Surga Laut Sekarat: Hanya dengan Syariat, Raja Ampat Selamat


Oleh: Mikaila Nuaym


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa pemerintah akan menghentikan sementara operasional tambang nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat dalam konferensi pers di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6) yang dimuat BBC News Indonesia. Kebijakan ini disebut sebagai bentuk respons terhadap protes masyarakat serta kekhawatiran akan dampak lingkungan yang ditimbulkan. 

Namun, LSM lingkungan Greenpeace Indonesia mengkritik langkah tersebut sebagai sekadar “akal-akalan” yang ditujukan untuk meredam protes publik, alih-alih upaya serius melindungi ekosistem. Greenpeace juga menyoroti bahwa penerbitan izin lima tambang nikel di Raja Ampat diduga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam Pasal 35 huruf (k) disebutkan bahwa penambangan dilarang apabila berpotensi merusak lingkungan, mencemari wilayah pesisir, atau merugikan masyarakat.

Berdasarkan pengamatan Greenpeace Indonesia, eksploitasi tambang nikel tersebut telah membabat lebih dari 500 hektare hutan, terutama di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Akibatnya, terjadi sedimentasi dari limpasan lumpur yang mencemari terumbu karang hingga menyebabkan kematian ekosistem laut yang sensitif. Greenpeace menegaskan bahwa reklamasi di pulau kecil sangat sulit dilakukan karena struktur ekosistemnya yang rapuh dan tidak mudah pulih.

Sementara itu, sebagaimana dilansir Kompas.com masih pada Kamis (5/6), PT Gag Nikel menyatakan patuh terhadap keputusan pemerintah dan akan menunggu hasil verifikasi lapangan menyusul rencana Menteri Bahlil untuk berkunjung langsung ke Sorong dan Pulau Gag. Pemerintah berdalih ingin menyeimbangkan antara perlindungan lingkungan dan agenda hilirisasi nikel sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ekonomi nasional.


Sistem Kapitalis: Antitesis Ekologis

Eksploitasi nikel di Raja Ampat ini bukan hanya soal kerusakan lingkungan. Ini adalah bukti nyata dari rusaknya tata kelola sumber daya alam (SDA) dalam kapitalisme, yang menjadikan alam sebagai komoditas. Dalam sistem ini, selama ada keuntungan, kerusakan bisa dinegosiasikan. Hukum tunduk pada modal, dan negara bertindak sebagai fasilitator. Ketika tambang beroperasi tanpa memedulikan keanekaragaman hayati yang dilindungi, bahkan hingga melanggar undang-undang lingkungan hidup, kita melihat bahwa hukum bisa dikalahkan oleh kekuatan modal. Pengusaha lebih berkuasa daripada negara.

Raja Ampat telah dikenal dunia sebagai surga keanekaragaman hayati laut, tempat ribuan spesies dengan sekitar 75% jenis terumbu karang yang ada di dunia terkumpul serta hidup berdampingan. Maka, kebijakan penambangan nikel di kawasan ini bukan hanya pengabaian terhadap ekosistem lokal, tapi juga pengkhianatan terhadap amanah ekologis. Keputusan pemerintah untuk akhirnya menghentikan sementara operasi tambang tersebut pun diduga sekadar untuk meredam amarah publik yang masih memanas saat ini, dan akan dilanjutkan kembali jika perhatian masyarakat sudah teralihkan. Hal ini menambah panjang daftar kebijakan pengelolaan SDA yang menempatkan keuntungan di atas keberlanjutan.


Alam Milik Rakyat, Bukan Korporat

Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan SDA sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan demi profit segelintir elit, Islam menetapkan bahwa SDA seperti laut, hutan serta tambang adalah milik umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadis: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram” (HR Ibnu Majah). Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan perserikatan (kepemilikan bersama) dalam konteks air pada hadis tersebut mencakup air sungai, danau, laut serta saluran irigasi. Pemanfaatannya diposisikan setara dengan pemanfaatan cahaya matahari dan udara yang dapat diakses oleh siapa pun, baik Muslim maupun non-Muslim. Tidak seorang pun berhak membatasi, pun memperdagangkannya.

Al-Khathabi menjelaskan bahwa padang rumput yang disebut dalam hadis merujuk pada tumbuhan atau tanaman liar yang tumbuh di tanah mati atau lahan tak bertuan yang dijaga oleh masyarakat, seperti hutan. Sementara itu, "api" dalam hadis ini dimaknai sebagai seluruh sumber daya alam (SDA) yang dapat menghasilkan energi, seperti minyak bumi, batu bara, gas alam, listrik, dan sejenisnya, termasuk nikel. SDA semacam ini haram diprivatisasi, baik oleh individu maupun perusahaan swasta dalam negeri dan asing. 


Khilafah Penjaga Amanah

Sumber daya yang tergolong milik umum adalah amanah besar dari Allah SWT yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat. Negara dalam hal ini bertindak sebagai pengelola yang mewakili umat, bukan sebagai pemilik, sehingga tidak berhak memperlakukan kepemilikan umum layaknya harta negara atau pribadi. Seluruh pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini memiliki pos tersendiri dalam Baitul Mal dan wajib dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan umat. Islam secara tegas melarang privatisasi aset publik, baik oleh negara, individu, maupun pihak swasta.

Dalam sistem Islam, pemimpin ialah raa’in (pengurus rakyat) sekaligus junnah (pelindung) yang wajib memastikan tata kelola SDA sesuai hukum syariat dan menjaga kelestarian alam sebagai bentuk ibadah dan amanah dari Allah SWT. Negara wajib mengelola kekayaan ini demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya kepada swasta atau asing. Islam pun dengan tegas mengharamkan perusakan lingkungan, sebagaimana firman Allah SWT: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdoalah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik” (QS al-A’raf [7]: 56). 

Islam juga mengenal konsep "hima", yaitu kawasan lindung yang tidak boleh dieksploitasi sembarangan, sebagai pagar ekologis yang mencegah eksplorasi serampangan atas nama pembangunan. Melalui pengelolaan berdasarkan syariat Islam, kekayaan milik umum ini dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, seperti akses energi yang terjangkau, pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih merata, serta pengentasan kemiskinan melalui pemerataan kesejahteraan. Pencemaran lingkungan, deforestasi, krisis air, dan krisis energi yang kerap terjadi ketika kepemilikan publik diprivatisasi juga dapat dihindari.

Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat adalah potret terbaru dari torehan panjang luka ekologis di bumi pertiwi ini akibat tata kelola kapitalistik yang bobrok. Sudah saatnya kita beralih pada sistem yang mampu memperbaiki dan menjamin kelestarian alam kita. Islam telah terbukti mampu menjalankan amanah tersebut melalui prinsip pengelolaan SDA secara adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan fitrah manusia dan alam yang telah menjaga bumi selama kurang lebih 14 abad lamanya. Semua itu hanya dapat terwujud melalui penegakan Khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menjamin kepemilikan umum tetap berada di tangan rakyat, demi kemaslahatan umat dan kelestarian bumi yang kita tempati bersama. Wallahu a’lam bish shawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak