Oleh : Lilis
Haji merupakan rukun Islam kelima, yakni kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial untuk menunaikannya ke Makkah, Arab Saudi, setidaknya sekali seumur hidup. Pada tahun 2025 atau 1446 Hijriah, pelaksanaan ibadah haji berlangsung pada 5 hingga 9 Juni 2025. Jumlah jamaah haji dunia tahun ini tercatat lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya, terutama karena adanya pembatasan terhadap Haji Furoda.
Dari Indonesia, terdapat tiga jalur keberangkatan haji: Haji reguler dengan masa tunggu 10–30 tahun, haji khusus dengan masa tunggu 5–9 tahun, serta haji Furoda tanpa masa tunggu. Meskipun biayanya tinggi dan pelaksanaannya penuh tantangan, antrean tetap semakin panjang, yang menunjukkan bahwa minat umat Islam untuk berhaji tidak pernah surut.
Besarnya animo umat terhadap ibadah haji, yang hanya dilaksanakan sekali setahun pada 9–13 Zulhijah di lokasi-lokasi yang sama yakni Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Masjidil Haram, tentu memerlukan manajemen yang sangat baik. Diperlukan pengelolaan yang mampu menjamin para jamaah dapat beribadah dengan aman, nyaman, dan sejahtera di tengah kerumunan jutaan manusia pada waktu dan tempat yang sama.
Negara telah mengatur proses haji mulai dari pendaftaran hingga keberangkatan jamaah. Namun, kisruh penyelenggaraan haji tahun ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengelola ibadah umat. Meskipun pengelolaan haji yang mahal ini telah diupayakan semaksimal mungkin, nyatanya masih banyak hal yang luput ditangani dengan baik, terutama pada fase wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan bermalam di Mina.
Pada hari puncak haji, banyak jamaah merasa cemas karena tidak ada bus yang menjemput mereka menuju Arafah. Setibanya di sana, mereka tidak mendapatkan tenda atau tempat istirahat yang layak, meski sebelumnya diinformasikan bahwa segala sesuatu telah disurvei dan disiapkan, termasuk kasur dan bantal. Di Muzdalifah, kondisi semakin mengkhawatirkan. Jika jamaah tidak segera dipindahkan ke Mina pada pagi atau siang hari, mereka terancam terkena panas ekstrem, dehidrasi, heat stroke, bahkan kematian karena tidak adanya tempat berteduh. Setibanya di Mina, kelelahan semakin menjadi karena tenda yang tersedia tidak mencukupi. Diduga jumlah tenda tidak sebanding dengan jumlah jamaah, atau terjadi ketidakseimbangan dalam pengaturan lahan.
Banyak pihak menuding kebijakan baru dari pemerintah Arab Saudi sebagai penyebab kekacauan ini. Namun sejatinya, persoalan ini tidak dapat dilepaskan dari sistem pengelolaan haji di Indonesia. Kesalahan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga paradigmatik. Akar masalah terletak pada komersialisasi ibadah haji dan dilepaskannya tanggung jawab negara atas pengelolaannya. Ketika pengurusan haji diserahkan kepada pihak swasta, sementara pemerintah hanya bertindak sebagai pengawas, tentu daya dan kekuatannya tidak sebesar jika negara sendiri yang langsung mengurus.
Idealnya, penyelenggaraan ibadah haji harus memudahkan jamaah dalam menjalankan ibadah, termasuk dalam hal penyediaan fasilitas seperti penginapan, tenda di Arafah, Muzdalifah dan Mina, transportasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Ini semua merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in (pelayan) yang wajib mengurus seluruh urusan rakyatnya, termasuk ibadah haji. Penyerahan pengelolaan kepada pihak swasta dengan orientasi keuntungan tentu berbeda dari pengelolaan negara yang semestinya berlandaskan pelayanan umat.
Negara seharusnya menyiapkan mekanisme, birokrasi, dan pelayanan terbaik bagi para tamu Allah. Seandainya pengurusan diserahkan kepada otoritas Haramain sekalipun, hal itu harus tetap berada dalam pengawasan dan pengaturan negara Islam yang menyatukan seluruh negeri-negeri Muslim, yakni Khilafah.
Pelayanan haji yang paripurna hanya dapat terwujud apabila negara memiliki sistem keuangan yang kuat. Hal ini dimungkinkan dalam sistem Khilafah yang mampu membuat harta Baitul Mal melimpah dari berbagai sumber pemasukan yang besar dan beragam melalui penerapan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam. Dengan menyatunya negeri-negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan, pengelolaan ibadah haji akan menjadi bagian dari pelayanan sistemik, bukan sekadar proyek bisnis tahunan.
Tags
Opini