan hanya berkaitan dengan biaya pendidikan, tetapi juga terkait materi dan muatan pendidikan tersebut. Dengan demikian, tidak benar jika urusan pendidikan anak hanya dibebankan pada seorang ibu. Ayah pun berandil besar menentukan pendidikan anak-anaknya sehingga mereka menjadi generasi beriman kukuh, berkepribadian Islam handal, cerdas, dan siap berjuang untuk Islam.

Dalam menjalankan perannya, seorang ayah tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap keluarganya. Sebaliknya, ia harus berakhlak mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Ibnu Qoyyim rahimahullah secara tegas mengingatkan dalam kitab Tuhfatul maudud bahwa penyebab utama rusaknya generasi hari ini adalah karena ayah. Beliau mengatakan, “Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya, dan memfasilitasi syahwat (keinginannya). Ia mengira telah memuliakannya, padahal merendahkannya. Ia juga mengira telah menyayanginya, padahal menzaliminya. Dengan demikian, hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah.”

Seorang anak senantiasa membutuhkan ayahnya bukan terkait kebutuhan materi semata. Akan tetapi anak butuh perhatian, bimbingan, nasihat, senyuman, dekapan hangat penuh kasih sayang, atau digendongan walaupun sebentar. Rasulullah saw. mencontohkan untuk kita semua, dari Abdullah bin Ja’far ra. berkata, “Apabila Rasulullah saw. pulang dari bepergian, biasanya beliau disambut oleh anak-anak dan anggota keluarganya. Suatu hari, beliau pulang dari bepergian. Aku lebih dahulu menyambut beliau, maka aku digendongnya. Kemudian, salah seorang anak, Fathimah ra. menyambutnya. Ia pun digendongnya di belakang. Kemudian, kami bertiga memasuki kota Madinah di atas binatang tunggangan.” (HR Muslim).

Hal seperti ini kadang dilupakan oleh seorang ayah. Sesungguhnya, ayah bersama ibu, berperan penting dalam proses pendidikan anak sehingga terwujud generasi handal berkepribadian Islam. Generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah di atas segalanya dan menjadikan rida Allah sebagai tujuannya.

Demikianlah, betapa pentingnya posisi ayah bagi anak-anaknya. Bagaimanapun, anak-anak membutuhkan sosok dan figur ayah dalam kehidupannya, selain sosok ibu. Jangan sampai hal ini dianggap kecil, bahkan diabaikan. Islam telah mengajarkan kepada kita agar kelak lahir anak-anak saleh/salihah berkepribadian Islam yang handal. Akhirnya, mereka akan bahagia di dunia maupun di akhirat, hasil bimbingan ayah dan ibunya.

Wallahu A'lam BI Ash-Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak