Oleh: Ummu Habibi
(Muslimah Minang Rindu Syariah)
Di tengah tekanan ekonomi yang begitu sulit akibat kebijakan zalim penguasa, gaji dan lusinan tunjangan yang diterima anggota DPR RI jadi polemik panas beberapa hari terakhir. Dalam satu bulan saja, seorang anggota dewan bisa mengantongi penghasilan di atas Rp 100 juta. Selain tunjangan perumahan yang mencapai Rp 50 juta per bulan, publik juga menyoroti komponen tunjangan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Artinya, anggota DPR dibebaskan dari pajak penghasilan karena seluruhnya ditanggung negara.
"Warga mendapatkan kesulitan dalam hal hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan ada pajak yang dinaikkan, keputusan soal perumahan ini bukan keputusan yang patut," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha. Padahal, pemerintah saat ini mengeklaim tengah melakukan efisiensi anggaran. BBC News Indonesia, Senin (18/08)
Menanggapi hal itu, sebuah pernyataan yang dinilai arogan dan menohok dari seorang politisi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, kini juga menjadi pusat amarah publik di media sosial. Deddy dengan tegas menyatakan, "jangan bandingkan kami dengan rakyat jelata", sambil menuding lawan bicaranya "sesat logika".
Pernyataan ini meledak di waktu yang paling buruk, tepat saat rakyat sedang geram-geramnya membandingkan nasib mereka yang gajinya dipotong 3 persen untuk Tapera, sementara para anggota DPR justru menikmati tunjangan rumah jabatan yang fantastis.
Kalimat "jangan bandingkan" ini seolah menjadi pembenaran paling jelas dari jurang pemisah antara elite penguasa dengan penderitaan rakyat biasa.
Bukan sekali ini saja perjabat negara bersikap hedon ditengah kesulitan yang dihadapi oleh rakyat. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kekuasaan hari ini dijadikan jalan untuk mendapatkan hidup mewah. Sikap anggota dewan yang demikian merupakan representasi dari sistem sekuler-kapitalisme.
Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan sehingga membebaskan siapa pun untuk fokus mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Sehingga wajar jika penguasa tidak merasa berdosa ketika mereka menggunakan uang rakyat untuk kemewahan disaat rakyat tengah sengsara dan kelaparan.
Sistem sekuler-kapitalisme membuat para pejabat hilang naluri dan empati. Padahal Allah SWT telah menjelaskan tanggung jawab setiap pengemban amanah termasuk pejabat atau penguasa terkait hal-hal yang wajib dipenuhi dalam menjalankan kedudukannya. Dengan kata lain seorang pemimpin harus benar-benar sesuai dengan syariat islam yakni sebagai pelayan rakyat. Sebagimana dalam hadits, dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda , "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, Muslim"Imam atau pemimpin adalah penggembala dan dia bertanggungjawab atas gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang pimpinan atau yang diberikan amanah wajib memiliki kepribadian islam (syakhsiyah islam). Dengan kepribadian islam mengharuskan pemimpin memiliki pola pikir dan pola sikap islam yang kuat. Seorang pemimpin tidak boleh memiliki kepribadian yang lebih hingga mudah dikendalikan oleh hawa nafsunya, karena ia memiliki tanggung jawab besar terhadap rakyat.
Dari Abu Dzar, ia berkata, "'Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku seorang pemimpin?'". Merespons permintaan Abu Dzar, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ia lemah dan jabatan adalah amanah yang akan mendatangkan kehinaan serta penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajibannya dengan baik." (HR. Muslim)
Syari'at telah memerintahkan agar pemimpin sentiasa memperhatikan rakyatnya. Jika tidak bahkan Allah telah mengharamkan surga bagi pemimpin. Rasulullah SAW bersabda "Tidak seorang hamba pun yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali ia tidak akan mencium bau surga". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan ketetapan syariat ini, pemimpin dalam negara Daulah Islam tidak akan bersikap hedonis dan menggunakan anggaran negara untuk kebutuhan pribadi layaknya pejabat dalam sistem Kapitalis hari ini. Pejabat dalam sistem khilafah menjadi pemimpin yang peka terhadap urusan rakyat. Bahkan lebih mementingkan kebutuhan rakyat dibanding dengan dirinya sendiri.
Mereka akan fokus pada dua tugas utamanya yaitu sebagai pelayan hirasatudin dan siyasatudunya (melindungi agama dan mengatur urusan dunia). Sebagai contoh pemimpin yang demikian adalah sahabat Salman Al-Farisi ra, beliau menjabat sebagai gubernur atau wali di Negeri Madain, Persia.
Beliau berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri dan identitasnya sebagai wali sehingga banyak yang tidak mengenalinya. Pakaikan beliau sederhana dan dengan senang hari membantu rakyat memanggul barang dagangan di pasar.
Begitulah syariat Islam ketika diterapkan telah berhasil melahirkan para pemimpin maupun pejabat yang amanah dan bisa menja tauladan. Sangat jauh dari potret pemimpin dan pejabat dalam sistem sekuler-kapitalis hari ini. Sudah saatnya kita kembali pada penerapan syariat Islam secara kaffah agar rahmatan lil'alamin segera kita rasakan. Wallahu a'lam bish-shawwab[]
Tags
Opini
