Saatnya Umat Bergerak Bersama, Bukan Sekadar Berempati


Oleh : Nettyhera
(Pengamat Politik Internasional)


Dunia menyaksikan kembali bagaimana penderitaan rakyat Gaza tak juga berakhir. Serangan demi serangan terus berlangsung, dan blokade yang telah berlangsung sejak 2007 makin memperparah krisis kemanusiaan. Di tengah jeritan warga Gaza, ribuan aktivis dari berbagai negara—termasuk Indonesia—turun menyuarakan solidaritas. Salah satunya melalui gerakan Global March to Gaza (GMTG).

Namun, sebagaimana dilaporkan Kompas TV (17 Juni 2025), puluhan aktivis internasional yang hendak memasuki Gaza lewat perbatasan Rafah justru ditolak dan dipulangkan oleh pemerintah Mesir. Mereka tidak membawa senjata. Mereka tidak membawa ancaman. Hanya suara kemanusiaan dan harapan untuk melihat Gaza terbebas dari penindasan. Tapi ironis, suara itu malah dibungkam oleh sesama negeri Muslim.

Inilah wajah nyata dari dunia yang dikuasai oleh rezim yang tunduk pada hegemoni. Penjajah tak hanya membangun blokade fisik di Gaza. Lebih dari itu, mereka berhasil menanam blokade mental di benak para penguasa negeri-negeri Muslim: nasionalisme dan loyalitas pada kepentingan negara adidaya.


Nasionalisme: Sekat yang Membunuh Persatuan

Gerakan GMTG adalah cermin kemarahan umat. Tapi tertahannya mereka di pintu Rafah adalah pengingat pahit bahwa tidak ada solusi sejati selama sekat nasionalisme masih berdiri kokoh. Nasionalisme adalah ide yang disisipkan penjajah Barat ke dunia Islam untuk meruntuhkan persatuan yang selama berabad-abad dijaga Khilafah Utsmaniyah.

Sebelum keruntuhan Khilafah pada 1924, tidak ada batas buatan bernama "negara-bangsa" di antara kaum Muslimin. Perjuangan Palestina adalah perjuangan umat Islam. Kehilangan Yerusalem adalah luka bagi seluruh umat, bukan sekadar bangsa Arab.

Kini, nasionalisme membuat penguasa Mesir tega menutup gerbang Rafah, satu-satunya jalur keluar-masuk Gaza. Mereka membiarkan saudara mereka mati perlahan di balik tembok blokade, hanya demi menjaga hubungan baik dengan Israel dan AS. Nasionalisme telah mengikis akidah ukhuwah dan menggantikannya dengan loyalitas pada negara-negara penjajah.


Gerakan Kemanusiaan Bukan Solusi Akar

Kita mengapresiasi niat tulus para aktivis. Namun, sejarah membuktikan bahwa gerakan kemanusiaan tidak mampu menghentikan penjajahan. Blokade Gaza bukan krisis kemanusiaan biasa, tapi hasil dari politik kolonialisme modern. Maka solusinya pun harus politis, bukan karitatif.

Seruan boikot, penggalangan dana, atau konvoi kemanusiaan tidak akan menghapus eksistensi penjajah. Apalagi jika pergerakan itu dibatasi oleh batas negara dan izin visa dari penguasa boneka penjajah.

Apa yang dibutuhkan hari ini bukan hanya empati. Tapi pemahaman yang benar tentang akar persoalan, dan langkah politik yang konkret: membongkar sekat negara-bangsa dan menyatukan kembali umat di bawah satu kepemimpinan Islam yang mampu melindungi umat—yakni Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah.


Khilafah: Kepemimpinan yang Dirindukan Umat

Dalam sejarahnya, Khilafah bukan hanya entitas politik, tapi juga institusi pelindung umat. Ketika satu wilayah diserang, seluruh negeri Muslim akan bergerak membela. Ketika kaum Muslim ditindas, Khalifah akan memobilisasi pasukan, bukan sekadar mengirim surat ke PBB.

Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem negara-bangsa saat ini. Tidak ada pemimpin umat yang bisa menyatukan kekuatan lebih dari 50 negeri Muslim. Tidak ada tentara Islam yang bisa bergerak untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha tanpa izin dari DK PBB. Yang ada hanya statemen “keprihatinan” dan “dukungan diplomatik” yang tak pernah menyelamatkan satu pun nyawa.

Padahal, umat ini memiliki kekuatan dahsyat: jumlah besar, sumber daya melimpah, dan sejarah kejayaan. Yang kurang hanya satu: kepemimpinan Islam global.


Umat Harus Bergerak Politik, Bukan Sekadar Emosional

Waktu terus berjalan. Gaza makin hancur. Bayi-bayi syahid, rumah-rumah rubuh, dan generasi muda tumbuh dalam trauma dan kehancuran. Jika kita hanya terus mengutuk dan mengirim bantuan, tanpa meruntuhkan sekat-sekat buatan itu, Gaza tidak akan pernah merdeka.

Umat harus bergerak secara politik. Tidak cukup dengan aksi damai, petisi, atau penggalangan dana. Harus ada perjuangan serius untuk menegakkan kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Hanya dengan itulah umat Islam bisa benar-benar menyatukan kekuatan, membela saudaranya, dan menjadi rahmat bagi semesta alam.


Bergabunglah dengan Gerakan Politik Ideologis

Kini saatnya umat mendukung dan bergabung dengan gerakan dakwah politik yang memperjuangkan kembalinya sistem Islam kaffah. Gerakan ini tidak tunduk pada batas negara. Tidak dibatasi visa atau paspor. Ia menyuarakan kebenaran, membongkar kezaliman, dan menawarkan solusi sistemik bagi umat: penegakan Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah.

Kemenangan bukan milik yang diam dan nyaman. Kemenangan akan diraih oleh mereka yang bergerak, berpikir, dan berkorban. Gaza menunggu kita. Palestina memanggil kita. Bukan hanya dengan empati, tapi dengan langkah politik yang berani dan sistemik.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak