Menyoal Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Kehalalan Pangan


Oleh : Ade


Pertengahan bulan Mei 2025, warung makan legendaris Ayam Goreng Widuran yang dikenal sejak 1973, di Kota Solo, Jawa Tengah telah menyedot perhatian publik. Kehebohan berawal dari unggahan akun Thread @pedalranger yang mengaku terkejut setelah mengetahui menu makanan Ayam Goreng Widuran diduga menggunakan bahan baku non-halal. Kremesan tepung ayam diduga digoreng dengan menggunakan minyak non-halal. Pada akhirnya pihak pengelola Ayam Goreng Widuran, melalui akun Instagramnya mengumumkan bahwa menu yang mereka sajikan mengandung unsur non-halal.

Ini bukan kasus pertama di negeri kita. Di beberapa daerah Jawa seperti Solo dan Yogyakarta, sate anjing kadang disamarkan dengan nama "sate jamu". Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan sembilan produk pangan olahan yang terdeteksi mengandung unsur babi (porcine). Dari sembilan produk yang terdeteksi, tujuh produk di antaranya telah bersertifikat halal.


Sekuler Kapitalisme Abaikan Halal Haram

Beredarnya produk makanan haram adalah bagian kecil dari akibat sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang selama ini berlaku di negeri mayoritas muslim ini. Bisnis ala sistem sekuler kapitalisme tidak memedulikan halal-haram. Karena, sekuler kapitalisme merupakan sistem yang memisahkan urusan duniawi (termasuk urusan bisnis) dari nilai-nilai dan hukum agama. Selain itu, sistem ekonomi sekuler kapitalisme juga hanya berorientasi pada keuntungan materi (profit motive). Sistem ini pun hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital sebagai tujuan utama.

Dengan adanya kasus diatas, bukan tidak mungkin masih banyak makanan haram yang beredar di masyarakat muslim negeri ini. Tentu saja peristiwa ini sangat miris. Pasalnya, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat muslim telah benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara.

Allah Swt. telah menegaskan keharaman babi dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang telah diwahyukan kepada diriku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan oleh seseorang, kecuali makanan itu adalah bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al-An’am [6]: 145).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Sebaliknya, Allah Swt. memerintahkan agar kaum muslim mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 168). 

Makanan halal adalah makanan yang berdasarkan hukum Islam boleh dikonsumsi (bukan dari babi, bangkai, darah, tidak mengandung khamar, dan disembelih dengan nama Allah). Adapun makanan yang baik (thayyib[an]) adalah yang bersih, sehat, serta tidak membahayakan tubuh dan lingkungan (bisa mencakup gizi, higienis, tidak beracun, dan tidak najis).


Dampak Buruk Konsumsi Produk Haram

Menghindari makanan haram, bagi individu muslim, adalah bagian dari perwujudan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala. Begitu juga dengan masyarakat muslim yang bertakwa. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Individu dan masyarakat muslim wajib bersinergi dalam mencegah adanya peredaran produk makanan haram.

Ada beberapa dampak buruk akibat mengonsumsi makanan haram. Pertama, makanan haram akan menjadi penghalang bagi pengabulan doa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima, kecuali yang baik. Kemudian ada seorang laki-laki yang telah lama melakukan safar. Rambutnya kusut dan berdebu. Sambil menengadahkan tangan ke langit, ia berdoa, ‘Yâ Rabb…Yâ Rabb…’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim).

Kedua, makanan haram akan mengakibatkan hati gelap dan keras, serta kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kemaksiatan. Jika tubuh dibangun dari sumber yang haram, akhlak dan perilaku pun akan cenderung rusak. Makanan haram bisa mengundang pengaruh setan. Pasalnya, setan suka dengan sesuatu yang kotor dan haram. 

Oleh karena itu, orang yang biasa mengonsumsi yang haram akan lebih mudah terdorong melakukan maksiat. Allah Swt. selalu menegaskan bahwa makanan atau minuman haram dikaitkan dengan perbuatan setan. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah [5]: 90).

Ketiga, orang yang mengonsumsi makanan haram berarti merusak amal ibadahnya dan diancam dengan ancaman siksa neraka. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka azab neraka lebih layak bagi dirinya.” (HR Ath-Thabarani).

Makanan bukan hanya untuk kesehatan tubuh, tetapi juga untuk membentuk karakter. Makanan memengaruhi spiritualitas dan kesehatan akal, serta menentukan keberkahan hidup. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan kaum muslim untuk memakan makanan yang halal dan baik, bukan sekadar yang enak atau mengenyangkan.


Jaminan Pangan Halal dalam Khilafah

Kaum muslim jelas tidak akan pernah bisa berharap kepada negara sekuler kapitalisme untuk mampu memberikan jaminan pangan halal. Landasan negara sekuler bukan akidah Islam melainkan kemanfaatan. Selain itu, negara sekuler kapitalisme tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan pangan dan melindunginya dari zat haram.

Sebaliknya, negara Islam (Khilafah) mampu menjamin pangan halal. Khilafah memiliki fungsi sebagai pengatur dan pelindung umat. Khilafah akan menjamin ketersediaan dan keterpenuhan pangan halal hingga level individu per individu. Semua ini karena landasan negaranya adalah akidah Islam bukan kemanfaatan. Akidah Islam menjadikan para pemimpin dalam Khilafah berhukum dengan syariat secara kafah. Dengan begitu, jaminan pangan halal adalah perkara yang wajib dilakukan oleh Khilafah.

Selain itu, Khilafah berkewajiban untuk menjaga rakyatnya agar terus dalam suasana ketakwaan. Berbagai sarana yang mengantarkan pada kemaksiatan akan dicegah dan dilarang, seperti keberadaan diskotek, bar, maupun pabrik miras. Khilafah bertanggung jawab dalam pengawasan pangan, agar yang beredar di tengah masyarakat hanya produk halal.

Adapun standar halal-haram produk wajib bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, baik dari sisi zatnya, prosesnya, hingga penamaannya tidak boleh melanggar syariat. Sedangkan mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau bentuk lainnya yang akan dikaji mendalam oleh khalifah terkait efektivitas pengawasan pangan halal. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad).

Selain itu, penegakan hukum dalam Khilafah bersifat menjerakan kepada tiap pihak yang berani mengedarkan produk pangan haram di pemukiman kaum muslim. Dengan ini, tidak akan ada yang berani untuk membeli atau pun menjual pangan haram karena produsen, penjual, pembeli, maupun kurirnya akan dikenai sanksi. Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan, “Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim). 

Sedangkan penjual dan produsen khamar dapat dikenai sanksi yang lebih berat, termasuk hukuman cambuk, denda, atau penjara. Sanksi ini bisa lebih berat lagi karena penjual dianggap berkontribusi pada penyebaran kemaksiatan.


Khatimah

Jaminan pangan halal dalam Khilafah akan memastikan semua produk pangan yang beredar adalah yang halal saja. Penerapan hal ini didukung oleh tiga pilar, pertama, ketakwaan individu, yang akan menjadi kontrol internal pada setiap individu agar tidak melakukan kemaksiatan termasuk menjual, mengedarkan, dan mengonsumsi produk pangan haram. Kedua, kontrol masyarakat. Dengan adanya adanya kontrol masyarakat, segala jenis kemaksiatan termasuk peredaran produk pangan haram bisa dengan mudah terdeteksi. Ketiga adalah penegakan aturan tegas oleh negara. Ketiga pilar inilah yang akan mendukung terwujudnya masyarakat yang beriman dan bertakwa. Inilah gambaran umum kebijakan Khilafah dalam mewujudkan sistem jaminan pangan halal. Sedangkan negara sekuler kapitalis tidak akan mampu mewujudkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kelompok politik yang gigih dalam memahamkan umat perihal urgensitas adanya Khilafah agar bukan hanya produk pangan yang terjamin halalnya, tetapi juga seluruh syariat akan dapat diamalkan oleh kaum muslim. 
Wallahualam bissawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak