Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Kasus pelesiran istri Menteri Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman tengah ramai dibicarakan masyarakat. Awalnya, berita ini muncul karena perjalanan istri menteri tersebut ke sejumlah negara Eropa dan Asia. Namun, bukan sekadar urusan pelesiran yang jadi sorotan, melainkan beredarnya surat resmi kementerian yang meminta pendampingan dari kedutaan besar Indonesia selama perjalanan itu.
Surat tersebut menyulut polemik. Masyarakat mempertanyakan, apakah wajar surat resmi kementerian digunakan untuk urusan keluarga, walau berlabel misi budaya? Apalagi, dalam klarifikasinya, sang menteri menyatakan bahwa perjalanan itu dibiayai pribadi, tanpa sepeser pun anggaran negara.
Namun, persoalan ini bukan cuma soal uang. Lebih dari itu, publik menyoroti soal etika. Mengapa fasilitas negara, dalam hal ini surat resmi kementerian, bisa digunakan untuk urusan pribadi? Inilah yang membuat masyarakat geram.
Jabatan Bukan untuk Privilege
Kalau kita cermati, kasus seperti ini bukan yang pertama. Di negeri ini, penggunaan fasilitas negara untuk urusan pribadi pejabat sudah sering terjadi. Entah itu kendaraan dinas yang dipakai untuk acara keluarga, hingga perjalanan dinas yang disusupi agenda pribadi.
Kata-kata pembelaannya selalu sama: "Tidak pakai dana negara." Padahal, fasilitas negara bukan sekadar soal uang. Surat resmi atau wewenang jabatan saja sudah bisa membuka akses yang tak dimiliki rakyat biasa. Ini yang membuat masyarakat merasa ada yang tidak adil.
Fenomena ini menunjukkan betapa masih kuatnya budaya salah kaprah tentang jabatan di negeri ini. Jabatan dianggap privilege, bukan amanah. Wajar jika publik merasa pejabat seperti hidup di dunia yang berbeda, penuh fasilitas, sementara rakyat harus berjuang sendiri.
Cermin Buram Budaya Politik
Kasus pelesiran ini menjadi contoh nyata bahwa persoalan etik di pemerintahan kita masih jauh dari harapan. Budaya politik yang berkembang justru makin permisif terhadap praktik semacam ini.
Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian masyarakat pun sudah mulai pasrah. Banyak yang menganggap "sudah biasa" jika pejabat memanfaatkan jabatan untuk keluarga. Selama tidak merugikan langsung keuangan negara, dianggap tak masalah.
Padahal, ini persoalan serius. Kalau dibiarkan, praktik semacam ini bisa jadi kebiasaan yang menular ke berbagai level birokrasi. Akhirnya, jabatan hanya dipakai untuk memperkaya diri atau menguntungkan keluarga, bukan untuk melayani rakyat.
Islam Tegas Menjaga Amanah Jabatan
Dalam sejarah Islam, jabatan selalu dipandang sebagai amanah. Bukan sekadar kekuasaan, apalagi privilege. Rasulullah ﷺ bahkan mengingatkan bahwa jabatan itu amanah, yang bisa menjadi penyesalan di akhirat jika disalahgunakan.
Kisah para pemimpin Islam terdahulu bisa menjadi pelajaran berharga. Salah satu yang terkenal adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Suatu malam, ia tengah membahas urusan negara dengan seorang pejabat. Saat pembicaraan mulai masuk ke ranah pribadi, Umar langsung memadamkan lampu minyak milik negara, lalu menyalakan lampu milik pribadinya. Kata beliau, “Lampu ini milik negara, tak pantas dipakai untuk urusan pribadi.”
Tak hanya Umar bin Khaththab, keteladanan serupa juga ditunjukkan Umar bin Abdul Aziz. Ia pernah memadamkan lampu yang dibiayai dari baitul mal begitu pembicaraan bergeser ke urusan keluarga. Bahkan, ia tak mau menerima hadiah dari pejabat daerah karena khawatir itu adalah suap terselubung.
Kisah-kisah ini menunjukkan, dalam Islam, pemimpin sangat menjaga amanah. Mereka sadar, setiap sen yang berasal dari negara adalah hak rakyat, bukan untuk dinikmati pribadi.
Solusi: Tegas dan Sistemik
Apa pelajaran dari kasus pelesiran ini? Pertama, kita harus lebih tegas menegakkan etika jabatan. Tak cukup hanya klarifikasi atau permintaan maaf. Harus ada sanksi yang nyata, supaya pejabat lain tidak menyepelekan aturan.
Kedua, kita perlu mengubah cara pandang tentang jabatan. Jabatan itu amanah, bukan privilege. Pejabat harus menyadari bahwa mereka digaji untuk melayani rakyat, bukan untuk memudahkan urusan pribadi.
Ketiga, perlu ada sistem pengawasan yang kuat. Dalam Islam, ada lembaga hisbah yang bertugas mengawasi pejabat, memastikan mereka tak menyalahgunakan wewenang. Jika ada pelanggaran, sanksinya langsung dijatuhkan, tanpa tebang pilih.
Islam juga menanamkan kesadaran spiritual yang kuat pada pejabat. Mereka tahu, jabatan adalah ujian yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Inilah yang membuat pemimpin Islam dahulu sangat berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara.
Penutup: Saatnya Kita Berubah
Kasus pelesiran istri menteri ini harus jadi pelajaran penting. Kita tak boleh membiarkan budaya salah kaprah soal jabatan terus tumbuh. Harus ada perubahan, baik dari pejabatnya, pemerintah, maupun masyarakat.
Jabatan adalah amanah. Sudah saatnya kita mendorong lahirnya sistem pemerintahan yang mampu melahirkan pemimpin jujur, adil, dan amanah. Sistem yang membuat pejabat sadar, setiap fasilitas yang mereka nikmati bukan untuk pribadi, tapi untuk rakyat.
Kalau dulu para khalifah bisa begitu tegas menjaga amanah, mengapa hari ini pejabat justru sibuk mencari keuntungan pribadi? Inilah tanda bahwa kita butuh perubahan besar. Bukan sekadar perubahan aturan, tapi perubahan cara pandang terhadap jabatan itu sendiri.
Tags
Opini