Oleh : Imanta
(Aktivitas Dakwah Kampus)
Aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kritik dari masyarakat sipil. Selain menemari lingkungan, penambangan tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana, tak terkecuali tindak pidana korupsi. Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengatakan, Kepulauan Raja Ampat masuk dalam kualifikasi pulau-pulau kecil yang dilindungi lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 35 huruf k mengamanatkan pelarangan penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang menimbulkankerusakan ekologis, mencemari lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar.
Penambangan nikel di wilayah raja ampat akan berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya alam dan keberagamana hayati. Berbagai macam ekosistem terdapat di raja ampat, termasuk beberapa jenis ikan yang dilindungi dan terancam punah. Adanya tambang nikel akan mengganggu kehidupan biota laut beserta terumbu karang akibat keberadaan tongkang pengangkut nikel yang berlalu Lalang melintasi wilayah perairan Raja Ampat. Cendrawasih botak (Cicinnurus respublica) contohnya yang merupakan salah satu satwa khas Papua yang hanya ditemukan di Raja Ampat, dimana satwa tersebut hamper punah ditambah adanya penambangan nikel yang terencana tersebut. Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di Pulu Gag, Pulau Kawe, dan Pulau manuran telah dibabat untuk aktivitas pertambangan.
Negara Kapitalisme yang menganut sistem kebebasan berkepemilikan ini sebelumnya telah menetapkan UU No 1 tahun 2014, tentang larangan kegiatan pertambangan di Pulau Pulau kecil, namun penerapan UU tersebut tidak dilakukan dan diterapkan tertib oleh para pemiliki modal kususnya Perusahaan tambang demi mendapat keuntungan sekalipun mengorbankan alam.
Pelestarian alam bukan hanya isu lingkungan semata, melainkan juga tanggung jawab besar yang memerlukan sistem pengelolaan yang adil dan menyeluruh. Dalam Islam, tanggung jawab ini terletak pada negara, yang berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) bagi umat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Negara dalam sistem Islam tidak sekadar sebagai pengatur administratif, tetapi sebagai entitas yang bertanggung jawab menjaga amanah Allah terhadap bumi ini dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam demi kemaslahatan umat.
Islam telah mengenalkan konsep hima, yaitu wilayah atau sumber daya alam tertentu yang dikhususkan penggunaannya demi kemaslahatan umum. Hima bukanlah wilayah yang bisa dimiliki atau dikuasai individu atau perusahaan swasta demi keuntungan pribadi. Tidak ada hak untuk menguasai atau mengeksploitasi hima kecuali oleh negara atas dasar syariat. Hima bisa berupa padang rumput, hutan, mata air, atau wilayah lain yang secara strategis penting untuk menjaga ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat. Dalam sejarah Islam, Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya telah menetapkan sejumlah hima untuk kepentingan umum seperti penggembalaan hewan jihad, bantuan untuk fakir miskin, dan pelestarian lingkungan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang vital adalah milik bersama umat, bukan komoditas yang boleh dimonopoli atau dikuasai oleh individu atau korporasi demi kepentingan pribadi. Islam sangat menjunjung tinggi asas keadilan dalam pengelolaan sumber daya, dan memastikan bahwa setiap individu dalam masyarakat mendapat manfaat yang adil.
Dalam sistem Islam, negara tidak diperkenankan memberi izin kepada pihak swasta, baik asing maupun lokal, untuk mengelola sumber daya alam seperti tambang, minyak, dan gas. Pengelolaan tersebut merupakan bagian dari kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) yang harus diatur oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, subsidi, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Privatisasi sumber daya alam justru menimbulkan ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan penderitaan bagi rakyat. Oleh karena itu, syariat Islam melarang praktik semacam ini dan menetapkan bahwa hanya Khilafah yang berhak mengelola kekayaan alam atas dasar hukum-hukum syara’. Pelestarian alam tidak cukup hanya dengan kampanye atau regulasi setengah hati. Ia membutuhkan sistem yang menyeluruh, berbasis akidah dan hukum yang pasti. Islam, sebagai rahmat bagi semesta alam, telah menyediakan sistem itu secara lengkap dalam bentuk syariat Islam. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah pelestarian lingkungan bisa dijalankan secara konsisten dan berkeadilan. Negara akan menetapkan wilayah-wilayah konservasi (hima), mencegah eksploitasi berlebihan, mengedukasi masyarakat tentang amanah menjaga bumi, serta menjamin distribusi hasil kekayaan alam secara merata.
Menjaga alam adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab kolektif umat Islam. Ia bukan hanya masalah teknis, tapi juga masalah sistemik. Maka, pelestarian lingkungan secara hakiki hanya dapat terwujud melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Negara sebagai raa’in dan junnah menjadi institusi kunci dalam memastikan bumi ini tetap lestari, adil, dan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A'raf: 56)
Tags
Opini