Oleh: N. Vera Khairunnisa
Kedatangan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, ke Indonesia disambut meriah. Pemerintah menyebut kunjungan ini sebagai momen penting penguatan kerja sama strategis—mulai dari industri sapi, sawit, hingga pertahanan militer. Bahkan Presiden menyambutnya dengan kata “Selamat datang,” penuh kehangatan dan senyuman. (dikutip dari berbagai sumber)
Namun sebagai seorang muslim, rasanya sulit menerima kenyataan ini. Hati dan pikiran ini kompak bertanya-tanya: layakkah kita menghormati pemimpin dari negeri yang berkali-kali memusuhi Islam? Negeri yang terang-terangan melarang hijab, membatasi aktivitas umat Islam, dan membiarkan pelecehan terhadap Rasulullah ﷺ dengan dalih kebebasan berekspresi? Apakah semua itu dengan mudah kita lupakan demi secuil kerja sama ekonomi?
Allah telah memperingatkan kita bahwa permusuhan terhadap kaum mukmin sejatinya datang dari kalangan tertentu, yang sejak dahulu menyimpan kebencian dalam dada mereka. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Sungguh kamu akan mendapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”
(QS. Al-Mā’idah: 82)
Ayat ini bukan sekadar informasi sejarah. Ia adalah peringatan dari Rabb kita, tentang realitas yang terus berlangsung hingga kini. Maka saat kita melihat sebuah negara menetapkan kebijakan yang menarget umat Islam dan ajarannya, kita tak boleh memalingkan muka atau pura-pura tak tahu.
Sayangnya, sistem sekuler kapitalisme membuat arah kebijakan negeri-negeri muslim tidak lagi ditentukan oleh iman dan prinsip kebenaran, tetapi oleh manfaat sesaat. Hubungan antarnegara ditimbang dari neraca dagang, bukan neraca halal dan haram. Maka, tak heran jika negara yang menghina Nabi kita ﷺ justru disambut sebagai mitra strategis. Ketika kapitalisme menjadi asas, kehormatan agama pun mudah dikorbankan.
Padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda:
“Barang siapa mencintai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Cinta bukan hanya dalam hati. Ia tampak dari sikap, penghormatan, dan pujian. Maka bagaimana mungkin kita mencintai dan menghormati mereka yang menginjak-injak kehormatan Islam?
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Wajib atas kaum muslimin untuk tidak menampakkan loyalitas kepada orang-orang kafir yang memerangi mereka atau menistakan agama mereka. Bahkan, wajib bagi mereka untuk memutus hubungan dan menunjukkan kebencian kepada mereka."
(Majmu’ al-Fatawa, 28/239)
Jika kita bersikap biasa saja, bahkan memuliakan mereka saat Islam dilecehkan, maka itu pertanda betapa lemahnya pembelaan kita terhadap agama ini. Padahal dalam Islam, telah ditetapkan pedoman yang jelas, bahwa di dunia hanya ada dua jenis negara, darul Islam dan darul kufur. Dan sikap terhadap negara kafir pun berbeda tergantung apakah mereka bersikap netral atau memusuhi Islam.
Imam Al-Mawardi menyatakan bahwa jika suatu negara kafir menzahirkan permusuhan terhadap Islam, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menampakkan permusuhan dan memutus hubungan, hingga mereka tunduk atau diperangi. Sikap seperti inilah yang dulu dijaga oleh para khalifah. Ketika kehormatan Nabi ﷺ dinistakan, mereka tak tinggal diam. Salah satu contohnya adalah Khalifah Abdul Hamid II dari Khilafah Utsmaniyah yang dengan tegas menolak penerbitan karikatur penghinaan Nabi oleh Prancis, bahkan dengan risiko kehilangan dukungan politik internasional.
Tapi hari ini kita menyaksikan yang sebaliknya. Tidak ada keberpihakan kepada Islam. Tidak ada pembelaan kepada Rasulullah ﷺ. Bahkan sambutan hangat dan kerja sama terus dijalin, seolah tidak ada luka yang disayatkan oleh Prancis terhadap umat ini.
Mengapa semua ini bisa terjadi?
Jawabannya sederhana namun mendalam, karena kita tak lagi memiliki pelindung sejati. Umat Islam hari ini tercerai-berai di bawah naungan negara-bangsa sekuler. Tak ada satu pun negara yang secara resmi dan sistematis membela Islam sebagai ideologi dan identitas umat. Tak ada lagi Khilafah, sebagaimana yang pernah menjadi penjaga kehormatan Rasul dan Islam.
Allah telah menegaskan:
"Dan Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman."
(QS. An-Nisā’: 141)
Padahal dalam sejarah, para khalifah pernah menunjukkan sikap tegas terhadap Prancis. Tak hanya Khalifah Abdul Hamid II yang menolak keras penghinaan terhadap Nabi ﷺ, para pemimpin sebelumnya pun menjaga marwah Islam dalam setiap interaksi dengan negeri-negeri kafir, termasuk Prancis.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Prancis sempat mendapatkan perlindungan istimewa (capitulations) demi menjaga komunitas Kristen mereka di wilayah kekuasaan Islam. Namun hubungan ini tidak serta-merta membuat Khilafah tunduk pada kehendak Prancis. Ketika Prancis mulai menunjukkan niatan kolonial terhadap wilayah-wilayah Islam, seperti Aljazair, Khilafah memberikan reaksi keras.
Contohnya, ketika Prancis menjajah Aljazair pada tahun 1830, umat Islam di sana melakukan perlawanan sengit yang mendapatkan dukungan moral dari Khilafah Utsmaniyah, meskipun secara militer Khilafah saat itu tengah melemah. Prancis secara terang-terangan memerangi Islam dan menjadikan Aljazair sebagai laboratorium pemurtadan, pemaksaan budaya Barat, dan penghinaan terhadap ajaran Islam. Maka sejak itu, umat Islam memandang Prancis sebagai musuh nyata, bukan sekadar mitra dagang atau diplomatik.
Bahkan jauh sebelumnya, saat Napoleon Bonaparte menyerang Mesir pada 1798 dan mencoba menyusupkan ide-ide sekuler ke jantung dunia Islam, Khilafah menanggapinya sebagai ancaman terhadap keberlangsungan Islam. Inilah bukti bahwa Islam bukan hanya agama ibadah, tapi juga sistem politik dan perisai umat. (dikutip dari berbagai sumber)
Namun saat ini, umat Islam justru berada dalam cengkeraman sistem dan negara-negara yang tak menjadikan Islam sebagai dasar. Kita bahkan ikut memuliakan mereka yang terang-terangan melecehkan agama ini, hanya karena logika politik dan ekonomi.
Maka tak cukup kita marah secara pribadi. Tak cukup pula menyesali dalam hati. Sudah saatnya kita berjuang mengubah realitas ini. Sudah saatnya umat Islam bersatu kembali di bawah satu naungan, satu kepemimpinan global—Khilafah—yang berdiri atas dasar wahyu, dan menjaga kehormatan umat Islam sebagaimana para khalifah terdahulu melakukannya.
Karena selama dunia ini diatur oleh logika kapitalisme, maka harga diri umat akan terus diinjak. Dan selama tak ada pelindung yang membela Islam, penghinaan terhadap agama ini akan terus berulang. Wallahua'lam
Tags
Opini