‎Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Cermin Rapuhnya Ketahanan Keluarga Sekuler ‎



‎Oleh : Windy Febrianti


‎Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini bukan lagi kasus terselubung di balik dinding rumah, melainkan fenomena sosial yang kian marak. Berita tentang suami menganiaya istri, istri melukai suami, hingga orang tua menelantarkan anak, menjadi pemandangan tragis yang semakin sering menghiasi media. Ironisnya, di saat yang sama, kekerasan di kalangan remaja juga meningkat drastis—mulai dari perundungan, tawuran, hingga kejahatan yang menghilangkan nyawa. Semua ini menunjukkan satu hal: ketahanan keluarga kita sedang rapuh.
‎Jika ditelusuri lebih dalam, keretakan keluarga dan kekerasan remaja bukanlah sekadar persoalan emosi, ekonomi, atau pendidikan rendah. Akar masalah sesungguhnya adalah sekularisme—paham yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Ketika keluarga tidak lagi dibangun atas dasar takwa dan tanggung jawab moral kepada Allah, maka kasih sayang berubah menjadi ego, dan rumah kehilangan fungsinya sebagai tempat sakinah.
‎Sistem pendidikan sekuler-liberal juga memperparah keadaan. Ia menanamkan nilai kebebasan tanpa batas, mendorong sikap individualistik, dan menyingkirkan konsep tanggung jawab sosial serta adab terhadap orang tua. Remaja tumbuh dengan kebebasan yang salah arah: merasa berhak melakukan apa saja atas nama ekspresi diri, bahkan jika itu menyakiti orang lain.
‎Di sisi lain, sistem materialistik menjadikan kebahagiaan keluarga diukur dari harta dan kesenangan duniawi. Tekanan ekonomi, gaya hidup konsumtif, dan ambisi status sosial membuat banyak keluarga terjebak dalam stres dan konflik. Ketika tujuan hidup hanya dunia, maka kegagalan sedikit saja sudah cukup untuk memicu amarah, kekerasan, dan perpecahan.
‎Sayangnya, negara hadir hanya sebagai pemadam kebakaran. Undang-Undang PKDRT memang mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan, tetapi ia tidak menyentuh akar masalah. Hukum dibuat untuk menindak, bukan untuk membenahi sistem nilai yang rusak. Negara abai dalam membangun lingkungan sosial yang sehat dan sistem pendidikan yang menanamkan moral agama.
‎Islam menawarkan solusi komprehensif yang menyentuh akar persoalan.
‎Pertama, pendidikan Islam harus menjadi dasar pembentukan kepribadian bertakwa, baik di rumah maupun di sekolah. Anak-anak perlu tumbuh dengan pemahaman bahwa hidup ini adalah amanah, bukan sekadar mencari kesenangan dunia.
‎Kedua, syariat Islam mengatur dengan jelas peran dan tanggung jawab suami-istri. Suami sebagai qawwam (pelindung dan penanggung jawab), dan istri sebagai pendamping yang menenangkan. Jika peran ini dijalankan sesuai tuntunan syariat, KDRT dapat dicegah sejak awal, karena hubungan dibangun atas dasar cinta, tanggung jawab, dan ketakwaan.
‎Ketiga, negara sebagai raa’in (pengayom) wajib menjamin kesejahteraan warganya. Islam menempatkan negara bukan sekadar sebagai penegak hukum, tetapi juga penjaga keadilan sosial dan ekonomi. Keluarga yang sejahtera secara ekonomi dan tenang secara spiritual tidak mudah terguncang oleh tekanan hidup.
‎Keempat, hukum sanksi Islam (hudud dan ta’zir) ditegakkan bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mendidik dan menjerakan. Ia melindungi kehormatan, jiwa, dan harta mmanusia, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab di tengah masyarakat.
‎Darurat KDRT dan kekerasan remaja bukan hanya masalah perilaku, melainkan buah pahit dari sistem sekuler yang menyingkirkan nilai-nilai Islam. Selama kehidupan berkeluarga dan bernegara tidak dikembalikan kepada tuntunan syariat, maka kekerasan demi kekerasan akan terus berulang. Sudah saatnya kita menegakkan kembali tatanan keluarga dan masyarakat di atas landasan iman dan takwa—karena hanya dengan Islam, manusia dan keluarga akan menemukan kedamaian yang sejati.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak